Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.
Hilirisasi Aspal Buton: Kalau Tidak Sekarang, Kapan Lagi?
Minggu, 6 Juli 2025 10:13 WIB
Apakah Satgas Percepatan Hilirisasi akan menjadi agen perubahan, atau sekadar pelengkap cerita lama yang penuh pengabaian?
Sudah lebih dari satu abad aspal Buton ditemukan. Sudah puluhan tahun pula negeri ini sibuk membangun jalan dan infrastruktur. Namun yang tetap tidak berubah: Indonesia masih lebih percaya pada impor aspal. Lalu, datanglah Satgas Percepatan Hilirisasi yang dibentuk pada tanggal 3 Januari 2025, dengan semangat baru dan jargon besar: akselerasi, integrasi, dan keberpihakan. Tetapi di balik semua retorika itu, hilirisasi aspal Buton masih tetap terpinggirkan. Pertanyaannya sederhana: kalau tidak sekarang, kapan lagi?
Fakta di lapangan terlalu terang untuk diabaikan. Buton memiliki cadangan aspal alam terbesar di dunia. Teknologi pengolahannya telah tersedia, pabrik berdiri, regulasi sudah ada, dan SDM lokal siap diberdayakan. Tetapi entah kenapa, Satgas Percepatan Hilirisasi seolah buta dan bisu ketika menyangkut Buton. Nama aspal Buton bahkan nyaris tidak pernah disebut dalam roadmap prioritas mereka. Apakah kita sedang mengulangi sejarah pengabaian yang sama, dengan gaya dan nama baru?
Ironisnya, Satgas ini dibentuk justru untuk mempercepat pemanfaatan sumber daya nasional. Tetapi bagaimana mungkin bicara hilirisasi jika salah satu aset strategis nasional seperti aspal Buton tidak pernah masuk radar utama? Apakah hilirisasi hanya berlaku untuk nikel, bauksit, dan tembaga? Ataukah aspal dianggap terlalu “remeh” dibanding mineral yang lebih seksi di mata investasi?
Jika alasan mereka adalah kesiapan, maka itu justru mempermalukan nalar. Aspal Buton jauh lebih siap dibanding banyak komoditas lainnya yang kini didorong habis-habisan. Kita punya 37 pabrik pengolahan, produk aspal Buton telah teruji di berbagai proyek jalan nasional, bahkan tersertifikasi kualitasnya. Lantas, kenapa justru yang sudah siap dibiarkan menunggu tanpa kepastian?
Kebijakan publik tidak boleh hanya mengikuti arus modal dan lobi-lobi besar. Hilirisasi sejati bukan soal siapa yang paling besar, tetapi siapa yang paling strategis untuk masa depan bangsa. Aspal Buton, jika dimaksimalkan, bisa menggantikan 90 persen kebutuhan aspal nasional. Ia tidak hanya menghemat devisa, tetapi juga membuka ribuan lapangan kerja baru di daerah tertinggal, terutama di timur Indonesia. Mengapa potensi sebesar ini diabaikan oleh Satgas yang katanya punya misi percepatan?
Kita seolah menghadapi Satgas yang bekerja setengah hati. Penuh semangat pada komoditas yang ramai diperbincangkan global, tetapi sepi komitmen pada sumber daya yang jelas-jelas bisa memberi dampak langsung dan luas. Bukankah keadilan pembangunan menuntut keberpihakan pada daerah seperti Buton yang selama ini dianaktirikan? Apakah Satgas hanya melanjutkan pola lama: Jakarta-sentris, investor-sentris, dan birokrasi-sentris?
Jika Satgas memang ingin mengukir sejarah, mulailah dengan menghapus ketimpangan. Aspal Buton adalah kunci pemerataan yang nyata. Ia bukan sekadar tambang, tetapi jalan keluar dari ketergantungan impor aspal. Tetapi selama Satgas masih abai, kita hanya menyaksikan sejarah yang stagnan dengan wajah baru. Hilirisasi menjadi slogan tanpa substansi.
Kita tidak butuh lagi seminar, workshop, atau retorika kosong. Yang kita butuhkan adalah keputusan. Keberanian. Kejelasan arah. Jangan sampai Satgas Percepatan Hilirisasi hanya menjadi stempel baru bagi pola pengabaian lama. Jika benar Satgas adalah alat negara untuk percepatan, maka percepatlah yang selama ini dilambat-lambatkan. Buton sudah menunggu terlalu lama. Terlalu sabar.
Kita harus jujur: tidak ada alasan logis untuk terus menunda hilirisasi aspal Buton. Kecuali, jika kita masih tunduk pada mafia impor aspal. Kecuali, jika keberanian hanya jadi tema pidato, bukan sikap nyata. Kecuali, jika Satgas hanya dijadikan alat kosmetik untuk menunjukkan seolah pemerintah serius, padahal masih bermain aman di zona nyaman.
Dan jika itu yang terjadi, maka kita sedang menyaksikan pengkhianatan yang dibungkus rapi. Hilirisasi yang seharusnya menjadi strategi besar untuk kedaulatan, justru dikerdilkan oleh ketakutan, kompromi, dan kepentingan jangka pendek. Padahal negeri ini bisa berdiri di atas aspalnya sendiri. Tinggal Satgas-nya mau atau tidak.
Hilirisasi aspal Buton bukan tentang proyek, tetapi tentang arah sejarah. Ini tentang keberanian negara untuk percaya pada dirinya sendiri. Setiap hari kita menunda, setiap itu pula kita memperpanjang ketergantungan. Kalau bukan hari ini kita mulai, maka kapan lagi? Jika Satgas tidak berani bertindak sekarang, maka untuk apa ia dibentuk?
Kepada para pemangku kebijakan, ingatlah: Buton bukan sekadar pulau di timur. Ia adalah simbol yang menunggu ditegakkan. Dan kepada Satgas Percepatan Hilirisasi, sejarah sedang menatap Anda. Apakah Anda akan menjadi agen perubahan, atau sekadar pelengkap cerita lama yang penuh pengabaian?
Indonesia butuh jalan baru, bukan sekadar jalan yang dibangun dengan aspal impor. Dan jalan itu hanya bisa dibuka jika kita berani memilih. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan Satgas, siapa lagi?

Pemerhati Aspal Buton
6 Pengikut

Sehat, Hadiah Terindah di Sisa Usia
2 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler