Al Arif merupakan Guru Besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia, Ketua IV DPW Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Jakarta, Associate CSED INDEF, serta saat ini sebagai Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan
BRICS Development Bank dan Masa Depan Pembangunan Negara Berkembang
Rabu, 9 Juli 2025 14:22 WIB
Apakah NDB dan BRICS dapat menjadi katalis pembangunan baru bagi negara-negara berkembang? Atau sekedar rebranding kekuatan geopolitik baru?
***
Di tengah ketidakpastian ekonomi global yang terus membayangi, muncul kekuatan baru dari Selatan global yang mencoba menawarkan alternatif terhadap dominasi tatanan ekonomi Barat. Salah satu simbol paling mencolok dari kebangkitan kekuatan ini adalah pendirian New Development Bank (NDB) oleh kelompok BRICS yakni Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan.
Dalam waktu relatif singkat sejak didirikan pada 2014, NDB telah mencuri perhatian karena visi strategisnya: menyediakan pembiayaan pembangunan bagi negara-negara berkembang dengan pendekatan yang lebih inklusif, non-dominatif, dan berorientasi pada kerja sama Selatan Global (Global South).
Apakah NDB dan BRICS benar-benar dapat menjadi katalis pembangunan baru bagi negara-negara berkembang? Atau, apakah ini hanya bentuk "rebranding" kekuatan geopolitik baru dalam kemasan pembangunan ekonomi? Tulisan ini akan membahas secara mendalam peran strategis New Development Bank dalam arsitektur pembangunan global, posisi BRICS sebagai kekuatan tandingan terhadap lembaga keuangan internasional yang telah mapan, serta implikasinya bagi masa depan pembangunan di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Setelah Perang Dunia II, dunia menyaksikan terbentuknya institusi-institusi keuangan global seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Meski memiliki peran penting dalam stabilisasi dan pembangunan pascaperang, sistem ini secara bertahap menuai kritik, terutama dari negara-negara berkembang. Kritik pertama terkait distribusi kekuasaan yang tidak adil. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat memiliki hak suara dominan dalam pengambilan keputusan IMF dan Bank Dunia.
Kritik berikutnya berkenaan dengan kondisionalitas atau persyaratan pinjaman yang ketat. Pinjaman yang diberikan sering disertai persyaratan kebijakan neoliberal, seperti privatisasi, deregulasi, dan pengurangan subsidi, yang justru menimbulkan ketimpangan sosial di negara-negara berkembang.
Kritik ketiga ialah minimnya fleksibilitas dan kepekaan terhadap konteks lokal. Kekecewaan inilah yang kemudian melahirkan inisiatif alternatif dari negara-negara besar berkembang, yang kemudian dikenal sebagai BRICS.
BRICS terbentuk secara informal pada awal 2000-an dan secara resmi mulai didirikan sebagai kelompok pada 16 Juni 2009. Kelima negara anggota menyumbang lebih dari 40% populasi dunia, sekitar 25% PDB global, dan hampir 20% volume perdagangan dunia. Kelompok ini memiliki kesamaan yaitu ketidakpuasan terhadap tatanan global yang timpang dan tekad untuk memperkuat kerja sama ekonomi Selatan-Selatan.
Pendirian New Development Bank pada 2014 merupakan simbol nyata komitmen BRICS terhadap pembentukan tatanan keuangan yang lebih adil dan berimbang. New Development Bank (NDB), semula dikenal sebagai BRICS Development Bank, didirikan dengan tujuan untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan proyek-proyek pembangunan berkelanjutan di negara-negara BRICS dan negara berkembang lainnya.
Selain itu, NDB bertujuan pula untuk memberikan alternatif pendanaan tanpa syarat ketat ala lembaga keuangan internasional yang telah mapan. Serta memperkuat kerja sama finansial dan pembangunan di antara negara-negara berkembang.
New Development Bank disepakati oleh para anggota BRICS di KTT BRICS ke-5 yang diselenggarakan di Durban, Afrika Selatan, pada 27 Maret 2013. Tanggal 15 Juli 2014, hari pertama KTT BRICS ke-6 di Fortaleza, Brasil, negara-negara anggota BRICS menandatangani dokumen pembentukan BRICS Development Bank senilai $100 miliar dan cadangan mata uang tambahan senilai $100 miliar.
Sejak berdiri, NDB memfokuskan pendanaannya pada sektor-sektor seperti energi terbarukan, transportasi, irigasi dan air bersih, infrastruktur digital, dan teknologi hijau. Hingga tahun 2024, NDB telah menyetujui lebih dari 90 proyek dengan total pembiayaan lebih dari USD 30 miliar, dengan 70% di antaranya berfokus pada pembangunan berkelanjutan.
Pada KTT BRICS di Johannesburg di tahun 2024, keanggotaan BRICS diperluas dengan masuknya enam negara baru: Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab. Pada bulan Januari 2025, Indonesia bergabung dengan organisasi tersebut. Langkah ini memperkuat posisi BRICS sebagai blok ekonomi dan geopolitik global, memperluas jangkauan pengaruh NDB.
Meski memiliki visi besar, NDB tidak lepas dari berbagai tantangan dalam mewujudkan pembangunan negara berkembang. Pertama, sebagai pemain baru, NDB masih menghadapi tantangan dalam membangun reputasi setara dengan IMF atau Bank Dunia. Dibutuhkan tata kelola yang transparan, akuntabel, dan independen dari dominasi politik negara-negara besar di BRICS.
Tantangan kedua terkait risiko geopolitik. Ketegangan geopolitik, seperti perang Ukraina-Rusia, konflik AS-Tiongkok, dan isu Timur Tengah, berpotensi menghambat kerja sama lintas kawasan. NDB harus cermat menjaga netralitas politik demi menjaga kredibilitas sebagai lembaga pembangunan.
Tantangan berikutnya terkait dengan pendanaan hijau. Proyek pembangunan berkelanjutan menuntut pembiayaan jangka panjang, manajemen risiko lingkungan, serta partisipasi masyarakat. NDB harus memastikan bahwa proyek yang didanainya tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga berkelanjutan secara sosial dan ekologis.
Tantangan keempat terkait kemitraan dengan lembaga keuangan regional. Untuk memperluas dampaknya, NDB perlu membangun sinergi dengan lembaga pembiayaan regional seperti AIIB (Asia Infrastructure Investment Bank), IsDB (Islamic Development Bank), atau ADB (Asian Development Bank), serta sektor swasta.
Di balik tantangan tersebut, NDB menawarkan harapan besar bagi negara berkembang yang selama ini kekurangan akses pembiayaan berbiaya rendah untuk pembangunan infrastruktur dan transisi energi. Negara-negara seperti Indonesia, Bangladesh, dan negara-negara Afrika kini memiliki alternatif pembiayaan pembangunan tanpa persyaratan penyesuaian struktural yang keras ala IMF. Ini memberi ruang gerak lebih luas bagi pemerintah dalam merancang kebijakan pembangunan nasional.
NDB membuka jalan bagi model kerja sama pembangunan yang berbasis pada prinsip solidaritas, kesetaraan, dan saling menguntungkan. Proyek-proyek yang dibiayai tidak hanya bersifat top-down, tetapi juga mendorong keterlibatan lokal.
NDB juga menekankan pembiayaan proyek yang berbasis lokal, dengan memanfaatkan mata uang lokal untuk mengurangi ketergantungan pada dolar dan risiko volatilitas nilai tukar. Ini adalah langkah strategis menuju de-dolarisasi dan penguatan kedaulatan moneter.
Dengan meningkatnya tekanan perubahan iklim, negara berkembang menghadapi tantangan berat dalam membangun infrastruktur yang hijau dan tangguh. NDB dapat menjadi mitra penting dalam mendanai proyek energi terbarukan, transportasi rendah karbon, dan infrastruktur berketahanan iklim.
Kehadiran New Development Bank dan perluasan BRICS menandai fase baru dalam arsitektur pembangunan global. Ini adalah era ketika suara negara-negara berkembang tidak lagi hanya menjadi penonton, tetapi juga aktor penting dalam mendefinisikan masa depan pembangunan dunia. Meski masih jauh dari sempurna, inisiatif ini adalah bentuk keberanian untuk merebut kembali narasi pembangunan dari cengkeraman dominasi segelintir negara maju.
Bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, peluang ini harus dimanfaatkan dengan bijak. Kunci utamanya terletak pada membangun diplomasi ekonomi yang cerdas, memanfaatkan momentum perubahan geopolitik, serta memastikan bahwa pembangunan yang didorong oleh NDB dan BRICS benar-benar berpihak pada rakyat yaitu inklusif, hijau, dan berkelanjutan.
Posisi Indonesia terhadap BRICS dan NDB terkait bagaimana Indonesia memanfaatkan momentum global untuk memperkuat kemandirian ekonomi, memperluas pengaruh geopolitik, dan mengakselerasi pembangunan nasional secara inklusif dan berkelanjutan. Dengan strategi yang tepat, Indonesia bisa menjadi bukan sekadar penerima manfaat, tetapi juga arsitek masa depan pembangunan Selatan Global.
Keputusan untuk terlibat aktif dalam BRICS dan NDB adalah bagian dari strategi besar untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 yaitu berdaulat secara ekonomi, solid secara politik, dan dihormati dalam percaturan global.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia, Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahan Pangan, Ketua IV DPW IAEI Jakarta, dan Associate CSED INDEF
3 Pengikut

Penempatan Dana Rp200 Triliun, Stimulus 8+4+5 dan Pertumbuhan Ekonomi
Selasa, 23 September 2025 10:20 WIB
Menanti Kemerdekaan Ekonomi Sejati
Selasa, 19 Agustus 2025 15:14 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler