Dosen pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd Flores_Nusa Tenggara Timur.\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd Alumni Doktoral Prodi Studi Islam Kajian Dialog Antar Iman di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dari Rumah Iman ke Jalan Publik, Misi Spiritual Hari Anak Nasional
Rabu, 23 Juli 2025 16:00 WIB
Dalam tradisi keagamaan yang berakar kuat di Nusantara, anak senantiasa dipandang sebagai berkah dan lambang harapan.
Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge, Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende
Hari Anak Nasional diperingati setiap 23 Juli. Ia bukan sekadar seremoni tahunan. Bukan pula rutinitas yang terus berulang. Di balik perayaannya, ada makna yang lebih dalam. Sering kali makna itu luput dari perhatian. Anak-anak bukan hanya pelengkap dunia dewasa. Mereka adalah amanah ilahi. Titipan suci yang menggambarkan masa depan bangsa. Dalam perspektif sosiologi agama, anak adalah pewaris nilai dan iman. Di momen peringatan ini, bolehlah kita berhenti sejenak dan bertanya: sudahkah kita memperlakukan anak-anak sebagai cahaya kehidupan dan bukan sekadar penghias data statistikal?
Dalam tradisi keagamaan yang berakar kuat di Nusantara, anak senantiasa dipandang sebagai berkah dan lambang harapan. Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan berbagai kepercayaan lokal menempatkan anak dalam posisi sakral sebagai manifestasi kasih Tuhan, benih peradaban, dan penjaga kelestarian nilai-nilai luhur. Namun, dalam kenyataan sosiologis yang berlangsung di Indonesia dewasa ini, anak-anak justru kerap menjadi korban dari sistem yang rapuh: eksploitasi anak, pernikahan dini, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kelalaian struktural dalam pendidikan dan layanan kesehatan.
Dalam kenyataan sosial Indonesia hari ini, anak-anak kerap menjadi korban dari sistem yang tak ramah jiwa. Di pasar-pasar tradisional, tambang rakyat, dan industri rumah tangga, mereka bekerja di usia belia, menggantikan jam bermain dengan beban ekonomi keluarga yang tak mereka pilih. Di wilayah-wilayah tertentu, anak perempuan dinikahkan sebelum waktunya, diputus dari mimpi, pendidikan, dan tubuhnya sendiri yang belum siap. Sementara itu, anak-anak di wilayah 3T tumbuh dalam keterbatasan pendidikan dan minimnya layanan kesehatan, tak pernah mengenal imunisasi penuh atau ruang belajar yang layak. Dalam sunyi dan ketertinggalan, masa kanak-kanak mereka tercuri. Realitas ini adalah panggilan nurani bahwa perlindungan terhadap anak bukan sekadar urusan hukum, melainkan komitmen spiritual masyarakat yang bertanggung jawab untuk memanusiakan mereka sepenuhnya.
Paradoks ini memperlihatkan jurang antara visi spiritual dan kenyataan sosial. Anak yang seharusnya dipandang sebagai subjek pewahyuan Tuhan yang memperlihatkan kasih, kejujuran, dan keindahan jiwa manusia malah diperlakukan sebagai objek dalam proyek politik dan ekonomi. Kebijakan sering dibuat untuk anak, tapi jarang melibatkan suara anak. Sosiologi agama mengajarkan bahwa anak bukan sekadar angka statistik atau instrumen demografi, tetapi cerminan dari spiritualitas masyarakat. Ketika spiritualitas luntur, anak kehilangan tempatnya dalam kesadaran kolektif.
Martabat anak, menurut pendekatan religius, bukan hanya soal hak-hak legal, tetapi menyangkut dimensi ontologis. Anak adalah ciptaan yang terhubung langsung dengan sumber kebaikan, dengan Tuhan yang Maha Hidup. Maka, pendidikan anak bukan sekadar proses akademik, tapi juga pembentukan jiwa agar terhubung dengan nilai-nilai transenden. Di sinilah pentingnya komunitas iman (keluarga, sekolah, dan masyarakat) untuk membangun ekosistem spiritual tempat anak belajar mencintai, berpikir kritis, dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya.
Sayangnya, arus zaman menunjukkan bahwa spiritualitas anak kini tergeser oleh hegemoni konsumsi, citra diri semu, dan nilai-nilai kompetitif yang tak ramah jiwa. Anak-anak dibentuk lebih sebagai mesin produktif daripada pribadi yang berkembang secara utuh. Dalam konteks ini, Hari Anak Nasional perlu menjadi seruan peradaban: apakah kita tengah membesarkan anak-anak untuk menjadi manusia yang bijak dan berbelarasa, atau sekadar agen ekonomi dalam dunia yang kehilangan roh?
Sosiologi agama juga memperlihatkan bahwa masyarakat yang memuliakan anak adalah masyarakat yang mengintegrasikan iman dengan kebijakan sosial. Artinya, melindungi anak tidak hanya tugas lembaga formal, tetapi kewajiban spiritual setiap individu dalam masyarakat. Ketika nilai-nilai religius diterjemahkan ke dalam sistem pendidikan, perlindungan hukum, media, dan budaya populer, maka anak akan tumbuh dalam keseimbangan antara jasmani dan rohani.
Dalam kerangka Indonesia sebagai bangsa yang religius, Hari Anak Nasional dapat menjadi momen afirmatif untuk menegaskan kembali semangat keagamaan dalam perlindungan anak. Gereja, masjid, pura, dan vihara harus menjadi tempat di mana anak merasa aman, dicintai, dan diberi ruang untuk bertumbuh. Lebih dari itu, mereka harus jadi pusat pengajaran nilai-nilai luhur tentang hidup, cinta, pengorbanan, dan kemanusiaan.
Membangun spiritualitas anak juga berarti membangun spiritualitas orang dewasa. Sebab, anak belajar dari contoh. Ketika orang tua dan pemimpin masyarakat hidup dalam kejujuran, pengampunan, dan doa, maka anak akan menyerap nilai-nilai tersebut secara alami. Oleh karena itu, Hari Anak Nasional bukan hanya tentang anak, tetapi juga tentang dewasa yang peduli pada pertumbuhan jiwa yang jernih dan luhur.
Merayakan Hari Anak Nasional di Indonesia adalah panggilan untuk kembali kepada akar kemanusiaan yang spiritual. Ia bukan soal perayaan, tetapi soal kesadaran bahwa anak adalah cahaya Tuhan dalam dunia yang gelap. Dalam dunia yang terpolarisasi oleh kepentingan, anak mengingatkan kita tentang kesatuan, kasih, dan kesederhanaan. Dan barangkali, masa depan Indonesia tidak terletak pada kekuatan ekonomi atau politik, tetapi pada kualitas rohani anak-anak yang kita besarkan hari ini.***

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Dari Rumah Iman ke Jalan Publik, Misi Spiritual Hari Anak Nasional
Rabu, 23 Juli 2025 16:00 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler