Melintasi batas yang tak bisa dijangkau suara

Belajar Sambil Bekerja, Berpikir Sambil Bergerak

Senin, 28 Juli 2025 12:57 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Tipologi Belajar
Iklan

Latihannya cuma empat kali. Kepepet. Saya diminta berkolaborasi musikalisasi puisi dan jujur, saya insecure.

Bukan cuma karena waktunya singkat, tapi karena saya tahu siapa rekan kolaborasi saya: Ka Edi. Seorang yang sudah makan asam garam aksi jalanan. Suara perlawanan. Intonasinya punya nyawa. Sementara saya? Remahan jalanan.

Gladi kotor kedua dimulai. Kali ini pakai gitar. Hancur. Saya memilih diam, menonton Ka Edi lebih dulu. Diam-diam saya belajar. “Baca puisi maksimal tiga hari latihan,” katanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya sempat menyerah di tengah jalan. Tapi saya bertanya juga, “Cara resapi maknanya gimana?”

Dia tidak jawab. Dibiarkan saya mencari sendiri.

Dan akhirnya saya mengerti yang harus diresapi bukan caranya. Tapi maknanya. Bukan sekadar menyuarakan puisi, tapi menjelma menjadi isi puisi itu sendiri.

Belajar Cepat di Ruang yang Padat

Saya sadar, ini bukan cuma soal puisi. Tapi soal bagaimana saya belajar. Soal bagaimana kita tumbuh dalam organisasi yang serba cepat. Waktu latihan yang sempit, kesempatan belajar yang singkat, ekspektasi yang tetap tinggi.

Saya jadi teringat masa magang, saat Ka Adam rajin menyodorkan  pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya mati gaya. Saya belajar bukan dari ruang kelas, tapi dari dinamika hidup bersama orang-orang yang sudah ditempa lebih dulu. Kini, saya sendiri kadang jadi orang yang keras kepala, tapi saya tahu: itu semua hasil tempaan.

Di banyak organisasi gerakan, terutama yang dikelola kolektif, tidak ada silabus atau SOP formal. Yang ada: pengalaman langsung. Bukan pelatihan formal. Bukan teori. Tapi melalui obrolan, interupsi, dan membaca isyarat. Harus gesit menyesuaikan diri. Harus bisa belajar sambil bekerja, berpikir sambil bergerak. 

Beban Kerja Sosial yang Terus Membesar

Yang kami alami sebenarnya tidak unik. Banyak organisasi masyarakat sipil, komunitas budaya, dan lembaga advokasi menghadapi tantangan yang sama: ritme kerja yang padat, ruang refleksi yang menyempit.

Menurut riset INFID tahun 2022, hampir 60% pekerja sektor masyarakat sipil di Indonesia mengalami kelelahan emosional dan kesulitan menjaga keseimbangan kerja-hidup. Mereka terus bergerak, tapi jarang punya waktu untuk berpikir ulang arah gerakannya. Banyak yang kehilangan waktu belajar, karena sibuk bertahan.

Dalam konteks organisasi yang terus tumbuh, tantangan itu makin nyata. Proyek bertambah, target meningkat, laporan menumpuk. Semua harus dijalankan dengan sumber daya manusia yang kadang belum sempat ditempa dengan utuh.

Situasi ini bukan salah satu pihak. Ini hasil dari ketegangan sistem yang terus menuntut lembaga sosial untuk “tanggap, lincah, dan cepat”.

Menjaga Ruang, Bukan Sekadar Bertahan

Saya kembali teringat 3 tahun yang lalu saat kami masih sempat baca buku bersama, berdiskusi, lalu menulis. Atau melempar ide yang kemudian dieksekusi bersama-sama. Sekarang, waktu seperti itu langka. Menjaga ruang agar tetap hidup bukan hal sepele. Ia butuh upaya kolektif dan keberanian untuk berkata: kita butuh waktu jeda.

Dalam tekanan kerja yang padat, kami mulai mencari bentuk lain untuk menjaga ruang belajar tetap hidup. Kadang bentuknya bukan diskusi terjadwal atau pelatihan formal, tapi deeptalk spontan saat kerja bareng saling curhat, memberi masukan, atau sekadar menguatkan satu sama lain sambil menyusun materi, menyiapkan alat, atau mengisi laporan.

Strategi ini selaras dengan konsep just-in-time learning atau learning while doing, belajar yang terjadi tepat saat dibutuhkan, di dalam konteks kerja langsung. Ini banyak digunakan dalam organisasi akar rumput dan gerakan sosial di berbagai wilayah. Studi oleh CIVICUS (2020) bahkan menyebut bahwa ruang refleksi informal semacam ini menjadi fondasi penting dalam menjaga ketahanan organisasi dan kesehatan tim dalam jangka panjang.

Saya mungkin memang tak bisa seperti dulu, terus-menerus diayomi. Tapi saya bersyukur pernah dibimbing dengan cara yang diam-diam membekas. Mungkin sekarang, justru saya yang seharusnya mulai mengayomi. Bukan lagi sekadar menerima, tapi ikut menjaga agar ruang belajar tetap hidup. Dan itu bukan tugas kecil.  Ia menuntut kesadaran kolektif bahwa belajar butuh waktu, keterlibatan, dan keberanian untuk terus tumbuh bahkan ketika tidak semua prosesnya berjalan mulus.

Belajar agar kita tetap terhubung satu sama lain, saling menopang, dan tumbuh bersama dalam ritme kerja yang sehat. Karena ruang belajar tidak bisa dijaga sendirian. Ia hidup ketika kita hadir, terlibat, dan bertanggung jawab atas peran masing-masing.

Dan hari itu, saat suara saya akhirnya ikut mengalir dalam musik, saya tahu: saya sedang belajar. Bukan hanya tentang puisi. Tapi tentang cara tetap tumbuh di ruang yang terus bergerak.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Adel Irmayanti Latif

Penulis Indonesiana

3 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler