Demi Hutan, Selamanya

Senin, 28 Juli 2025 20:53 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi Krisis Kehutanan. Gambar: Freepik
Iklan

TFFF, mekanisme pendanaan konservasi hutan yang diusulkan Brasil, bermasalah secara fundamental. Mestinya perlu perancangan ulang.

***

Bergerak di luar ”radar” pemantau berbagai isu yang bakal menjadi agenda konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau COP30 di Belem, Brasil, November nanti adalah pembahasan tentang Tropical Forest Forever Facility. Inisiatif usulan tuan rumah konferensi ini bakal menjadi opsi yang dianggap menjanjikan dan lebih diterima dalam hal pendanaan iklim jangka panjang, khususnya terkait dengan konservasi hutan di kawasan tropis--termasuk di Indonesia, tentu saja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada optimisme mengenai prospek peresmiannya, seperti dilaporkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Brasil seusai perhelatan London Climate Action Week dua pekan lalu. Sebelumnya juga dikabarkan bahwa Cina telah mengindikasikan minatnya untuk urun dana. Meski demikian, bagaimana perwujudan mekanisme multilateral itu belum sepenuhnya gamblang. Dunia, sementara ini, tampaknya hanya bisa menunggu, terutama jika tabir memang baru akan dibuka di Belem.

Diniatkan sebagai alternatif, ketika negosiasi internasional terkait dengan skema pendanaan iklim cenderung jalan di tempat, Tropical Forest Forever Facility (TFFF) akan mengawali operasinya dengan menargetkan dana US$ 125 miliar. Garis besar cara kerjanya sederhana.

Dokumen konsep yang ada (sejauh ini telah beredar dua versi) menjelaskan bahwa, dalam skema TFFF, akan ada harga yang diberlakukan untuk jasa ekosistem hutan, yang kegunaannya begitu besar bagi alam dan manusia--karena, antara lain, mendinginkan suhu bumi, mengatur aliran air, menyimpan karbon, dan mendukung keanekaragaman hayati (biodiversitas). Dengan patokan harga inilah TFFF akan mengucurkan dana sebagai insentif kepada negara-negara yang berhasil menjaga hutannya tetap tegak. Ada 70 negara yang secara kolektif menguasai 1 miliar hektare hutan tropis.

Begini cara kerjanya. TFFF akan berupaya mengumpulkan dana melalui pinjaman dari negara-negara kaya, Bank Dunia, organisasi nonprofit, investor di pasar modal, dan lain-lain. Pinjaman ini akan dikembalikan penuh dalam 30-40 tahun. Dana ini lalu diinvestasikan berupa aset finansial, seperti obligasi. Nantinya, setiap tahun, negara-negara yang berhasil mempertahankan hutannya akan menerima US$ 4 per hektar, 20 persen dari jumlah total pembayaran itu dialokasikan langsung untuk masyarakat adat dan komunitas lokal. Negara-negara yang kehilangan hutan, sebaliknya, akan dikenai denda.

Dibandingkan dengan skema pendanaan yang lain, TFFF memang bisa menjadi opsi yang boleh dibilang lebih sedikit problem intrinsiknya--ia masih mengandung masalah karena, bagaimanapun, tetap ada mekanisme pasar juga dalam skema pendanaannya, persisnya pasar modal/pasar uang. Sebagai opsi terakhir, tampaknya ia lebih baik daripada, umpamanya, perdagangan karbon.

Sama halnya dengan inisiatif pendanaan iklim apa pun, idealnya proporsi asal-usul dana TFFF sebagai mekanisme multilateral adalah lebih besar berupa hibah ketimbang pinjaman. Ini aspek yang harus diperdebatkan sungguh-sungguh. Pihak-pihak yang berkepentingan mesti berjuang habis-habisan hingga saat-saat terakhir demi mengegolkannya, melalui wakil dari negara-negara yang terlibat dalam interim steering committee yang melakukan pembahasan sampai menjelang pelaksanaan COP30. Mandat Paris Agreement bisa jadi rujukan; demikian pula, lagi-lagi, fakta bahwa negara-negara kaya di Global North-lah yang sepanjang sejarah dan sampai saat ini merupakan emitter terbesar--92 persen kelebihan emisi gas rumah kaca berasal dari sana.

Tetapi, terlepas dari hal itu, ada dua masalah fundamental yang secara sistemis sangat boleh jadi tidak bakal mengubah apa pun dalam jangka panjang. Pertama, harus disadari benar bahwa situasi yang kita hadapi saat ini, yakni krisis yang bisa mengarah ke katastrofi ekologis, merupakan akibat dari apa yang terjadi di pasar, atau, persisnya, market failure--yakni sumber daya tidak dialokasikan untuk mengoptimalkan well-being manusia (melainkan demi profit bagi segelintir pemilik uang atau modal). Mestinya tawaran solusi yang berbasiskan pasar juga adalah opsi yang tidak diprioritaskan, kalaupun bukan big no-no. Dalam sudut pandang ini terdapat perbedaan posisi berbagai organisasi masyarakat sipil di Indonesia: ada yang sama sekali menolak TFFF, ada yang mau menerimanya dengan sejumlah catatan.

Problem kedua, yang dianggap keterlaluan, adalah jasa ekosistem hutan yang hanya dihargai US$ 4 per hektare. Dilihat dengan kacamata antiekstraktivisme dan antiekonomi kapitalistis (kalau tak boleh disebut Marxian), di sini jelas ada ekstraksi nilai lebih (surplus value)--dengan kata lain, ada semacam praktik eksploitasi (bukan terhadap buruh, melainkan atas ekosistem hutan). Sebab, berdasarkan akal sehat saja, nilai sebenarnya dari jasa ekosistem hutan pasti lebih tinggi, kalaupun bukan tak terhingga.

Siapa yang paling diuntungkan dari penetapan harga yang rendah tersebut? Jelas, mereka yang meminjamkan dananya untuk menopang keberadaan TFFF--bisa negara (dengan duit pembayar pajak), bisa pula swasta. Mereka mendapatkan sebagian dari hasil (return) atas investasi dana yang terkumpul di TFFF itu di pasar modal. Dalam skema TFFF, sebagian yang lain dari hasil itu diambil untuk dibayarkan kepada negara-negara yang berhasil menjaga hutannya tetap tegak--sekali lagi, senilai US$ 4 per hektare.

Jika diibaratkan mesin kendaraan, TFFF jelas perlu dikembalikan ke meja perancangan sebelum digunakan, bukan sekadar overhaul atau pembongkaran menyeluruh untuk pemeriksaan serta perbaikan bagian-bagiannya yang bermasalah dan baru disusun kembali dengan komponen anyar. Untuk mengatasi dua problem mendasar tersebut, memang perlu tindakan radikal, memereteli problem sistemisnya dan mengimplementasikan praktik baru yang transformatif. Tapi, dalam sistem yang berlaku sekarang, hal ini terhitung muskil.

Kompromi, dengan menerima TFFF atau mekanisme lain, menjadi opsi realistis yang tersedia. Tapi beberapa hal tetap perlu didesakkan, agar diwujudkan dan dijadikan dasar, atau bisa juga merupakan bentuk tindakan pengamanan, sebagai “harga” untuk penerimaan opsi ini.

Yang mula-mula harus berlaku adalah penetapan bahwa hutan punya hak sebagai makhluk hidup, bukan semata-mata obyek komodifikasi. Ini bukan hal baru. Dulu, pada 1972, Christopher D. Stone telah memelopori gagasan ini dari segi hukum, dengan makalahnya yang berjudul “Should Trees Have Standing?--Toward Legal Rights for Natural Objects”. Dan baru-baru ini, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar bidang filsafat sosial di Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet mengajukan argumentasi filosofisnya, tentang apa yang dia sebut ekosipasi atau emansipasi ekologi sebagai jalan baru pembangunan yang lebih selaras dengan alam.

Sesudah itu harus dipastikan bahwa pengalokasian dana hanya dilakukan langsung kepada masyarakat adat dan komunitas lokal, yang selama ini jelas berperan besar menjaga hutan; pencabutan akar dari masalah deforestasi melalui penerapan aturan yang ekstraketat untuk membatasi kegiatan pertambangan, proyek pembangunan infrastruktur raksasa, pertanian berskala industri, dan lain-lain; serta pengutamaan model pendanaan alternatif yang inovatif.

Atas dasar hal-hal itulah, paling tidak, rekomendasi perbaikan untuk konsep TFFF, atau mekanisme pendanaan lain, kalau ada, bisa dibuat agar benar-benar timbul peluang yang menggaransi janji dan akseptabilitasnya demi hutan selamanya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.

5 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Catatan Dari Palmerah

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan Dari Palmerah

Lihat semua