Saya merupakan esais amatir antah berantah.
Kriminalisasi Non-Kriminal dalam Kultur Hukum Kita
Jumat, 1 Agustus 2025 21:47 WIB
Masalah kriminalisasi bukan masalah hukum semata, namun rentan diinstrumentalisasi sebagai bagian dari strategi politisasi hukum.
***
Vonis 4,6 tahun penjara kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong pada Jumat, 18 Juli 2025, merupakan keberlanjutan dari kultur kriminalisasi sebuah kasus. Hal semacam itu kerap digunakan para aktor politik culas untuk menyukseskan dan menghilangkan hambatan-hambatan kepentingan pragmatisnya.
Berpijak pada persoalan kriminalisasi, tulisan ini bertujuan agar pembaca dapat membangun benteng perlindungan diri atas potensi kriminalisasi di masa depan. Semua dapat terjadi di tengah-tengah kondisi penegakan hukum Indonesia yang kian memburuk, sekaligus memampang wajah hukum Indonesia. Sebab semua bisa kena. Itu bukan hanya soal kata, tetapi ancaman nyata.
Kriminalisasi dan Pembunuhan Karakter
Sebenarnya, kriminalisasi bukanlah sesuatu yang buruk, bahkan diperlukan. R. A. Duff, dkk., (2014) dalam buku “Criminalization: The Political Morality of the Criminal Law menjelaskan bahwa dalam teori kriminalisasi harus menempatkan hukum pidana dalam kerangka dan struktur hukum yang lebih luas. Cakupanya adalah komunitas politik, negara, kewarganegaraan, termasuk modus regulasi hukum lainnya,. Selain itu juga menawarkan penjelasan tentang karakter atau perannya yang khas.
Masih pada buku yang sama, Philip Pettit (2014) menilai bahwa kriminalisasi bersifat regulator sejauh dirancang untuk mengurangi insiden berbagai jenis tindakan yang menjadi sasarannya.
Merujuk kepada pandangan tersebut, kriminalisasi sebenarnya relevan digunakan sejauh batasan fungsional hukum, khususnya preventif dan regulatif. Artinya, aturan ditujukan sebagai pencegahan dan pengurangan intensitas kejahatan dan wujud dari ketertiban masyarakat yang didasarkan kepada regulasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Catat, hukum demi ketertiban masyarakat, bukan instrumen politik untuk menyandera orang dengan kasus hukum.
Sayangnya, kriminalisasi seolah kehilangan esensinya. Bahkan, beberapa kalangan menilai kriminalisasi lumrah dan sah, sebagai bentuk penegakan hukum tanpa pandang bulu. Padahal, mereka lupa bahwa kriminalisasi bisa digunakan untuk memenjarakan orang, bahkan terhadap mereka yang tidak berbuat salah sekalipun. Instrumentalisasi kriminalisasi sebagai alat sandera politik, misalnya, alih-alih digunakan sebagai api penyucian justru dimanfaatkan untuk melanggengkan kepentingan politik seseorang. Tuntutannya mungkin sah secara hukum, tapi tidak secara moral dan etis, bahkan cenderung licik. Bayangkan, ketika semua orang masuk penjara hanya karena semua orang saling melaporkan hanya didasarkan kepada dendam dan ego semata.
Bukan tanpa alasan, ketika politisasi hukum atas kriminalisasi dikatakan sebagai instrumen pertempuran politik yang efektif. Penulis merasakan bahwa sentimen masyarakat terhadap pelaku kejahatan, terutama koruptor, jauh lebih brutal. Masalahnya, kriminalisasi membuka celah bagi seseorang untuk dituduh melakukan korup, seperti yang dialami Tom Lembong. Pratiwi, dkk., (2023) melaporkan bahwa tingginya sikap ketidakpuasan masyarakat atas kepada narapidana korupsi diakibatkan oleh ketidaktegasan penindakan dan ringannya sanksi pidana kepada koruptor, sehingga melahirkan persepsi kesia-siaan atas semua upaya hukum bagi koruptor. Artinya, ketika seseorang dikriminalisasi oleh kasus korupsi, maka potensi pembunuhan karakter semakin efektif.
Melawan Pembunuhan Karakter
Kultur kriminalisasi kerap digunakan para aktor politik di Indonesia untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya atau orang yang dinilai mengancam kepentingannya, sebab efektif untuk membunuh karakter seseorang. Beberapa kasus kriminalisasi, misalnya menimpa aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Haris Azhar dan Fatia Maulidayanti yang dituntut dengan tindak pidana pencemaran nama baik kepada mantan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan. Atau, misalnya dugaan kriminalisasi terhadap Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto, sebagaimana pledoinya di persidangan.
Kriminalisasi tidak hanya menyasar tokoh penting, tapi bisa menyasar kepada masyarakat awam. Sebut saja Tri Yanto, seorang whistleblower yang melaporkan dugaan tindak pidana korupsi dana zakat dan hibah sebesar Rp13,3 miliar di Badan Amil Zakat Nasional Provinsi Jawa Barat. Atau, Baiq Nuril, seorang guru honorer yang dituduh menyebarkan rekaman pelecehan seksual dari oknum kepala sekolah kepadanya. Institute for Criminal Justice (ICJR) (2023), mengutip laporan dari SAFEnet, menunjukan bahwa 393 orang dikriminalisasi dengan pasal-pasal UU ITE sepanjang 2013-2021. “Semua bisa kena”, bukan hanya slogan kekecewaan, tapi juga kekhawatiran nyata masyarakat terhadap buruknya penegakan hukum di Indonesia.
Riset Miskolczy dan Gherghina (2025) menyebutkan bahwa pembunuhan karakter, salah satu jenis kampanye negatif, juga banyak menyerang tokoh-tokoh dunia, sebut saja Joe Biden, Donald Trump, Hillary Clinton, Barack Obama, Tony Blair, dan lainnya. Mereka menemukan ada lima penyebab potensial dari upaya pembunuhan karakter ini, di antaranya: relasi kekuasa, gender, respons, liputan media, dan kompleksitas serangan. Banyak dari mereka yang lolos dari serangan tersebut, ada pula yang gagal dan berdampak pada reputasi dan citra politik mereka di hadapan publik.
Guna mengatasi masalah tersebut, penting bagi masyarakat Indonesia dalam membangun literasi hukum dan senantiasa terkoneksi dengan para praktisi hukum, terutama lembaga-lembaga bantuan hukum kredibel yang dapat membantu masyarakat ketika berhadapan dengan persoalan hukum.
Namun, pertarungan sesungguhnya justru datang dari pembunuhan karakter itu sendiri. Bagaimana pun, sebisa mungkin menghindarkan diri dari persoalan hukum adalah cara efektif bagi masyarakat untuk melawan upaya pembunuhan karakter. Sebab, masalah hukum kerap dijadikan senjata oleh kelompok tertentu untuk menyandera seseorang dengan kasus hukumnya, yang mana sewaktu-waktu dapat digunakan untuk mengkriminalisasikannya bila kepentingannya terganggu atau telah selesai menggunakan kita sebagai pion permainan politiknya.
Oleh karena itu, kesadaran berhukum dan peka terhadap potensi pelanggaran akan menghindarkan kita dari sandera-sandera politikus culas untuk memanfaatkan kasus hukum yang dialami untuk melancarkan kepentingan-kepentingan politiknya. Ketika kesadaran bersama muncul, barulah gerakan untuk reformasi dan penguatan lembaga hukum perlu dilakukan segenap masyarakat. Bagaimana pun, kemajuan penegakan hukum Indonesia hanya bisa diraih ketika masyarakat kolektif mulai sadar betapa pentingnya kepastian hukum yang berkeadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Duff, R. A., Farmer, L., S E Marshall, M. R., & Tadros, V. (2014). Introduction: Towards a Theory of Criminalization? In R. A. Duff, L. Farmer, M. R. S E Marshall, V. Tadros, R. A. Duff, L. Farmer, S. E. Marshall, M. Renzo, & V. Tadros (Eds.), Criminalization: The Political Morality of the Criminal Law (pp. 1-53). Oxford: Oxford University Press.
Institute for Criminal Justice Reform. (2023, Mei 29). Puluhan Korban Kriminalisasi UU ITE Jalan Santai Sambil dorong Revisi UU ITE. Retrieved Juli 22, 2025, from icjr.or.id: https://icjr.or.id/puluhan-korban-kriminalisasi-uu-ite-jalan-santai-sambil-dorong-revisi-uu-ite/
Miskolczy, I., & Gherghina, S. (2025). Making Words Harmless: Why Politicians Survive Character Assassination Attacks. The British Journal of Politics and International Relations, XXVII(1), 199-219. doi:https://doi.org/10.1177/13691481241264980
Pettit, P. (2014). Criminalization in Republican Theory. In R. A. Duff, L. Farmer, S. E. Marshall, M. Renzo, V. Tadros, R. A. Duff, L. Farmer, S. E. Marshall, M. Renzo, & V. Tadros (Eds.), Criminalization: The Political Morality of the Criminal Law (pp. 132-150). Oxford: Oxford University Press.
Pratiwi, W. R., Suwoto, A. N., & Chaer, U. (2023). Tinjauan Yuridis Persepsi Masyarakat terhadap Sanksi Pidana dan Penerapan Pembebasan Bersyarat (PB) bagi Narapidana Korupsi di Indonesia. Temu Ilmiah Nasional (Temilnas) XII Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) (pp. 227-236). Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Retrieved from https://conferences.uin-malang.ac.id/index.php/temilnas/article/view/3046

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

One Piece: Simbol Gugatan dan Kritik terhadap Pemerintahan
Kamis, 4 September 2025 12:36 WIB
Kriminalisasi Non-Kriminal dalam Kultur Hukum Kita
Jumat, 1 Agustus 2025 21:47 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler