Penulis, aktivis, sociopreneur.\xd\xd\xd Menyuarakan nalar kritis dan semangat mandiri dari pesantren ke publik digital #LuffyNeptuno
Bulog Hapus Hak Penerima Bantuan Pangan Pecandu Judol
Rabu, 6 Agustus 2025 17:23 WIB
Bulog coret penerima bantuan beras yang terlibat judi online dan terorisme. Tapi benarkah negara boleh menghukum rakyatnya yang lapar?
Judol dan Terorisme Jadi Alasan Diskriminatif: Bulog Hapus Hak Penerima Bantuan Beras
Langkah Perum Bulog yang tidak akan menyalurkan bantuan pangan beras kepada masyarakat yang diduga terlibat dalam judi online dan terorisme mengundang perdebatan. Direktur Utama Bulog, Mayjen TNI Ahmad Rizal Ramdhani, menegaskan bahwa mereka yang termasuk dalam kategori tersebut tidak berhak menerima program bantuan beras 10 kilogram maupun beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
“Kami pastikan bagi oknum masyarakat yang terlibat judi online dan radikal terorisme tidak boleh menerima bantuan pangan. Itu sudah ada aturannya,” kata Rizal dalam pernyataannya di Kabupaten Tangerang, Sabtu (2/8).
Kebijakan ini langsung menuai perhatian, bukan hanya karena menyangkut distribusi 1,3 juta ton beras secara nasional, melainkan juga karena menyangkut keadilan sosial. Di tengah kondisi ekonomi yang masih rapuh, keputusan untuk mengecualikan kelompok tertentu dari program pangan menjadi pertanyaan besar, apakah negara boleh menghukum rakyatnya yang lapar atas dasar dugaan, bukan putusan pengadilan?
Soal Data dan Ketepatan Sasaran
Menurut Rizal, Bulog telah mengantongi data akurat terkait kelompok-kelompok yang dianggap tidak layak menerima bantuan. Ia juga menyebut adanya sistem berbasis aplikasi, dengan fitur pemindaian barcode dan verifikasi data penerima berdasarkan KTP.
Sisi positif dari sistem ini adalah adanya upaya memastikan ketepatan sasaran. Pemerintah memang harus menghindari kebocoran anggaran dan salah sasaran distribusi bantuan. Namun yang menjadi sorotan bukanlah sistem distribusinya, melainkan siapa yang dianggap berhak atau tidak berhak atas bantuan tersebut.
Judi online dan radikalisme adalah dua persoalan serius di negeri ini. Namun, menyamakan keduanya dalam satu kalimat yang langsung dikaitkan dengan hak atas bantuan pangan menciptakan generalisasi berbahaya. Terlebih lagi, hingga saat ini belum dijelaskan secara rinci siapa yang dimaksud dengan “terlibat” apakah hanya pengguna, pelaku, atau sekadar orang yang pernah diperiksa?
Bantuan Sosial Bukan Alat Hukuman
Dalam konteks hukum dan keadilan sosial, bantuan pangan adalah hak dasar bagi warga negara yang memenuhi kriteria kemiskinan atau kerentanan ekonomi, bukan hadiah atau penghargaan moral. Negara tidak bisa serta-merta menghapus hak warga atas dasar moralitas tanpa melalui proses hukum yang sah.
Jika pemerintah mulai menerapkan standar moral dalam pendistribusian hak-hak dasar, maka sangat mungkin ke depan akan ada kriteria tambahan yang sifatnya diskriminatif: misalnya pelanggar lalu lintas, pembolos pajak, atau pengkritik pemerintah. Apakah mereka juga akan dicoret dari daftar penerima bantuan?
Pemerintah dan Bulog boleh saja menyatakan bahwa mereka menjalankan amanat undang-undang. Tetapi masyarakat juga punya hak untuk bertanya, undang-undang yang mana yang membolehkan negara menghukum perut warganya atas dasar “dugaan keterlibatan”?
Masalah Struktural yang Tak Disentuh
Jika pemerintah serius ingin memberantas judi online atau jaringan terorisme, maka pendekatannya seharusnya struktural, bukan simbolik. Menghapus bantuan beras dari mereka yang dianggap bersalah hanya akan memperparah ketimpangan dan alienasi sosial. Mereka akan semakin termarjinalkan dan justru semakin rentan direkrut oleh jaringan radikal atau masuk ke lingkaran setan ekonomi ilegal.
Solusinya bukan di larangan bantuan, tapi di edukasi, rehabilitasi sosial, dan pemberdayaan ekonomi. Selama negara tidak mampu menciptakan cukup lapangan kerja, akses pendidikan, dan ruang aman bagi masyarakat miskin, maka pemberian bantuan adalah keharusan, bukan kebijakan insentif.
SPHP dan Kontrol Harga
Rizal juga menjelaskan bahwa program SPHP bertujuan untuk menekan harga beras agar tetap terjangkau, maksimal Rp12.500 per kilogram atau Rp62.500 untuk 5 kilogram. Ini merupakan langkah positif dalam mengatasi fluktuasi harga pangan. Di tengah krisis iklim dan gangguan pasokan global, stabilisasi harga pangan memang menjadi kebutuhan mendesak.
Namun, program stabilisasi ini akan kehilangan makna jika tidak menyentuh kelompok paling rentan. Apa arti beras murah jika tidak bisa dibeli oleh mereka yang lapar?
Negara Tidak Boleh Meninggalkan Warga
Dalam situasi apa pun, negara tidak boleh meninggalkan warga yang lapar apalagi hanya karena prasangka atau stigma. Jika seseorang benar-benar terlibat dalam tindakan kriminal, maka yang berhak menjatuhkan sanksi adalah pengadilan, bukan birokrasi pangan.
Langkah Bulog ini menyiratkan pesan bahwa kemiskinan bukan hanya dianggap sebagai masalah sosial, tetapi juga masalah moral. Ini adalah bahaya besar dalam negara hukum dan demokrasi. Kita tidak boleh membiarkan logika ini berkembang, sebab esok lusa, bisa jadi kita sendirilah yang dianggap tidak layak menerima bantuan.

Sociopreneur | Founder Neptunus Kreativa Publishing
8 Pengikut

Malang, Kota Pendidikan yang Tak Pernah Kehilangan Toko Buku
Jumat, 19 September 2025 07:11 WIB
Oase Pengetahuan di Tengah Krisis Membaca
Rabu, 17 September 2025 18:50 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler