Mahasiswa ilmu politik yang lebih kusus membahas tentang isu HAM, lingkungan dan Budaya

Dialektika Seni dan Kebersamaan dalam Praktik Kultural Sanggar Bujang Juaro

Senin, 11 Agustus 2025 09:11 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kesenian Randai. Foto: Wikipedia
Iklan

Sanggar ini bukan sekadar ruang kesenian, melainkan arena politik dalam pengertian klasik, tempat di mana warga bertemu dan berdialog,

***

Di sebuah sudut nagari yang bernama Koto Japang, Nagari Padang Air Dingin, Kabupaten Solok Selatan, berdiri sebuah bangunan sederhana yang setiap malam Minggu menjelma menjadi pusat denyut kehidupan sosial yaitu Sanggar Bujang Juaro. Tidak ada pintu yang tertutup rapat, tidak ada tiket masuk yang menghalangi. Malam Minggu di sini bukan milik hiburan televisi atau layar ponsel, melainkan milik bunyi talempong, hentakan kaki, dan tepuk tangan warga yang datang dari segala usia.

Lampu sorot menggantung seadanya di teras sanggar, memantulkan cahaya pada wajah-wajah yang berkerumun. Anak-anak duduk bersila di tanah berdebu, para ibu berdiri sambil menggendong bayi, para bapak bersandar di dinding dengan rokok kretek mengepul, dan para lansia duduk di kursi kayu, matanya memantulkan kenangan masa muda. Tidak ada batas kelas sosial di sini semua larut dalam satu ruang publik yang setara.

Sanggar ini bukan sekadar ruang kesenian, melainkan arena politik dalam pengertian klasik, tempat di mana warga bertemu, berdialog, dan mempraktikkan kohesi sosial. Alexis de Tocqueville pernah menulis bahwa kehidupan demokratis yang sehat bertumpu pada kekuatan asosiasi masyarakat. Sanggar Bujang Juaro, meski bukan lembaga formal, mempraktikkan hal itu secara organik, ia menjadi civil association yang mengikat warga dengan rasa memiliki dan tujuan bersama.

Latihan dimulai dengan disiplin yang nyaris ritualistik. Para pemain randai berbaris, kaki mereka siap menjejak teras yang telah menanggung ratusan malam latihan. Ketika Gendang dipukul, tubuh-tubuh para pemain mulai bergerak. Irama mengalun bukan sekadar dendang, melainkan narasi kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi. Inilah bentuk cultural reproduction sebagaimana dijelaskan Pierre Bourdieu yaitu warisan budaya dipelihara bukan lewat arsip tertulis, tetapi lewat tubuh dan kebersamaan.

Di tengah denting dendang, saya menyadari satu hal yaitu latihan ini tidak pernah sepi penonton. Setiap malam Minggu, warga berdatangan bukan semata untuk melihat seni, tetapi untuk melihat diri mereka sendiri di panggung itu. Para penari muda adalah anak-anak mereka, keponakan mereka, atau tetangga yang tumbuh bersama mereka bahkan terkadang para penontonpun ikut serta masuk ke dalam barisan randai untuk sekedar mendapatkan kebersamaan dan rasa persaudaraan yang ada. Sanggar ini menjadi cermin identitas kolektif nagari.

Sanggar Bujang Juaro juga memegang fungsi integrasi sosial di dalam masyarakat. Émile Durkheim menjelaskan bahwa masyarakat membutuhkan collective effervescence atau momen-momen kebersamaan yang mengikat emosi warga dalam satu rasa. Di Bujang Juaro, momen itu hadir setiap pekan. Tawa anak-anak, tepuk tangan bapak-bapak, dan sorakan ibu-ibu membentuk energi kolektif yang tak ternilai. sanggar bujang juaro juga memiliki dimensi politik. Bukan politik elektoral, tetapi politik kebudayaan.

Antonio Gramsci pernah menulis bahwa hegemoni kultural terbentuk ketika nilai-nilai dan tradisi lokal menjadi bagian dari kesadaran bersama. Dengan terus melestarikan kesenian, warga Koto Japang sedang mempertahankan hegemoni budaya mereka sendiri di tengah arus globalisasi. Di sinilah seni menjadi alat resistensi yang halus, dalam hal ini randai melawan pelupaan, melawan homogenisasi budaya, dan melawan terputusnya ikatan sosial antarwarga.

Latihan di sanggar ini juga berfungsi sebagai pendidikan politik tak formal. Pemuda yang bergabung belajar disiplin, kerjasama, dan penghargaan terhadap tradisi. Penonton belajar toleransi dan kesetaraan, karena di ruang sanggar tidak ada kursi VIP atau batas kelas. Setiap orang berhak berada di lingkaran terdekat dengan panggung, dan setiap orang memiliki suara untuk memberi saran atau kritik setelah latihan. Bahkan mahasiswa kkn yang notabennya bukan siapa-siapa di nagari tersebut juga bisa memberikan masukan dalam latihan.

Malam Minggu terus berputar di Koto Japang. Latihan berjalan, penonton tetap setia. Kadang hujan rintik membasahi tanah, membuat anak-anak yang duduk di tanah berlarian mencari teduh, tapi mereka akan kembali ketika dendang dimulai lagi. Dalam suasana itu, saya merasakan bahwa sanggar ini telah melampaui fungsi hiburan. Sanggar adalah ruang deliberatif dalam arti Habermasian tempat di mana warga bisa hadir, terlibat, dan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Di akhir latihan, ketika bunyi dendang mereda,beberapa penonton enggan beranjak. Mereka saling berbincang, menyapa, bertukar kabar. Dalam percakapan santai itu, terselip kekuatan politik yang paling mendasar yaitu kepercayaan. Kepercayaan bahwa kebersamaan bisa dijaga, bahwa anak-anak mereka akan tumbuh dengan identitas yang jelas, dan bahwa nagari ini punya masa depan yang tidak tercerabut dari akarnya.

Sanggar Bujang Juaro adalah laboratorium sosial. Di sini teori-teori tentang modal sosial (social capital) ala Robert Putnam hidup dan berdenyut. Kepercayaan, jaringan sosial, dan norma timbal balik yang terbentuk di sanggar memperkuat kohesi nagari. Bahkan, dalam konteks pemerintahan nagari, keberadaan sanggar seperti ini dapat menjadi mitra strategis dalam pembangunan berbasis komunitas.

Seni di Bujang Juaro bukanlah seni yang terpisah dari kehidupan. Ia adalah bagian dari politik sehari-hari, dari sosiologi hubungan antarwarga, dari filsafat tentang siapa kita dan ke mana kita akan pergi. Setiap hentakan kaki adalah pernyataan identitas, setiap denting talempong adalah manifesto kebersamaan, dan setiap malam Minggu adalah sidang umum tak tertulis yang dihadiri semua warga.

Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi oleh batas layar gawai dan kesibukan individu, Sanggar Bujang Juaro berdiri sebagai pengingat bahwa manusia pada hakikatnya membutuhkan ruang untuk bertemu, bercerita, dan bergerak bersama Sebab, seperti kata Benedict Anderson, bangsa adalah imagined community dan di Koto Japang imajinasi itu menjadi nyata setiap kali malam Minggu tiba, ketika seluruh nagari berkumpul di bawah cahaya lampu neon, menyaksikan seni yang bukan sekadar pertunjukan tetapi perayaan hidup bersama.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Aley Taqrizul Haq

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler