Politik Prabowo Hanyalah Alunan Nada dalam Ritme Zero

Rabu, 20 Agustus 2025 15:42 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ritmich Prabowo
Iklan

Politik selalu memiliki musiknya sendiri. Ia bergerak dalam pola ketukan, repetisi, aksentuasi, dan jeda. Kita menyebutnya periode, transisi,

 

Oleh: Ahmad Wansa Al-faiz

Politik Sebagai Bunyi

Politik selalu memiliki musiknya sendiri. Ia bergerak dalam pola ketukan, repetisi, aksentuasi, dan jeda. Kita menyebutnya periode, transisi, atau siklus kekuasaan. Namun pada intinya, politik adalah ritme —sebuah pengulangan yang membentuk alur sejarah.

Prabowo Subianto, sebagai figur politik sentral Indonesia sejak awal reformasi, telah menjadi bagian dari orkestrasi itu. Namun yang menarik bukan hanya posisinya, melainkan bagaimana ia sering kali tenggelam dalam ritme, bukan berdiri sebagai komposer yang mengubah musiknya.

Kekosongan yang Berulang

Zero dalam politik Prabowo tidak harus dipahami sebagai nihil, melainkan ketukan kosong yang terus berbunyi. Ia adalah momen-momen ketika janji besar dilontarkan, tetapi tak pernah menjelma sebagai melodi utuh.

Sejak retorika “kedaulatan pangan” hingga “kebangkitan industri nasional”, irama yang dimainkan terasa kuat di awal, namun kemudian berhenti pada repetisi, bagai drum yang menghentak tapi tak pernah bertemu harmoni.

Ritme zero ini tidak identik dengan kegagalan. Ia lebih tepat dibaca sebagai kebekuan—politik yang berjalan di tempat, menciptakan suara tapi tak bergerak maju.

Tenggelam dalam Orkestra Kekuasaan.

Dalam politik Indonesia, semua tokoh besar akhirnya terserap dalam satu ritme kolektif, yakni ritme: pemilu, koalisi, kompromi. Inilah yang saya sebut sebagai all go to ritmich. Semua akhirnya menari dalam ketukan yang sama, sekeras apa pun mereka ingin berbeda.

Prabowo, yang pada mulanya hadir sebagai nada dominan —keras, konfrontatif, tegas— akhirnya melebur dalam komposisi besar bernama konsensus nasional. Ironisnya, semakin ia melebur, semakin ia tenggelam; suaranya menjadi bagian dari kebisingan kolektif yang tak mudah dikenali.

Politik Sebagai Simfoni atau Noise?

Pertanyaan yang muncul kemudian apakah ritme ini membentuk simfoni kebangsaan, atau sekadar noise yang terus diulang? Jika simfoni, maka Prabowo adalah salah satu instrumen penting yang menguatkan melodi kebersamaan.

Namun jika noise, maka ia hanyalah bagian dari kebisingan yang menegaskan bahwa politik kita kehilangan arah melodis, hanya tersisa dentuman-dentuman kosong.

Di titik inilah publik sering merasa politik berjalan bagai lagu tanpa refrain—kita menunggu klimaks yang tak pernah datang.

Epilog: Siapa yang Mampu Mengubah Ritme?

Esai ini bukanlah kritik personal terhadap Prabowo semata, melainkan refleksi terhadap kondisi politik Indonesia secara keseluruhan. Politik kita kerap terjebak dalam ritme zero: janji-janji besar, retorika lantang, kompromi senyap, lalu kembali ke titik semula. All go to ritmich berarti semua politisi, pada akhirnya, mengikuti alur yang sama.

Pertanyaan yang tersisa adalah: Adakah sosok yang mampu mengubah ritme menjadi musik? Siapa yang dapat menggeser dentuman kosong menjadi simfoni kebangsaan yang sesungguhnya?

Selama pertanyaan itu belum terjawab, kita akan terus mendengar ritme-ritme kosong—dan menyaksikan tokoh-tokoh besar, termasuk Prabowo, tenggelam di dalamnya.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
A.W. Al-faiz

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Jejak Al-Masih dalam Ruang Kelas Modern

Kamis, 21 Agustus 2025 22:47 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler