Pegiat Literature
Jejak Al-Masih dalam Ruang Kelas Modern
Kamis, 21 Agustus 2025 22:47 WIB
Ketika seorang guru mengangkat penghapus papan tulis untuk membersihkan tulisan lama sebelum menulis materi baru, tanpa disadari ia sedang ....
Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz.
Ketika seorang guru mengangkat penghapus papan tulis untuk membersihkan tulisan lama sebelum menulis materi baru, tanpa disadari ia sedang mengulangi ritual simbolis yang telah berlangsung berabad-abad. Dalam bahasa Arab, alat sederhana itu disebut "mimsahatun" (ممساحة), sebuah kata yang berakar pada "masaha" - kata yang sama yang membentuk gelar "Al-Masih" untuk Nabi Isa AS.
Bukankah menarik bagaimana bahasa menyimpan memori kolektif umat manusia? Kata "masaha" yang bermakna "mengusap" atau "menyentuh" telah melewati perjalanan semantik yang panjang. Dari sentuhan penyembuhan Al-Masih yang mampu menyembuhkan orang buta dan sakit, hingga sentuhan simbolis guru yang "menyembuhkan" kebodohan murid-muridnya.
Dalam tradisi Islam, Al-Masih Isa AS dikenal karena kemampuannya menyembuhkan dengan menyentuh. Namun jika kita renungkan lebih dalam, bukankah setiap guru yang baik juga melakukan hal serupa? Mereka "menyentuh" jiwa murid melalui kata-kata yang menginspirasi, "mengusap" luka hati yang terluka akibat kegagalan belajar, dan "menghapus" prasangka serta ketakutan terhadap pengetahuan.
Ketika saya melihat seorang guru SD yang sabar mengajarkan anak-anak membaca, atau dosen yang dengan penuh empati membimbing mahasiswa yang kesulitan memahami konsep rumit, saya melihat gema dari tradisi Al-Masih. Bukan dalam pengertian teologis yang sakral, tetapi dalam pengertian metodologis yang universal - bahwa mendidik adalah bentuk penyembuhan, dan mengajar adalah bentuk sentuhan yang mentransformasi.
"Mimsahatun" sebagai alat penghapus menjadi metafora yang kaya. Dalam proses pembelajaran, guru harus mampu "menghapus" konsep yang salah sebelum menanamkan yang benar. Mereka harus "mengusap bersih" prasangka sebelum membangun pemahaman baru. Dan yang terpenting, mereka harus "menyentuh" dengan kelembutan, bukan dengan kekerasan.
Mungkin inilah yang dimaksud dengan kontinuitas spiritual dalam peradaban manusia. Bahwa nilai-nilai luhur dari tradisi kenabian tidak hilang begitu saja, tetapi tertransformasi dan terinstitusionalisasi dalam berbagai bentuk kehidupan sosial. Guru modern, tanpa menyadarinya, adalah pewaris metodologis dari tradisi pedagogis yang telah dimulai sejak masa para nabi.
Refleksi ini mengajak kita untuk melihat profesi guru dengan kacamata yang lebih sakral - bukan dalam pengertian religius yang sempit, tetapi dalam pengertian kemanusiaan yang universal. Bahwa mendidik adalah amanah yang telah dicontohkan oleh para nabi, dan setiap yang terlibat dalam proses pendidikan sesungguhnya sedang melanjutkan misi peradaban yang agung.
Jejak Cahaya Di dalam Jiwa Manusia.
Ada momen dalam kehidupan ketika kita merasakan bagaimana cahaya perlahan-lahan mengusir kegelapan yang telah lama bersarang dalam jiwa. Momen ketika seorang guru pertama kali membuat kita memahami konsep yang selama ini membingungkan, atau ketika seseorang dengan sabar mengusap air mata kita dan memberikan harapan di tengah keputusasaan. Dalam momen-momen seperti itulah, kita menyaksikan mukjizat yang sama yang pernah dilakukan Al-Masih: cahaya yang menghapus kegelapan melalui sentuhan yang penuh cinta.
Kegelapan yang Bersemayam
Setiap manusia lahir dengan membawa kegelapannya masing-masing. Bukan kegelapan dalam pengertian moral yang hitam-putih, tetapi kegelapan eksistensial yang inheren dalam kondisi manusia: ketidaktahuan, ketakutan, kesepian, dan keraguan. Kegelapan ini bukan dosa, melainkan kondisi awal yang menantang kita untuk mencari cahaya.
Dalam bahasa Arab, kondisi ini disebut "jahl" (جهل) - bukan sekadar kebodohan, tetapi ketidaksadaran akan potensi cahaya yang tersimpan dalam diri. Seperti biji yang terkubur dalam tanah gelap, menunggu sentuhan sinar matahari untuk bertunas. Kegelapan menjadi ruang inkubasi bagi cahaya yang akan datang.
Sentuhan yang Mentransformasi
Kata "masaha" mengandung kelembutan yang luar biasa. Bukan "memukul" atau "menekan", tetapi "mengusap" - sebuah tindakan yang penuh kehati-hatian dan kasih sayang. Ketika Al-Masih menyentuh mata orang buta, ia tidak melakukan operasi bedah yang dramatis, tetapi sentuhan lembut yang membangkitkan cahaya dari dalam.
Begitu juga dengan setiap guru yang baik. Mereka tidak "memaksa" cahaya masuk ke dalam pikiran murid, tetapi "mengusap" dengan kelembutan, menciptakan ruang aman di mana cahaya bisa tumbuh secara natural. Ada seni dalam menyentuh jiwa manusia tanpa melukai, menghapus kegelapan tanpa menciptakan trauma baru.
Saya teringat seorang guru SD yang pernah berkata kepada seorang anak yang kesulitan membaca: "Tidak apa-apa, cahaya di dalam dirimu hanya perlu waktu untuk bersinar." Kalimat sederhana itu mengandung filosofi "masaha" yang mendalam - pengakuan akan cahaya yang sudah ada, bukan upaya memasukkan cahaya dari luar.
Mimsahatun: Alat Penghapus sebagai Metafora Kehidupan
Setiap kali seorang guru mengangkat penghapus untuk membersihkan papan tulis, ia sedang melakukan ritual simbolis yang sangat mendalam. "Mimsahatun" bukan hanya alat, tetapi metafora tentang bagaimana kita harus berani menghapus yang lama untuk memberi ruang bagi yang baru.
Dalam kehidupan spiritual, kita semua memerlukan "mimsahatun" - kemampuan untuk menghapus prasangka, menghapus trauma masa lalu, menghapus ketakutan yang menghalangi pertumbuhan. Tetapi penghapusan ini harus dilakukan dengan kebijaksanaan, seperti seorang kaligrafer yang menghapus garis yang salah bukan untuk menghancurkan karya, tetapi untuk menyempurnakannya.
Cahaya yang Tidak Pernah Padam
Yang menarik dari konsep "nur" dalam tradisi Islam adalah bahwa cahaya tidak pernah benar-benar padam. Ia mungkin tertutup, terhalangi, atau teredup, tetapi tidak pernah mati. Setiap manusia adalah pembawa cahaya, dan tugas kita adalah saling membantu mengusir kegelapan yang menghalangi cahaya itu bersinar.
Dalam ruang kelas, ketika seorang murid tiba-tiba memahami konsep yang sulit, mata mereka berbinar - harfiah menyala. Dalam percakapan mendalam dengan teman, ketika kita berbagi kerentanan dan saling memahami, ada cahaya yang memancar di antara kita. Dalam momen-momen solitude ketika kita menemukan ketenangan setelah pergulatan batin, ada cahaya yang menyinari dari dalam.
Warisan Cahaya
Setiap orang yang pernah menyentuh hidup kita dengan cahaya menjadi bagian dari warisan spiritual yang kita bawa. Guru yang sabar, teman yang mendengarkan, stranger yang tersenyum di saat yang tepat - mereka semua adalah "Al-Masih" dalam skala kecil, pembawa cahaya yang menghapus kegelapan melalui sentuhan kemanusiaan.
Dan kita pun dipanggil untuk menjadi bagian dari rantai cahaya ini. Tidak perlu menjadi nabi atau guru besar. Cukup dengan menjadi seseorang yang mampu "mengusap" dengan kelembutan, menghapus sedikit kegelapan di sekitar kita, dan membiarkan cahaya yang ada dalam diri kita bersinar untuk orang lain.
Penutup: Cahaya yang Terus Bergerak
Cahaya memiliki sifat yang unik - ia selalu bergerak, selalu menyebar, tidak pernah diam. Begitu juga dengan proses transformasi manusia. Sekali cahaya menyentuh kegelapan, proses itu tidak pernah berhenti. Ia terus bergerak, dari satu jiwa ke jiwa lain, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dalam setiap "mimsahatun" yang diangkat untuk menghapus tulisan di papan tulis, dalam setiap tangan yang terulur untuk membantu, dalam setiap kata yang diucapkan dengan kasih sayang, kita menyaksikan keajaiban yang sama: cahaya yang menghapus kegelapan, menciptakan ruang bagi keindahan dan kebenaran untuk tumbuh.
Dan di sinilah makna sesungguhnya dari warisan Al-Masih - bukan sebagai dogma yang membeku, tetapi sebagai inspirasi hidup yang terus mengalir, menyentuh setiap jiwa yang siap menerima cahaya, dan mengundang setiap orang untuk menjadi pembawa cahaya bagi sesamanya.
REFERENSI
- Bachelard, G. (2014). The Poetics of Space. Beacon Press.
- Buber, M. (2010). I and Thou. T&T Clark.
- Chodron, P. (2016). When Things Fall Apart: Heart Advice for Difficult Times. Shambhala Publications.
- Gibran, K. (1923). The Prophet. Alfred A. Knopf.
- Heschel, A. J. (1955). God in Search of Man: A Philosophy of Judaism. Farrar, Straus and Giroux.
- Palmer, P. J. (2017). The Courage to Teach: Exploring the Inner Landscape of a Teacher's Life. Jossey-Bass.
- Rumi, J. (2004). The Essential Rumi (translated by Coleman Barks). HarperOne.
- Tzu, L. (1997). Tao Te Ching (translated by Stephen Mitchell). Harper Perennial.
- Bakhtin, M. M. (1981). The Dialogic Imagination: Four Essays. University of Texas Press.
- Gadamer, H. G. (2013). Truth and Method. Bloomsbury Academic.
- Nasr, S. H. (2006). Islamic Philosophy from Its Origin to the Present. State University of New York Press.
- Noddings, N. (2013). Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education. University of California Press.
- Rahman, F. (2017). Major Themes of the Qur'an. University of Chicago Press.
- Ricoeur, P. (2016). Hermeneutics and the Human Sciences. Cambridge University Press.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Jejak Al-Masih dalam Ruang Kelas Modern
Kamis, 21 Agustus 2025 22:47 WIB
Politik Prabowo Hanyalah Alunan Nada dalam Ritme Zero
Rabu, 20 Agustus 2025 15:42 WIBArtikel Terpopuler