Gemar berbagi melalui ragam teks fiksi dan nonfiksi.
Alasan Rie Qudan Menggunakan ChatGPT dalam Novel yang Meraih Penghargaan
Jumat, 22 Agustus 2025 07:43 WIB
ChatGPT masuk ke dalam halaman novel peraih penghargaan, maka tak pelak muncul perdebatan: kreatif atau kontroversial?
***
Pada 18 Agustus 2025, media internasional The Guardian menyoroti kisah penulis Jepang, Rie Qudan, yang mengungkapkan perannya dalam memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan ChatGPT dalam proses kreatif penulisan novelnya, Sympathy Tower Tokyo. Novel tersebut berhasil memenangkan Akutagawa Prize, salah satu penghargaan sastra paling prestisius di Jepang, pada tahun 2024.
Di balik kesuksesan itu, pernyataannya mengenai penggunaan AI dalam naskah memicu diskusi panjang tentang hubungan antara teknologi, kreativitas, dan masa depan kesusastraan.
Qudan secara terbuka menyebut bahwa sekitar 5 persen teks dalam novel itu dihasilkan oleh ChatGPT. Bagian tersebut terutama berupa dialog antara karakter manusia dengan sebuah chatbot. Kejujuran Qudan tentang kontribusi AI menimbulkan kontroversi.
Sebagian pengamat menganggap hal ini sebagai “jalan pintas” yang berpotensi merusak integritas dunia sastra, tetapi ada pula yang melihatnya sebagai bentuk inovasi artistik yang berani di era digital. Ia menegaskan bahwa keputusannya menggunakan ChatGPT bukanlah sekadar gimmick, melainkan refleksi dari dinamika komunikasi manusia modern. Interaksinya dengan chatbot membuka ruang inspirasi baru dan menampilkan cara berpikir berbeda yang tidak bisa muncul hanya dari proses imajinasi manusia.
Novel Sympathy Tower Tokyo karya Rie Qudan
Novel Sympathy Tower Tokyo sendiri mengangkat tema besar tentang empati, keadilan, dan perubahan bahasa di masyarakat Jepang kontemporer. Tokoh utama bernama Sara Machina digambarkan sebagai seorang arsitek yang merancang sebuah menara di Tokyo untuk menjadi pusat rehabilitasi ramah bagi narapidana.
Ide itu lahir dari diskusi sosial pasca kasus pembunuhan mantan Perdana Menteri Shinzo Abe, ketika muncul simpati publik yang mengejutkan terhadap pelaku. Qudan mencoba menyoroti paradoks masyarakat Jepang: di satu sisi menuntut keadilan, di sisi lain menunjukkan belas kasih terhadap mereka yang dianggap melanggar hukum. Dengan latar inilah, kehadiran ChatGPT sebagai bagian dari teks menjadi simbol tentang batas kabur antara manusia, teknologi, dan moralitas.
Bahasa juga menjadi pusat perhatian Qudan dalam wawancara dengan The Guardian. Ia menyinggung penggunaan katakana, salah satu aksara Jepang yang biasanya dipakai untuk kata-kata asing. Menurutnya, pemakaian katakana dapat melembutkan makna sekaligus menyamarkan konotasi diskriminatif dalam sebuah slogan atau pernyataan politik.
Ia memberi contoh bagaimana partai sayap kanan Jepang menulis slogan “Japanese people first” dengan katakana sehingga terdengar lebih netral dan tidak sekeras bila ditulis dalam kanji atau hiragana. Bagi Qudan, fenomena ini berbahaya karena menunjukkan bagaimana bahasa bisa menjadi alat manipulasi sosial. Pandangan ini mempertegas pesan novelnya, yakni bahwa bahasa bukan hanya sarana komunikasi, tetapi juga cermin nilai, kuasa, dan bias manusia.
Meskipun berani menggunakan AI, Qudan menekankan bahwa kreativitas manusia tetap tak tergantikan. Baginya, ChatGPT hanya membantu menyalin struktur dialog yang terasa mekanis, tetapi tidak mampu menghadirkan nuansa emosi atau lapisan makna yang lahir dari pengalaman hidup.
Ia bahkan menyebut bahwa dalam percakapan antara tokoh manusia dan chatbot, pembaca justru akan merasakan kesedihan terhadap AI yang “terkutuk” untuk terus mengulang kata-kata tanpa pernah memahami maknanya. Hal ini menghadirkan pertanyaan eksistensial: apakah mesin yang hanya menirukan bahasa bisa benar-benar hidup? Atau justru ia menjadi cermin kosong yang memantulkan kembali wajah manusia dengan segala kontradiksi emosinya?
Dalam pernyataannya, Qudan tidak menolak jika karyanya kelak menjadi bagian dari data pelatihan AI. Ia melihat teknologi bukan sebagai ancaman, melainkan tantangan yang mendorong penulis untuk menegaskan sisi unik mereka. Selama masih ada kedalaman pengalaman, sensitivitas budaya, dan kepekaan batin yang tak bisa ditiru mesin, maka peran manusia dalam sastra akan tetap relevan. Justru dengan hadirnya AI, para penulis dipaksa mempertanyakan kembali apa arti kreativitas, orisinalitas, dan kebebasan berekspresi.
Reaksi publik terhadap pengakuan Qudan beragam. Sebagian kritikus sastra menilai langkahnya berani karena jujur menyebut kontribusi AI, sementara banyak penulis lain mungkin menggunakan teknologi serupa tanpa mengakuinya.
Ada pula suara yang khawatir bahwa tren ini bisa mengikis kualitas karya sastra jika AI semakin dominan. Namun, bagi pembaca muda Jepang, kombinasi antara manusia dan mesin dianggap selaras dengan perkembangan zaman. Mereka melihat penggunaan ChatGPT dalam sastra bukan sebagai bentuk kecurangan, melainkan bagian dari evolusi teknologi yang wajar.
Kasus Rie Qudan sekaligus membuka diskusi global tentang etika penggunaan AI dalam seni. Sama halnya seperti ketika kamera digital dulu dianggap mengancam seni fotografi, atau ketika internet dipandang merusak tradisi membaca, AI kini diuji dalam medan yang sama.
Apakah ia akan menghancurkan kreativitas, atau justru melahirkan bentuk ekspresi baru yang lebih segar? Tidak ada jawaban pasti. Namun, apa yang dilakukan Qudan menunjukkan bahwa dunia sastra tidak lagi bisa mengabaikan keberadaan teknologi ini.
Pada akhirnya, kisah Rie Qudan dan Sympathy Tower Tokyo menegaskan bahwa sastra selalu berhubungan dengan zaman. Novel tersebut bukan hanya tentang narapidana, arsitektur, atau empati, melainkan juga tentang bagaimana manusia bernegosiasi dengan mesin dalam proses penciptaan.
ChatGPT hanyalah alat, tetapi bagaimana penulis menggunakannya akan menentukan nilai karya. Seperti yang disampaikan Qudan, AI mungkin bisa meniru struktur kalimat, tetapi hanya manusia yang dapat menghadirkan makna, ironi, dan belas kasih.
Dalam era ketika batas antara manusia dan teknologi kian kabur, perdebatan yang dipicu oleh novel ini menjadi pengingat bahwa inti dari sastra tetaplah suara manusia yang berusaha dipahami, diingat, dan dirayakan. Substansi sastra tetap dipegang teguh pengarangnya. AI hanya alat yang membantu, mungkin memudahkan saat pengarang mengalami kebuntuan dan akan menemukan ide justru dari AI. ***

Penulis Indonesiana
7 Pengikut

Membaca László Krasznahorkai, Membaca Karya Pemenang Nobel Sastra 2025
Minggu, 12 Oktober 2025 08:23 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler