Sekolah di Kabupaten Humbang Hasundutan Wajib Upload Foto 2X Sehari

Kamis, 28 Agustus 2025 06:55 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kalau kita nggak suka baca
Iklan

Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan (Sumut) wajibkan sekolah negeri mengunggah foto guru dan pegawai pada pukul 07.15 dan 14.30. Absurd!

Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara baru-baru ini mengeluarkan kebijakan yang cukup menggelitik: seluruh sekolah negeri di bawah naungannya, mulai dari TK, SD, hingga SMP, diwajibkan mengunggah foto bersama guru dan pegawai setiap pagi pukul 07.15 dan sore pukul 14.30. Aturan ini diklaim bertujuan meningkatkan kedisiplinan tenaga pendidik dan pegawai sekolah.

Namun, jika kita telaah lebih dalam, kebijakan ini tidak hanya menimbulkan tanda tanya besar tentang efektivitasnya, tetapi juga menyingkap cara berpikir birokrasi yang lebih mementingkan pencitraan ketimbang substansi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Disiplin yang Bersifat Semu

Disiplin dalam konteks pendidikan tidak sesederhana soal hadir tepat waktu. Menurut teori manajemen klasik Frederick W. Taylor tentang scientific management, produktivitas tidak ditentukan semata-mata oleh kehadiran, melainkan oleh sistem kerja yang efektif, alat yang mendukung, serta motivasi intrinsik pekerja. Jika seorang guru hadir pukul 07.15 sesuai instruksi, tetapi kemudian tidak masuk kelas, atau masuk kelas tanpa persiapan, apa maknanya bagi peningkatan mutu pendidikan? Disiplin fisik tidak otomatis menghasilkan disiplin kinerja.

Lebih parah lagi, praktik unggah foto justru sangat rentan dimanipulasi. Dengan kecanggihan teknologi, foto bisa diedit atau diambil sekali lalu diunggah berulang-ulang. Artinya, aturan ini hanya menumbuhkan budaya kepatuhan semu, bukan penguatan tanggung jawab profesional.

Pendidikan Bukan Sekadar Soal Kehadiran

Dalam teori motivasi Abraham Maslow, manusia bekerja optimal jika kebutuhan dasarnya terpenuhi dan ia mendapat ruang aktualisasi diri. Bagi guru, kebutuhan tersebut bukan hanya soal gaji dan kehadiran, melainkan juga penghargaan, kesempatan berkembang, dan lingkungan kerja yang mendukung. Jika fasilitas sekolah bobrok, laboratorium tidak tersedia, buku terbatas, atau sarana digital absen, kehadiran tepat waktu tidak akan mengubah kualitas pembelajaran.

Lebih jauh, teori Herzberg tentang two-factor theory juga menegaskan bahwa ada faktor higienis (seperti gaji, aturan, fasilitas) dan faktor motivator (seperti penghargaan, kesempatan berkembang, pengakuan). Kehadiran tepat waktu hanya menyentuh faktor higienis dalam wujud aturan disiplin. Tanpa faktor motivator, guru tetap akan kehilangan semangat.

Birokrasi dan Pencitraan

Ada kesan kuat bahwa aturan ini dibuat bukan demi kemajuan pendidikan, melainkan demi pencitraan pejabat. Dengan adanya unggahan foto, pimpinan daerah bisa menunjukkan bahwa mereka telah “mengawasi” guru. Padahal, pengawasan semacam ini lebih menyerupai sandiwara ketimbang manajemen kinerja yang nyata.

Lebih ironis lagi, praktik semacam ini bisa melanggengkan budaya feodal dalam birokrasi pendidikan. Guru ditakut-takuti oleh ancaman aturan, sementara pejabat merasa telah bekerja keras dengan menciptakan regulasi yang tampak ketat. Namun, substansi peningkatan kualitas belajar mengajar tidak tersentuh sama sekali.

Masalah Lain yang Lebih Mendesak. Pengawasan Kinerja yang Lemah. Banyak kasus guru hadir di sekolah tetapi tidak benar-benar mengajar. Ada pula yang masuk kelas tetapi hanya memberi tugas tanpa pendampingan. Ini menunjukkan bahwa pengawasan seharusnya berfokus pada kualitas pembelajaran, bukan sekadar kehadiran.

Sarana dan Prasarana Minim.Sekolah tanpa laboratorium IPA, perpustakaan, akses internet, atau bahkan ruang kelas yang layak tetap akan menghasilkan pendidikan yang lemah. Aturan foto pagi-sore tidak akan menambal kekurangan ini.

Jenjang Karier yang Tidak Jelas. Salah satu masalah klasik dalam dunia pendidikan adalah sistem promosi yang tidak transparan. Guru yang rajin, disiplin, dan inovatif tidak selalu mendapat penghargaan berupa kenaikan pangkat. Sebaliknya, mereka yang dekat dengan pimpinan atau berani “memberi sesuatu” lebih berpeluang naik jabatan. Akibatnya, motivasi guru semakin merosot.

Rekomendasi untuk Perbaikan

Jika pemerintah daerah benar-benar ingin meningkatkan kualitas pendidikan, kebijakan yang ditempuh seharusnya menyentuh akar persoalan, bukan sekadar gejala. Berikut beberapa saran yang lebih substantif:

1. Pengawasan dan Evaluasi Kinerja yang Jelas. Pengawasan harus berbasis data kinerja guru di kelas. Misalnya, dengan classroom observation, supervisi berkala, atau penilaian berbasis portofolio yang melibatkan kepala sekolah, pengawas, dan bahkan siswa. Dengan demikian, kinerja guru bisa diukur secara objektif, bukan hanya lewat kehadiran.

2. Penyediaan Sarana dan Prasarana. Tidak ada pendidikan berkualitas tanpa fasilitas yang memadai. Pemerintah daerah harus memprioritaskan anggaran untuk perpustakaan, laboratorium, perangkat digital, ruang kelas yang layak, serta pelatihan guru dalam pemanfaatan teknologi.

3. Jenjang Karier yang Transparan. Guru harus memiliki jalur karier yang jelas berdasarkan meritokrasi, bukan kedekatan dengan pejabat. Sistem penilaian kinerja harus berbasis prestasi nyata, bukan faktor subjektif. Hal ini akan memotivasi guru untuk terus meningkatkan kompetensinya.

4. Pelatihan dan Pengembangan Berkelanjutan. Guru adalah ujung tombak pendidikan. Pemerintah daerah seharusnya lebih fokus menyediakan pelatihan rutin, sertifikasi, serta akses ke forum ilmiah. Dengan demikian, guru tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga hadir dengan kualitas yang terus berkembang.

5. Transparansi dan Akuntabilitas dalam Kebijakan. Setiap aturan baru harus disusun dengan melibatkan guru, kepala sekolah, dan masyarakat. Proses partisipatif ini memastikan kebijakan sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan.

Penutup

Aturan unggah foto pagi dan sore hari hanyalah solusi dangkal terhadap persoalan kompleks dalam dunia pendidikan. Disiplin yang dihasilkan hanyalah semu, sementara masalah utama—mulai dari lemahnya pengawasan, minimnya fasilitas, hingga ketidakjelasan jenjang karier—tetap dibiarkan. Pendidikan yang berkualitas membutuhkan pendekatan yang komprehensif: guru yang dihargai, fasilitas yang memadai, sistem karier yang transparan, serta pengawasan yang terukur.

Jika pemerintah benar-benar ingin mencetak generasi yang cerdas dan berdaya saing, mereka harus berhenti membuat aturan simbolis yang hanya menambah beban administrasi. Saatnya fokus pada substansi: membangun sistem pendidikan yang adil, profesional, dan benar-benar berpihak pada masa depan anak-anak kita.

Pakkat, 24 Agustus 2024

(Sopian Purba, guru sejak 2014, PNS 2019, Guru Penggerak tahun 2023, Sampai Sekarang BELUM SERTIFIKASI)

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Sopian Purba

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler