Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.
Impor Aspal adalah Bentuk Penjajahan yang Paling Halus
5 jam lalu
Aspal impor membuat Indonesia seperti penjudi yang kalah di meja sendiri. Kita punya modal, punya chip, tetapi malah meminjam dari lawan.
***
Aspal impor bukan sekadar komoditas, ia adalah simbol ketergantungan yang sangat memalukan. Kita membeli dari luar negeri sesuatu yang tanah kita sendiri sudah memilikinya berlimpah. Ironisnya, kita membayar mahal untuk sesuatu yang sebenarnya bisa diproduksi sendiri. Cukup sudah kita dipermainkan oleh logika ekonomi yang membunuh kedaulatan sendiri.
Penjajahan modern tidak lagi memakai senjata, tetapi kontrak dagang dan kebijakan yang memihak impor. Aspal impor adalah bentuk kolonialisme yang masuk lewat pelabuhan, bukan lewat meriam. Setiap ton aspal yang kita beli dari luar negeri adalah rupiah yang meninggalkan negeri ini tanpa kembali. Dan itu terjadi dengan restu pemerintah yang seharusnya melindungi rakyatnya.
Aspal Buton adalah anugerah Allah yang tergeletak di tanah sendiri, menunggu diangkat menjadi kebanggaan nasional. Tetapi selama puluhan tahun, ia diperlakukan sebagai anak tiri di rumah sendiri. Sementara aspal impor diperlakukan bak tamu kehormatan yang datang menjarah. Cukup sudah perlakuan sangat memalukan ini!
Bayangkan, Pulau Buton memiliki cadangan aspal alam terbesar di dunia, namun rakyatnya tetap miskin. Jalan-jalan di daerah penghasil aspal itu pun banyak yang rusak dan belum teraspal. Ini bukan sekadar ironi, ini penghinaan terhadap akal sehat. Dan penghinaan itu kita biarkan terus terjadi.
Setiap kontrak impor aspal yang ditandatangani adalah paku yang menancap di peti mati kedaulatan bangsa. Kita menandatangani sendiri nasib buruk para generasi mendatang. Anak cucu kita akan bertanya, mengapa kita rela menjual harga diri bangsa demi membeli jalan sendiri? Apakah jawabannya hanya karena kita malas membangun kekuatan produksi sendiri?
Aspal impor membuat Indonesia seperti penjudi yang kalah di meja sendiri. Kita punya modal, punya chip, tetapi malah meminjam dari lawan. Padahal lawan itu datang hanya untuk menguras isi kantong kita. Dan kita masih memanggilnya sebagai “mitra dagang”.
Kebijakan impor aspal adalah candu yang membius para pengambil keputusan. Sekali mencicipinya, sulit berhenti. Lobi asing, keuntungan besar instan, dan kemalasan berpikir membuat kita terus menunda swasembada aspal. Cukup sudah, candu ini harus segera diputus.
Aspal Buton bukan sekadar komoditas, ia adalah simbol perlawanan rakyat terhadap ketergantungan. Setiap ton yang diproduksi di tanah sendiri adalah langkah menuju kemerdekaan sejati. Dan setiap proyek yang memakai aspal lokal adalah deklarasi bahwa kita menolak penjajahan halus. Ini bukan sekadar soal bisnis, ini soal martabat bangsa.
Pulau Buton seharusnya menjadi pusat industri aspal nasional. Dengan teknologi ekstraksi modern, kita bisa mengekstrak, memodifikasi, dan mendistribusikan ke seluruh Indonesia. Tetapi yang terjadi, kita biarkan pelabuhannya menjadi pintu keluar sumber daya mentah. Sementara pintu masuk aspal impor terus dibuka lebar.
Negara yang besar adalah negara yang berani berkata “tidak” pada impor aspal yang membunuh industri aspalnya sendiri. Jepang, Korea, bahkan Tiongkok pun melakukannya. Lalu mengapa Indonesia, negeri yang kaya raya ini, begitu takut berkata “cukup sudah”? Apakah karena kita terlalu merasa nyaman menjadi pasar?
Aspal impor mengajarkan satu hal: bahwa kemerdekaan ekonomi hanya akan dimiliki oleh mereka yang berani membayar harga kemandirian. Harga itu adalah kerja keras, keberanian mengambil risiko, dan kesediaan berinvestasi di rumah sendiri. Bukan sekadar duduk manis menunggu kapal impor datang. Dan bangsa ini harus siap membayar harga itu.
Setiap rupiah yang kita keluarkan untuk aspal impor adalah bukti kegagalan kita memanfaatkan potensi nasional. Potensi itu ada di Buton, menunggu untuk dihidupkan. Tetapi pemerintah seolah tuli dan buta terhadap suara dari timur negeri ini. Padahal suara itu berteriak: “Kami siap mengaspal jalan Indonesia!”
Penjajahan halus ini harus segera diakhiri dengan kebijakan tegas. Bukan dengan seminar, bukan dengan wacana, tetapi dengan aksi nyata. Tutup keran impor aspal secara bertahap, dan buka keran investasi untuk pengolahan aspal Buton. Jika tidak sekarang, kapan lagi?
Aspal Buton adalah jawaban bijak untuk semua tuduhan bahwa Indonesia tidak mampu berdiri di kaki sendiri. Kita mampu, jika mau. Kita bisa, jika berani. Dan keberanian itu harus dimulai dari para pemimpin negeri ini.
Cukup sudah kita menjadi bangsa yang membeli harga diri sendiri dengan mata uang asing. Cukup sudah kita menjadi penonton di rumah sendiri. Saatnya kita mengambil alih panggung, memainkan peran utama, dan menulis kisah baru. Kisah bahwa Indonesia mampu berdiri di atas aspalnya sendiri.
Swasembada aspal 2030 bukan mimpi, itu keniscayaan. Semua syaratnya sudah ada: modal, sumber daya, teknologi, dan pasar. Yang kurang hanyalah kemauan politik yang berani memutus mata rantai ketergantungan. Dan kemauan itu harus lahir sekarang juga!
Aspal impor adalah bentuk penjajahan yang paling halus. Halus sekali, sehingga kita tertipu dan terlambat menyadarinya. Ia tidak datang dengan bendera musuh, tetapi dengan senyum manis, kontrak, dan harga yang mematikan. Cukup sudah! Kini saatnya Aspal Buton merdeka, dan Indonesia berdiri gagah di jalan yang dibangunnya dengan keringat kita sendiri.

Pemerhati Aspal Buton
6 Pengikut

Ketika Kita Rela Memberikan Segalanya
1 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler