Penulis, aktivis, sociopreneur.\xd\xd Menyuarakan nalar kritis dan semangat mandiri dari pesantren ke publik digital #LuffyNeptuno

Peringatan Maulid Nabi dan Male Telur di Ahuhu

5 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Menjaga Warisan, Menyemai Iman: Peringatan Maulid Nabi dan Male Telur di Ahuhu
Iklan

Male telur hadir menghiasi Maulid Nabi di Pesantren Al Mujahidin Ahuhu, menyatukan tradisi, doa, dan cinta kepada Rasulullah.

***

Di bawah langit malam yang tenang (Sabtu Malam, 6 September 2025) halaman Pondok Pesantren Al Mujahidin Desa Ahuhu tampak ramai oleh ratusan jamaah. Tenda besar berwarna biru telah berdiri sejak sore, dihiasi lampu-lampu sederhana yang memantulkan cahaya ke segala arah. Warga berbondong-bondong datang, mulai dari anak-anak kecil dengan wajah polos penuh keceriaan, remaja santri dengan seragam rapi, para bapak bersarung dan berkopiah, serta para ibu dengan busana muslimah sederhana. Semua duduk bersila, berjejer rapi, menunggu acara yang sudah lama mereka nantikan yakni peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tahun 1447 Hijriyah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tradisi ini sudah lama menjadi ruh kehidupan masyarakat Desa Ahuhu dan sekitarnya. Namun, setiap tahun nuansa dan kesannya selalu berbeda. Tahun ini, peringatan Maulid Nabi bertepatan dengan bulan September yang masih hangat dengan semarak HUT RI ke-80. Momen itu membuat acara semakin terasa istimewa, seolah mengikat nilai nasionalisme dengan spiritualitas.

 

Sejarah Singkat Tradisi Male Telur di Sulawesi

 

Tradisi male telur memiliki akar sejarah yang cukup panjang di wilayah Sulawesi, terutama di kalangan masyarakat Bugis, Makassar, dan Tolaki. Kata male sendiri berasal dari bahasa lokal yang berarti wadah atau hiasan khusus, sedangkan telur di dalamnya melambangkan kehidupan, kesuburan, dan harapan baru.

 

Pada masa lalu, male telur dibuat dari wadah kayu atau anyaman bambu yang dihias dengan kertas warna-warni, janur, atau bunga. Di dalamnya diletakkan telur rebus yang sudah diwarnai. Tradisi ini kemudian berakulturasi dengan perayaan hari besar Islam, khususnya Maulid Nabi Muhammad SAW. Male telur tidak hanya menjadi hiasan, tetapi juga simbol syukur dan doa agar kehidupan masyarakat selalu mendapat keberkahan.

 

Di beberapa daerah, male telur biasanya dibuat dalam jumlah banyak lalu digantung atau disusun membentuk menara. Setelah acara Maulid usai, telur-telur tersebut dibagikan kepada anak-anak sebagai bentuk kebahagiaan bersama. Dalam masyarakat Bugis-Makassar, misalnya, pembagian telur ini diyakini sebagai bentuk barakka (berkah) dari peringatan Maulid.

 

Masuknya Islam di Sulawesi pada abad ke-16 dan ke-17 membawa tradisi baru yang berpadu dengan kearifan lokal. Male telur menjadi wujud nyata sinkretisme budaya dan agama, di mana masyarakat tetap menjaga identitas tradisi mereka, sekaligus menggunakannya untuk mengagungkan Nabi Muhammad SAW. Hingga kini, tradisi ini tetap hidup, meskipun bentuknya semakin modern dengan tambahan aneka makanan ringan, kue, hingga minuman kemasan.

 

Di Konawe dan sekitarnya, male telur bukan hanya sekadar hiasan. Ia adalah ruang perjumpaan antar generasi, karena mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua semua terlibat dalam proses pembuatannya. Dari sisi sosial, tradisi ini mempererat hubungan masyarakat karena dikerjakan secara gotong royong. Dari sisi spiritual, ia menjadi pengingat bahwa kebahagiaan tidak hanya dirayakan secara lahiriah, tetapi juga diiringi doa dan dzikir.

 

Pembukaan: Nada Rebana dan Gema Sholawat 

 

Acara dibuka dengan lantunan sholawat yang dipimpin para santri. Suara rebana berpadu dengan bacaan syair puji-pujian kepada Rasulullah SAW. Nada sederhana itu membuat hati jamaah larut. Ada yang menunduk dengan mata berkaca-kaca, ada yang menggerakkan bibirnya perlahan mengikuti bait demi bait.

 

Sholawat menjadi pembuka yang tepat, mengantar jamaah untuk masuk ke dalam suasana penuh cinta dan rindu kepada Baginda Nabi. Dari anak-anak hingga orang tua, semua terhubung oleh satu hal yang sama berupa kerinduan kepada Rasulullah yang lahir lebih dari 14 abad lalu, namun namanya tetap harum di setiap zaman.

 

Sambutan Kepala Desa Ahuhu: Antara Maulid dan Nasionalisme

 

Setelah pembukaan, acara dilanjutkan dengan sambutan Kepala Desa Ahuhu, Dedi Muliadi. Dengan suara yang tenang dan penuh wibawa, ia menyampaikan rasa syukur karena warganya dapat berkumpul kembali dalam perayaan Maulid Nabi tahun ini.

 

Namun, ada hal menarik dalam sambutannya. Dedi Muliadi tidak hanya berbicara soal Maulid, tetapi juga menyinggung semangat nasionalisme warganya. Ia memberi apresiasi kepada seluruh warganya yang telah turut memeriahkan HUT RI ke-80 di Desa Ahuhu dalam berbagai bentuk perayaan.

 

“Kita bersyukur, Maulid Nabi kali ini hadir setelah semarak Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Dua perayaan ini sejatinya tidak terpisahkan. Kemerdekaan yang kita nikmati adalah buah dari perjuangan para pahlawan, dan semangat itu tidak jauh dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Nabi mengajarkan nilai keberanian, persatuan, dan pengorbanan. Inilah yang juga kita rayakan dalam HUT RI,” ucapnya.

 

Sambutan itu mendapat tepuk tangan hangat dari para jamaah. Mereka merasa, apa yang disampaikan kepala desa bukan sekadar kata-kata, melainkan sebuah pengingat bahwa antara agama dan cinta tanah air tidak pernah bertentangan.

 

 

Penyerahan Bantuan Mushaf dan Hadiah Lomba

 

Selepas sambutan, acara memasuki sesi istirahat. Namun, “istirahat” di sini bukan berarti kosong. Justru, bagian ini menjadi salah satu momen yang paling penting dalam acara.

 

Pertama, dilakukan penyerahan Bantuan Mushaf Al-Qur’an untuk masjid dan musholla dari Badan Wakaf Al-Qur’an. Simbolis, mushaf tersebut diserahkan oleh KH. Malik Fanani kepada perwakilan Masjid Desa Ahuhu, perwakilan Masjid Desa Ahuloa, serta perwakilan Masjid Kelurahan Meluhu.

 

Suasana terasa haru ketika mushaf diangkat dan diserahkan. Bagi masyarakat pedesaan, tambahan mushaf Al-Qur’an adalah nikmat besar. Ia bukan sekedar kitab suci, melainkan cahaya yang akan terus dipakai dalam pengajian anak-anak, dalam doa bersama, dalam tadarus setiap bulan Ramadan.

 

Setelah itu, dilanjutkan dengan penyerahan hadiah lomba kreasi male. Tahun ini, para siswa SMK Al Mujahidin ikut meramaikan dengan berbagai kreasi male yang penuh warna. Kepala Sekolah SMK Al Mujahidin, Dedi Hendarto, M.Pd., menyerahkan hadiah kepada perwakilan kelas 10, 11, dan 12.

 

Kreasi mereka beragam, ada male berbentuk pohon yang dihiasi telur warna-warni, ada yang dipenuhi jajanan tradisional, bahkan ada yang memadukan buah dan sayur. Semua menunjukkan kreativitas siswa dan santri sekaligus melestarikan tradisi. Tepuk tangan bergemuruh ketika para perwakilan kelas naik ke depan, menandakan betapa tradisi male telur bukan hanya milik orang tua, tetapi juga telah hidup dalam jiwa generasi muda.

 

Mauidhoh Hasanah

 

Bagian inti acara adalah mauidhoh hasanah yang disampaikan pengasuh pesantren, KH. Malik Fanani, M.Pd. Dengan gaya khasnya yang tenang namun penuh makna, beliau mengajak jamaah untuk merenungkan kembali arti Maulid Nabi.

 

“Maulid ini bukan hanya sekedar perayaan lahirnya Nabi, tetapi momentum untuk meneladani akhlaknya. Rasulullah lahir di tengah masyarakat jahiliyah yang penuh kegelapan, tetapi beliau datang membawa cahaya. Tugas kita sebagai umatnya adalah menjaga agar cahaya itu tidak padam dalam kehidupan kita,” tuturnya.

 

Beliau juga mengaitkan tradisi male telur dengan ajaran Islam. Telur, katanya, melambangkan awal kehidupan. “Seperti telur yang bulat, kehidupan manusia seharusnya penuh keseimbangan. Ada lahir, ada mati, ada suka, ada duka. Semuanya harus dijalani dengan syukur. Male telur mengingatkan kita untuk terus bersyukur atas nikmat Allah,” tambahnya.

 

Tidak hanya itu, KH. Malik juga menyinggung soal ukhuwah. “Hari ini kita berkumpul bukan karena harta, bukan karena jabatan, tetapi karena cinta kita kepada Rasulullah. Inilah yang membuat kita satu, inilah yang disebut ukhuwah Islamiyah. Dan dari ukhuwah inilah lahir kekuatan umat.”

 

Kata-kata itu membuat jamaah terdiam, merenung, bahkan sebagian terlihat membayangkannya dengan mata berkaca-kaca.

 

 

Penutup: Pemotongan Tumpeng dan Ramah Tamah

 

Acara ditutup dengan pemotongan tumpeng sebagai simbol syukur. Nasi kuning yang ditata rapi dengan lauk-pauk khas pedesaan dibagikan kepada para tamu.

 

Setelah doa penutup, suasana menjadi lebih santai. Jamaah saling bersalaman, berbincang, dan menikmati hidangan sederhana yang disediakan panitia. Anak-anak sibuk menunjukkan telur hias yang mereka dapat, sementara para orang tua tertawa bersama sambil menikmati kopi atau teh panas.

 

Di sinilah letak keindahan acara Maulid di Ahuhu. Ia bukan hanya ritual rutin tahunan, melainkan ruang kebersamaan yang selalu tersemai. Ada nilai spiritual, ada nilai sosial, ada pula nilai budaya. Semua melebur menjadi satu dalam malam yang hangat itu.

 

 

Maulid sebagai Ruang Pembelajaran Sosial

 

Lebih dari sekedar acara, peringatan Maulid di Pondok Pesantren Al Mujahidin dan Desa Ahuhu adalah ruang pendidikan sosial. Anak-anak belajar tentang cinta kepada Nabi, belajar tentang tradisi, dan belajar berbagi. Remaja mendapatkan ruang untuk berkreasi lewat lomba male. Orang dewasa belajar memperkuat ukhuwah, baik itu ukhuwah sesama umat islam (ukhuwah islamiyyah) maupun ukhuwah secara kebangsaan (ukhuwah wathaniyyah?

 

Bantuan mushaf dari Badan Wakaf Al-Qur’an juga menjadi pengingat bahwa agama harus dijaga dengan ilmu. Sambutan kepala desa menunjukkan bahwa nasionalisme dan religiusitas tidak bisa dipisahkan. Tausiyah KH. Malik Fanani menjadi kompas moral untuk menjalani kehidupan bermasyarakat, beragama, maupun bernegara di tengah banyaknya krisis yang dialami saat ini.

 

Semua ini memperlihatkan bahwa Maulid bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang masa depan. Bagaimana umat menjaga cahaya Nabi agar terus menyinari jalan generasi berikutnya.

 

 

Cahaya dari Ahuhu untuk Nusantara

 

Ketika malam kian larut, satu per satu jamaah pulang dengan hati lega. Anak-anak membawa pulang telur hias, para orang tua membawa rasa syukur, sementara pesantren membawa doa agar tradisi ini tidak pernah pudar.

 

Ahuhu mungkin hanyalah salahsatu desa kecil di Konawe, tetapi dari desa kecil ini, cahaya besar dipancarkan. Cahaya cinta kepada Rasulullah, cahaya kebersamaan, cahaya nasionalisme dan cahaya tradisi Islam Nusantara yang penuh makna.

 

Maulid Nabi di Pondok Pesantren Al Mujahidin bukan sekedar peringatan, ia adalah pelajaran hidup. Tentang syukur, tentang ukhuwah, tentang nasionalisme, dan tentang bagaimana umat Islam menjaga warisan Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Lutfillah Ulin Nuha

Sociopreneur | Founder Neptunus Kreativa Publishing

8 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler