Penulis, aktivis, sociopreneur.\xd\xd\xd Menyuarakan nalar kritis dan semangat mandiri dari pesantren ke publik digital #LuffyNeptuno

Oase Pengetahuan di Tengah Krisis Membaca

6 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Bangsa yang kuat tidak hanya ditopang infrastruktur fisik, tetapi juga oleh infrastruktur pengetahuan. Literasi adalah pondasi
Iklan

Bangsa yang kuat tidak hanya ditopang infrastruktur fisik, tetapi juga oleh infrastruktur pengetahuan. Literasi adalah pondasi

Membaca di Tengah Dunia yang Bising

Kita hidup di era yang serba cepat. Informasi datang silih berganti, menyerbu tanpa ampun melalui layar smartphone kita. Dari pagi hingga malam, mata dan pikiran dijejali dengan notifikasi, berita instan, hingga opini singkat yang terkadang hanya berlandaskan emosi. Di tengah kebisingan inilah, literasi hadir bukan sekedar kemampuan membaca dan menulis, melainkan seni untuk bertahan, memilah, dan memahami.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Sayangnya, istilah literasi di negeri ini masih sering dipersempit. Banyak orang berpikir literasi hanya soal mengeja huruf, menulis kalimat, atau menghafal pelajaran di sekolah. Padahal, literasi adalah napas panjang peradaban. Ia menyangkut kemampuan berpikir kritis, kepekaan sosial, dan daya imajinasi yang akan menentukan kualitas manusia.

 

Jika literasi kuat, bangsa pun kokoh. Jika literasi rapuh, bangsa mudah goyah, mudah diprovokasi, dan mudah dipermainkan oleh kepentingan sesaat.

 

Di sinilah pentingnya membicarakan literasi bukan sebagai jargon, melainkan sebagai kebutuhan nyata. Dan bagi saya pribadi, setiap kali berbicara tentang literasi, selalu ada satu ruang yang muncul dalam ingatan saya, yaitu toko buku Gramedia.

 

Literasi, Lebih dari Sekedar Membaca

 

Literasi adalah kemampuan memahami, menganalisis, dan merefleksikan informasi yang ada. Membaca tanpa memahami hanyalah aktivitas mekanis. Sebaliknya, membaca dengan penghayatan membuka pintu pada dunia baru yang sebelumnya tak pernah kita bayangkan.

 

Bayangkan seseorang membaca sejarah. Jika ia hanya sekedar menghafal tahun dan nama tokoh, maka literasinya berhenti di permukaan. Namun bila ia mampu melihat keterkaitan peristiwa sejarah dengan kondisi sosial dan kehidupan masyarakat saat itu, lalu membandingkannya dengan situasi masa kini, maka ia sedang berlatih berpikir kritis.

 

Begitu pula dengan sastra. Membaca novel bukan hanya tentang menikmati alur cerita, tetapi juga menggali makna, merasakan empati, bahkan belajar memahami perasaan manusia lain yang mungkin jauh berbeda dengan diri kita.

 

Literasi yang matang akan melahirkan pribadi yang rendah hati, sebab ia terbiasa menyadari betapa luasnya pengetahuan. Semakin banyak membaca, semakin sadar bahwa dunia ini tidak bisa dipahami hanya berdasarkan dari satu sudut pandang.

 

Tantangan Literasi di Era Digital

 

Namun mari jujur kita jujur, membaca secara mendalam kini makin jarang dilakukan. Kita terbiasa membaca dengan cepat sekedar untuk tahu, bukan untuk paham. Fenomena “scroll” di media sosial telah membentuk pola pikir yang instan yakni cukup baca judul, simpulkan sendiri, lalu komentar.

 

Masalahnya, kebiasaan ini menjadi berbahaya. Banyak konflik sosial bermula dari kesalahpahaman informasi. Hoaks menyebar karena orang malas menelusuri sumber dan membaca secara mendalam redaksi yang tertera. Fitnah merajalela karena orang lebih percaya pada potongan video atau narasi bombastis daripada analisis mendalam pada kalimat yang ia baca tersebut.

 

Di sinilah kita melihat betapa pentingnya literasi sebagai tameng kebodohan. Orang yang literat tidak akan mudah percaya begitu saja tentang informasi yang ia terima. Ia akan mencari data, menimbang argumen, dan baru kemudian mengambil sikap.

 

Sayangnya, laporan UNESCO dan berbagai penelitian menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Kita memang aktif di media sosial, tetapi pasif di perpustakaan atau toko buku. Kita cepat dalam membagikan informasi, tetapi lambat dalam menuntaskan satu buku.

 

Apakah ini salah generasi muda? Tidak sepenuhnya. Sistem pendidikan kita juga seringkali tidak memberi ruang bagi kebebasan dan kemerdekaan membaca. Buku masih dianggap beban pelajaran, bukan sahabat pengetahuan.

 

Gramedia, Ruang Literasi yang Bertahan

 

Di tengah tantangan itu, Gramedia hadir sebagai salah satu ruang yang konsisten menjaga api literasi. Saya masih ingat betul, saat kecil, setiap kali masuk ke Gramedia, saya merasa seperti memasuki dunia lain. Rak-rak buku yang berjajar rapi, aroma khas kertas baru, dan deretan judul yang seakan memanggil untuk dibaca semuanya memberi kesan magis yang mendalam.

 

Bagi banyak orang, Gramedia bukan hanya sebuah toko buku, melainkan “oase pengetahuan”. Ia menyediakan buku pelajaran, sastra, filsafat, agama, hingga komik yang membentuk imajinasi anak-anak. Gramedia adalah tempat di mana penulis bertemu dengan pembaca, di mana ide-ide yang lahir dari ruang sunyi penulis menemukan rumah barunya di tangan para pembaca.

 

Tak berlebihan bila saya menyebut Gramedia sebagai salah satu “penjaga peradaban” di Indonesia. Sebab, di saat tren digital terus menggerus minat membaca cetak, Gramedia tetap beradaptasi tanpa meninggalkan jati dirinya sebagai rumah buku.

 

Gramedia juga sering menjadi ruang pertama bagi banyak orang untuk jatuh cinta pada literasi. Ada yang pertama kali membeli novel favorit di sana, ada yang menemukan buku motivasi yang mengubah hidup, ada pula yang sekadar menghabiskan waktu untuk membaca singkat sebelum akhirnya memutuskan membeli, bahkan saya sendiri pernah menghabiskan uang yang seharusnya untuk kebutuhan hidup di pesantren selama 2 bulan hanya untuk berbelanja serial komik Doraemon dan beberapa novel 'Tere Liye' yang populer pada zamannya.

 

Literasi dan Masa Depan Bangsa

 

Pertanyaannya kini mengapa literasi begitu penting bagi bangsa? Jawabannya sederhana, karena masa depan bangsa ditentukan oleh kualitas berpikir warganya.

 

Bangsa yang literat akan lebih sulit dipecah-belah, sebab warganya terbiasa berpikir kritis. Bangsa yang literat akan lebih inovatif, sebab warganya terbiasa mencari solusi melalui pengetahuan. Bangsa yang literat juga akan lebih beradab, sebab warganya terbiasa menimbang etika dan kemanusiaan dalam menyikapi suatu hal.

 

Sebaliknya, bangsa yang rendah literasi mudah dikuasai oligarki. Kebijakan publik bisa disetir hanya dengan propaganda. Demokrasi kehilangan substansinya, digantikan oleh sekedar kontestasi popularitas.

 

Kita sudah melihat banyak contohnya. Betapa sering isu-isu remeh mengalahkan isu penting dalam ruang publik, hanya karena masyarakat lebih tertarik pada sensasi ketimbang substansi. Betapa banyak perdebatan publik diwarnai caci maki, bukan argumentasi. Itu semua adalah gejala rendahnya literasi.

 

Karena itu, membangun bangsa tidak bisa hanya dengan infrastruktur fisik. Jalan tol dan gedung tinggi akan sia-sia jika masyarakatnya miskin literasi. Kita butuh membangun “infrastruktur pengetahuan” dan salah satunya melalui ruang-ruang literasi seperti Gramedia.

 

Menjaga Api Membaca di Era Digital

 

Lalu, bagaimana caranya agar literasi tetap hidup di tengah era digital? Ada beberapa langkah sederhana namun berdampak besar:

 

1. Membiasakan membaca setiap hari. Tak perlu langsung satu buku. Mulai dengan 10–15 menit sehari. Jadikan membaca sebagai rutinitas seperti halnya makan atau berolahraga.

 

2. Membuat daftar bacaan pribadi. Tentukan target buku yang ingin dibaca dalam setahun. Dengan begitu, kita punya arah yang jelas dalam menumbuhkan kebiasaan membaca.

 

3. Membawa anak-anak ke toko buku. Ajak mereka mengenal dunia literasi sejak dini. Biarkan mereka memilih buku sesuai minat, sebab cinta membaca lahir dari kebebasan memilih.

 

 

4. Mendukung penulis lokal. Dengan membeli dan membaca karya mereka, kita ikut menjaga ekosistem literasi Indonesia. Gramedia adalah salah satu jembatan penting bagi karya penulis lokal agar bisa menjangkau pembaca lebih luas.

 

5. Menggunakan teknologi secara bijak. E-book, audiobook, hingga platform literasi digital bisa melengkapi, bukan menggantikan, buku fisik. Intinya tetap sama yaitu membaca, merenung, dan memahami.

 

6. Merubah kebiasaan memberi hadiah berupa buku kosong pada anak dan remaja. Jika kita berkesempatan menjadi wali kelas atau panitia suatu lomba di lingkungan, coba sesekali hadiahkan buku bacaan baik berupa novel, buku ensiklopedia, buku cerita, dan buku-buku yang tidak disediakan di ruang kelas sekolahnya. 

 

Refleksi Pribadi – Setiap Buku Adalah Cermin

 

Bagi saya, setiap buku adalah cermin. Ia memantulkan sisi-sisi diri yang selama ini tersembunyi. Saat membaca filsafat, saya diajak berpikir ulang tentang makna hidup. Saat membaca novel, saya belajar memahami manusia lain dengan segala kompleksitasnya. Saat membaca biografi, saya menemukan teladan sekaligus peringatan.

 

Dan sebagian besar perjalanan literasi pribadi saya tak bisa dilepaskan dari Gramedia. Dari toko buku itulah saya mengenal banyak penulis, menemukan buku-buku yang membentuk cara berpikir, bahkan terkadang menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah berani saya lontarkan di ruang publik.

 

Gramedia bagi saya bukan hanya sebuah tempat transaksi jual beli, melainkan ruang pertemuan antara saya dengan diri saya sendiri yang lebih dalam.

 

Menyalakan Lilin di Tengah Gelap

 

Literasi memang jalan sunyi yang jarang dilalui banyak orang. Tidak semua orang tertarik untuk duduk berlama-lama membaca buku di tengah dunia yang serba cepat. Namun justru karena itulah literasi menjadi sesuatu yang berharga.

 

Membaca adalah menyalakan lilin di tengah gelap. Ia mungkin kecil, namun cahayanya bisa memberi arah. Dan ketika jutaan orang menyalakan lilin itu bersama-sama, maka peradaban akan terang benderang.

 

Gramedia adalah salah satu penjaga lilin itu. Tugas kita adalah menjaganya tetap menyala, bukan hanya dengan membeli buku, tetapi juga dengan menumbuhkan kebiasaan membaca dalam diri dan keluarga kita.

 

Sebab, bangsa yang gemar membaca adalah bangsa yang akan bertahan, berkembang, dan beradab.

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Lutfillah Ulin Nuha

Sociopreneur | Founder Neptunus Kreativa Publishing

8 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler