x
keadilansosial
Oleh: Napitupulu Na07

Rabu, 30 September 2020 11:52 WIB

Undang-Undang tentang Sumber Daya Air Sudah Dijiwai Keadilan Sosial, Efisiensi Ekonomi, dan Keberkelanjutan Lingkungan Hidup?

Baru-baru ini Undang-Undang (UU) No 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (SDA) (kembali) digugat ke Makamah Konstitusi (MK), kali ini oleh Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP) dan Serikat Pekerja Pembangkit Jawa Barat (SP PJB), dua anak perusahaan di bawah PT Perusahaan Listrik Negara (PLN - Persero). Gugatan diajukan karena mereka menilai klausula Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (BJPSDA) telah dinyatakan inkonstitusional dengan dibatalkannya UU No 7 tahun 2004 tentang SDA, dan diberlakukannya kembali UU No 11 tahun 1974 tentang Pengairan, pada sidang Makamah Konstitusi tanggal 15 Februari 2015 yang silam. Tulisan ini setelah menjelaskan sejarah pungutan BJPSDA dengan dasar hukum UU N0 11 tahun 1974 di WS Citarum oleh Perum Otorita Jatiluhur tahun 1970; di WS Brantas oleh Perum Jasa Tirta tahun 1990. Kemudian penjelasan konsep dasar nilai atau harga air yaitu: (i) Bahwa air adalah unsur kunci pada lingkungan hidup yang sehat, artinya air adalah darah kehidupan dari lingkungan yang harus dirawat dan dilindungi. Dan (ii) Air adalah komoditi yang mempunyai nilai nyata yang harus dihargai dan digunakan dengan bijaksana dan hemat; yang sudah dianut di negara-negara lain. Akhirnya disimpulkan bahwa: Gugatan agar BJPSDA pemanfataan Air dan SDA untuk PLTA yang bersifat usaha komersial, dibebaskan dan disamakan dengan Pengguna SDA tidak dibebani BJPSDA dalam Pasal 58 ayat (1) adalah tidak adil secara sosial bagi rakyat Indonesia yang sudah membayar pajak sebagai sumber APBN yang digunakan untuk membiayi pembangunan sarana dan prasarana Pengelolaan SDA.