Gagal Paham Nutrisi: Perut Kenyang tapi Gizi Terkorbankan
6 jam lalu
Di tengah modernitas yang serba cepat, banyak orang masih berpegang pada pandangan sederhana bahwa makan hanyalah perkara mengisi perut.
***
Wacana ini ditulis oleh Adzra Muzhaffirah, Luthfiah Mawar M.K.M., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Naila Al Madina, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Di tengah modernitas yang serba cepat, banyak orang masih berpegang pada pandangan sederhana bahwa makan hanyalah perkara mengisi perut. Asalkan kenyang, seolah semua kebutuhan tubuh telah terpenuhi, meskipun mereka sadar bahwa jenis makanan yang dikonsumsi miskin gizi dan jika berlebihan justru membahayakan kesehatan. Padahal, tubuh manusia membutuhkan beragam nutrisi penting agar tetap sehat, kuat, dan mampu berfungsi optimal.
Kesadaran ini masih jarang dijadikan pijakan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak sedikit yang menganggap cukup dengan merasa kenyang, padahal cara demikian dapat menimbulkan masalah kesehatan jangka panjang. Di balik kenyang yang menipu, tubuh sesungguhnya kekurangan unsur gizi yang vital. Fenomena ini mudah ditemui, misalnya ketika seseorang hanya sarapan dengan gorengan dan kopi manis, lalu makan siang dengan nasi padang lengkap dengan teh manis. Makanan semacam itu memang mengenyangkan sekaligus memanjakan lidah, tetapi miskin protein, serat, vitamin, dan mineral yang esensial bagi tubuh.
Rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi seimbang menjadi persoalan yang memperburuk keadaan. Edukasi tentang nutrisi masih minim, sementara arus iklan makanan instan yang gencar sering kali membentuk kebiasaan makan yang praktis tetapi miskin gizi. Situasi ini dikenal dengan istilah hidden hunger, yaitu kondisi ketika tubuh terlihat sehat dari luar tetapi sebenarnya kekurangan zat gizi penting. Dampaknya berlapis, mulai dari kelelahan, penurunan daya tahan tubuh, gangguan konsentrasi, hingga risiko penyakit serius seperti anemia atau diabetes. Pada anak-anak, kondisi ini dapat menyebabkan stunting yang meninggalkan dampak seumur hidup.
Dimensi ekonomi tidak kalah berpengaruh. Bagi sebagian masyarakat, makanan bergizi seperti sayur segar, buah, dan sumber protein berkualitas sering kali mahal atau sulit dijangkau. Akibatnya, makanan instan yang lebih murah dan mudah diperoleh menjadi pilihan utama meskipun rendah kandungan gizi. Dengan demikian, hidden hunger tidak bisa diukur dari banyaknya makanan yang masuk ke dalam tubuh, tetapi dari seberapa lengkap kandungan gizi yang tersedia.
Kekurangan zat gizi tersembunyi membawa konsekuensi serius. Kekurangan zat besi dapat memicu anemia yang membuat tubuh cepat lelah dan sulit berkonsentrasi. Pada anak-anak, hal ini menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif sehingga menurunkan prestasi belajar. Bagi ibu hamil, kekurangan nutrisi dapat meningkatkan risiko komplikasi serta membahayakan janin. Lebih jauh, hidden hunger juga berkaitan dengan meningkatnya penyakit kronis seperti hipertensi dan diabetes pada usia dewasa. Ironisnya, karena gejala tidak langsung tampak, masalah ini sering diabaikan.
Kondisi di Indonesia mencerminkan tantangan yang nyata. Persoalan gizi tidak hanya muncul karena kelaparan, tetapi juga karena pola makan yang tidak seimbang sejak awal kehidupan. UNICEF Indonesia melaporkan sekitar tiga dari sepuluh bayi di bawah usia enam bulan tidak mendapat ASI eksklusif. Empat dari sepuluh anak masih belum mengonsumsi kelompok makanan yang dianjurkan, dan hanya sebagian kecil anak yang menerima asupan gizi minimal untuk tumbuh dengan baik. Bahkan, asupan gizi yang buruk selama kehamilan menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah. Fakta ini menegaskan bahwa kualitas gizi jauh lebih penting daripada sekadar jumlah makanan yang dikonsumsi.
Dampak kekurangan gizi sejak awal kehidupan sangat panjang. Stunting adalah salah satu dampak paling nyata, yang tidak hanya mengurangi tinggi badan tetapi juga membatasi potensi kognitif anak di masa depan. Data terbaru dari Kementerian Kesehatan menunjukkan penurunan prevalensi stunting dari 21,5 persen menjadi 19,8 persen pada tahun 2024, namun angka ini masih tinggi mengingat kekayaan pangan Indonesia. Fenomena ini memperlihatkan bahwa masalah gizi lebih kompleks daripada ketersediaan makanan di meja makan.
Meski demikian, perubahan tetap memungkinkan. Upaya sederhana seperti memperbaiki komposisi makanan harian dengan menambah sayur dan buah, memilih protein yang terjangkau seperti telur atau tempe, serta mengurangi ketergantungan pada gorengan dan makanan instan dapat memberi dampak besar. Edukasi gizi sejak dini di keluarga maupun sekolah berperan penting dalam membentuk pola makan yang lebih bijak. Pemerintah, komunitas lokal, dan pelaku industri juga dapat meningkatkan akses terhadap bahan makanan bergizi melalui kebun gizi, pasar murah, maupun program fortifikasi.
Pada akhirnya, masalah gizi di Indonesia bukan hanya persoalan lapar dan kenyang, melainkan kualitas nutrisi yang dikonsumsi setiap hari. Hidden hunger adalah tantangan serius yang sering tidak disadari padahal dapat menurunkan kualitas hidup masyarakat. Dengan memahami pentingnya gizi seimbang, memanfaatkan pangan lokal, dan membiasakan pola makan yang lebih baik sejak dini, kita dapat mencegah stunting, anemia, serta penyakit kronis. Perubahan kecil yang dilakukan secara konsisten merupakan investasi kesehatan yang berharga. Saya meyakini bahwa langkah sederhana yang dilakukan bersama dapat menjadi kunci untuk keluar dari krisis gizi yang selama ini luput dari perhatian.
Corresponding Author: Adzra Muzhaffirah
(email: [email protected])

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Menjaga Kesehatan di Era Digital
14 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler