Dosen pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd Flores_Nusa Tenggara Timur.\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd Alumni Doktoral Prodi Studi Islam Kajian Dialog Antar Iman di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Ikhtiar Melawan Dosa Sosial
15 jam lalu
Dosa sosial di Indonesia tampak dalam sistem yang melanggengkan ketidakadilan dan merendahkan martabat manusia.
Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge, Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende
Di tengah hiruk-pikuk politik Indonesia belakangan ini, kita menyaksikan fenomena yang kian mengkhawatirkan. Di sana-sini tampak dengan jelas aksi saling tuding antar kelompok, klaim kebenaran sepihak, dan ketertutupan terhadap dialog. Kebenaran tidak lagi dicari bersama, melainkan diklaim dan dipaksakan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Ini bukan sekadar dinamika politik biasa, melainkan gejala dari sesuatu yang lebih dalam dan sistemik. Saya menyebutnya dengan ungkapan dosa sosial.
Dosa sosial merujuk pada struktur atau sistem dalam masyarakat yang menyebabkan ketidakadilan, penindasan, atau pelanggaran terhadap martabat manusia. Dalam konteks politik, dosa sosial muncul ketika sistem kekuasaan, komunikasi publik, dan relasi antar kelompok dibangun di atas kepentingan sempit, bukan atas dasar keadilan dan kebenaran.
Leonardo Boff, seorang teolog pembebasan asal Brasil, menyatakan bahwa struktur-struktur yang menghasilkan kemiskinan, pengucilan, dan kerusakan ekologis bukan sekadar kenyataan yang disayangkan, melainkan bentuk dosa yang melanggar kesucian hidup dan martabat manusia. Dalam bukunya Cry of the Earth, Cry of the Poor (1997), Boff menegaskan bahwa dosa sosial bersifat sistemik dan kolektif, serta menuntut pertobatan sosial yang nyata.
Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Paus Yohanes Paulus II dalam Reconciliatio et Paenitentia (1984). Bahwasanya, struktur dosa berakar pada dosa pribadi dan diperkuat oleh tindakan individu yang menciptakan, mempertahankan, dan memperumit sistem tersebut. Oleh karena itu, dalam dunia politik, ketika kebijakan publik, komunikasi, dan relasi kekuasaan tidak berpihak pada keadilan dan kesejahteraan bersama, maka sistem tersebut menjadi bagian dari dosa sosial yang harus dikritisi dan diubah secara transformatif demi pemulihan martabat manusia dan kehidupan bersama yang lebih adil.
Praksis dosa sosial di Indonesia bukanlah wacana abstrak. Ia sudah menjadi kenyataan pahit yang menjelma dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Ketidakadilan struktural tampak jelas ketika sistem yang seharusnya melayani justru menindas. Korupsi, misalnya, telah menjelma menjadi budaya yang merusak sendi-sendi pelayanan publik. Ia bukan lagi sekadar pelanggaran moral individu, tetapi telah mengakar dalam mekanisme lembaga negara maupun lembaga lainnya. Ketika dana bantuan sosial, pendidikan, dan kesehatan diselewengkan, yang menjadi korban adalah manusia-manusia nyata (anak-anak yang putus sekolah, ibu yang tak mendapat layanan kesehatan, dan keluarga miskin yang kehilangan harapan).
Korupsi tidak hanya bersentuhan dengan penyimpangan administratif. Korupsi sistemik adalah cermin dari dosa sosial yang merusak martabat manusia. Ia menunjukkan bahwa sistem kekuasaan telah dibangun bukan atas dasar keadilan, melainkan atas kepentingan sempit dan manipulatif. Dalam konteks ini, dosa sosial bukan hanya soal siapa yang mencuri, tetapi tentang bagaimana struktur itu sendiri memungkinkan dan melanggengkan pencurian hak-hak dasar rakyat. Karenanya, pertobatan sosial tidak cukup dilakukan secara pribadi. Ia menuntut perubahan sistemik, keberanian moral, dan komitmen kolektif untuk membangun tatanan yang berpihak pada kemanusiaan.
Hal lain yang perlu diberi catatan terkait dosa sosial adalah komunikasi publik. Dalam era digital yang menuntut keterbukaan dan partisipasi aktif, komunikasi publik seharusnya menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Meski pemerintah telah mengakui pentingnya strategi komunikasi berbasis isu publik, praktik di lapangan masih menunjukkan pola komunikasi yang impulsif, minim arah, dan kurang menyentuh sisi kemanusiaan masyarakat. Penelitian oleh The Indonesian Institute (2025) memang mencatat skor 77,6% untuk kualitas komunikasi publik pemerintah. Sebuah angka yang tampak menjanjikan. Namun di balik angka itu, tersembunyi kelemahan mendasar yang berkaitan dengan narasi yang tidak konsisten, transparansi yang setengah hati, dan keterlibatan publik yang masih bersifat simbolik.
Ketika komunikasi tidak dibangun di atas kejujuran dan empati, ruang publik berubah menjadi arena manipulasi. Informasi bukan lagi alat untuk membangun kepercayaan, melainkan senjata untuk mempertahankan kekuasaan. Polarisasi pun tumbuh subur, memperlebar jurang antara kelompok masyarakat dan memperlemah solidaritas sosial. Ketidakpercayaan terhadap institusi negara bukan muncul dari sikap apatis rakyat, tetapi dari kegagalan sistem komunikasi yang seharusnya menjadi wajah kejujuran dan tanggung jawab. Dalam konteks ini, komunikasi publik yang tidak etis bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan bagian dari dosa sosial yang merusak tatanan demokrasi dan martabat manusia.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa dosa sosial bukan hanya soal perilaku individu, tetapi tentang sistem yang melanggengkan ketidakadilan. Seperti yang ditegaskan oleh Leonardo Boff dan Paus Yohanes Paulus II, pertobatan sosial menuntut perubahan struktural yang berpihak pada kemanusiaan, keadilan, dan solidaritas. Indonesia membutuhkan keberanian moral untuk mengubah sistem demi kehidupan bersama yang lebih bermartabat.***

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Ikhtiar Melawan Dosa Sosial
15 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler