Diella, Dilema Pendidikan di Era Akal Imitas

6 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Cuplikan video Diella, bot AI yang diangkat menjadi menteri di Pemerintahan Albania yang diunggah di akun sosial media Perdana Menteri Albania, Edi Rama. Tempo/Bintari Rahmanita
Iklan

Fenomena Menteri Diella yang berbasis akal imitasi di Albania menjadi sarana refleksi yang teramat penting untuk melihat dilema manusia

***

Promosi! Diella, robot akal imitasi itu diangkat menduduki jabatan publik setingkat menteri di Albania, sebuah negara Eropa. Hal ini menimbulkan banyak tanya, terutama tentang eksistensi masa depan manusia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelumnya, Diella yang bermakna matahari dalam bahasa Albania, merupakan asisten virtual berbasis AI untuk mengelola platform dokumen warga. Kini Diella bertugas mengurus program pengadaan publik.

Alasan utama dibalik penunjukan Diella adalah untuk memastikan proses transparansi, sekaligus mengeliminasi problem korupsi. Dengan rekor sebagai menteri AI pertama di dunia, kiprah Diella perlu di cermati dengan seksama.

Pertanyaan yang mengganjal tentu saja terletak pada persoalan substansi, akankah Bot AI semacam Diella mampu bersikap diluar algoritma terpasang dalam kerangka etik? Kemajuan teknologi jelas membawa dampak risiko.

Sekurangnya ada tiga perspektif yang mewakili, (i) utopia -memandang teknologi berkorelasi dengan seluruh capaian positif, (ii) distopia -menganggap teknologi selalu membawa dampak negatif serta ancaman, terakhir (iii) tekno-realisme -bahwa teknologi hadir lengkap dengan berbagai sisi baik positif maupun negatif, maka manusia memegang peran signifikan.

Bagaimanapun setiap perkembangan teknis memiliki sisi yang berlawanan. Bahkan sejak era revolusi industri, terdapat gerakan protes Luddites melawan penemuan mesin pintal tekstil yang menghilangkan peran para pekerja.

Kondisi pro-kontra atas kehadiran berbagai peralatan menjadi sebuah fakta yang tidak bisa dihindari. Hal ini selaras dengan spesifikasi manusia yang mampu menciptakan perangkat peralatan bagi dirinya -homo faber.

Problem semisal Diella, apakah mungkin akal imitasi melakukan abstraksi serta menginterpretasi? Akankah konten algoritma dapat menyesuaikan pada konteks situasi yang bersifat psikologis dan sosial? Apakah Diella mampu berlaku objektif dan bebas nilai?

Selayaknya peralatan, maka Diella sesungguhnya bukanlah tujuan akhir melainkan menjadi alat bantu, dimana manusia itu sendiri yang menjadi penentu akhir dari arah kemajuan tersebut -man behind the gun. Kecerdasan buatan yang berbasis algoritma serta big data meski memiliki kemampuan mendalam, tidaklah memiliki daya imajinatif, karena mengkreasi adalah karakteristik milik manusia.

Studi kasus Diella di Albania menjadi alarm bagi kemampuan manusia untuk menyentuh lebih jauh persinggungan teknologi dengan moral dan etik. Prinsip dasarnya, dengan atau tanpa teknologi sekalipun, hal-hal buruk seperti korupsi bisa tetap terus terjadi. Sehingga upaya penguatan nilai serta norma bagi individu maupun kelompok sosial menjadi teramat vital dibandingkan dengan bergantung sepenuhnya pada sistem akal imitasi.

Serupa mesin pembelajar -learning machine, manusia memiliki kapasitas otak yang mampu berkembang bila terstimulasi dengan baik melalui proses pendidikan yang diperoleh. Sesuai dengan posisi dasar manusia -homo sapiens sebagai makhluk yang berpikir dan -homo educandum makhluk yang dapat dididik.

Maka sejatinya manusia adalah pembelajar sepanjang hayat -lifelong learning melalui pengalaman dan realitas hidup. Kerangka proses pendidikan tersebut kerap mengalami kebuntuan dan interupsi secara pragmatis menjadi sekedar untuk mengetahui -learning how to know, dan bukan pada makna mendalam -learning how to learn yang berkelanjutan.

Pada bagian akhir, fenomena Menteri Diella yang berbasis akal imitasi menjadi sarana refleksi yang teramat penting untuk melihat dilema manusia serta bagaimana ilmu pengetahuan dan konsep pendidikan perlu dikembangkan di masa mendatang?

Kemampuan berpikir diperkuat dengan daya dukung bernalar yang mempergunakan akal budi. Di sisi yang lain kerangka pikir konstruktif dalam mendorong kemampuan untuk dapat menjawab pertanyaan, harus dilengkapi dengan perspektif kritis yang mempertanyakan jawaban.

Dengan begitu, kualitas akal manusia tidak hanya paripurna namun sekaligus mewakili aspek keluhuran budi, sesungguhnya manusia adalah pemilik kuasa yang merdeka pada dirinya sendiri. Berpikir mendalam perlu dikembangkan serta diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan kita, dibanding mencari shortcut AI yang mengilustrasikan kefrustasian pada kemanusiaan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Yudhi Hertanto

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler