Jika Kepala Ikan Sudah Bagus, Bagaimana dengan Bawahnya?
6 jam lalu
Refleksi atas kasus wartawan yang menanyakan MBG, lalu kartu akasesnya ke Istana ditarik penguasa.
***
Jika sejak awal masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, figur kepala negara digambarkan sebagai kompas moral bagi birokrasi: “ikan busuk mulai dari kepalanya”.
Kalimat itu sering diulang untuk menegaskan bahwa transformasi harus bermula dari pucuk pimpinan, agar seluruh ekosistem pemerintahan bisa bergerak selaras.
Namun, kasus pencabutan kartu liputan pers istana terhadap jurnalis yang mempertanyakan program Makan Bergizi Gratis (MBG) memberi kita refleksi getir: betapa pentingnya memeriksa apakah “bawahannya” turut menjaga integritas, atau malah merusak kepercayaan yang telah dibangun.
Kepala Berjuang, Bawahan yang Malah Turut Menggembosi
Ketika kepala sudah mengumandangkan visi reformasi, penerapan di level pelaksana menjadi ujian nyata. Presiden Prabowo pernah menegaskan agar program prioritas seperti MBG berjalan tanpa birokrasi berbelit—sebuah upaya mempercepat pelayanan. Namun kenyataannya, ketika seorang wartawan menanyakan keberlangsungan MBG, respons birokrat di bawah tampak reaktif: kartu liputan dicabut sebagai bentuk tekanan.
Alih-alih membuka ruang dialog, tindakan ini mencerminkan kecenderungan kebijakan top-down dan penutupan kritik—fenomena yang banyak disebut sebagai kultur ABS (Asal Bapak Senang). Jikapun dianggap wartawan tersebut tidak saatnya bertanya ketika Presiden baru sampai seharusnya ditanggapi dengan baik bahkan bisa saja sambil melucu bukannya malah mencabut kartu akses liputan.
Pejabat Lain dan Jerat Kepercayaan
Lebih dari sekadar level staf, problem juga muncul dari komentar dan tindakan pejabat tinggi yang meresahkan publik. Menteri ATR/BPN Nusron Wahid misalnya, pernah menyebut tanah rakyat yang tidak dimanfaatkan akan “dikuasai negara” dengan ucapan “memang mbahmu bisa bikin tanah”—pernyataan yang dinilai merendahkan hak rakyat dan memicu protes keras, meski kemudian ia meminta maaf. Di sisi lain, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menghapus peran pengecer gas LPG 3 kg dalam distribusi, memicu kelangkaan dan antrean panjang; ia pun harus menjelaskan ulang dan berjanji memperbaiki sistem. Menteri Keuangan dahulu yang sepertinya gigih untuk memunguti pajak kepada rakyat. Ditambah lagi citra aparat hukum yang gagal melakukan reformasi internal dan belum sepenuhnya dipercaya masyarakat. Rangkaian ini menggerogoti legitimasi program besar dan memperkuat kesan bahwa sebagian pejabat lebih sibuk menjaga wacana daripada menjawab kebutuhan nyata rakyat.
Kasus Tempo dan Sensitivitas Kebebasan Pers
Terkait dengan media massa, pukulan lain terhadap kepercayaan publik juga muncul saat redaksi Tempo menerima paket berisi kepala babi. Alih-alih empati dan komitmen kuat pada kebebasan pers, respons pejabat komunikasi di lingkar istana justru bernada meremehkan—menyarankan agar kepala babi itu “dimasak saja”. Pernyataan semacam ini bukan hanya tidak sensitif terhadap intimidasi jurnalis, tetapi juga mengirim pesan buruk: bahwa kritik dianggap gangguan yang harus diredam, bukan suarakan publik yang perlu dilindungi.
Jika ruang kritik diperlakukan dengan sinis, bagaimana publik bisa yakin pada keseriusan reformasi?
Kepercayaan Publik yang Semakin Rawan
Rasa keadilan masyarakat kini semakin sensitif. Polah DPR, baik pusat maupun daerah, kerap dianggap tidak mewakili kepentingan rakyat. Legislatif terlihat gagap dalam mengawal aspirasi, eksekutif sering tersandung dalam merumuskan kebijakan yang sensitif, dan yudikatif belum sepenuhnya tegak lurus menegakkan keadilan. Kombinasi kegagapan tiga pilar negara ini menambah keretakan antara visi besar presiden dan kenyataan di lapangan.
ABS, Kepatuhan Semu, dan Kehilangan Realitas
Budaya ABS menanamkan kecenderungan: laporan yang menyenangkan atasan alih-alih apa adanya. Ketika bawahan takut mengungkap kesulitan di lapangan atau memilih menutup kegagalan, kebijakan menjauh dari tujuannya. Kasus pencabutan kartu pers tadi hanyalah gejala—di balik visi reformasi, masih ada selubung ketakutan terhadap kritik yang menghambat koreksi dini.
Harapan vs Kenyataan Publik
Kepercayaan terhadap presiden bisa tetap relatif kuat, tetapi performa di lapisan birokrasi dan elite politik kerap menjadi batu sandungan. Penundaan implementasi, inkonsistensi, dan kemunduran layanan sering berulang—bukan karena visinya salah, melainkan karena penerjemahan kebijakan di aras pelaksana belum berubah cukup cepat. Bagi warga yang berharap, ini terasa seperti oase yang mulai mengering.
Memperbaiki Bawahannya, Menyehatkan Kepala
Reformasi sejati tidak cukup mengganti orang; yang dibutuhkan adalah perbaikan struktur, kultur, dan sistem agar bawahan bukan sekadar patuh, tetapi juga berani, cakap, dan berintegritas. Langkah minimal yang bisa diambil:
1. Audit internal dan kanal whistleblowing yang dilindungi—agar pelaporan masalah tidak berujung pembalasan.
2. Kontrak kinerja terbuka—capaian program prioritas (termasuk MBG) dipublikasikan periodik lengkap dengan hambatan dan rencana perbaikan.
3. Pelatihan birokrasi & literasi publik—mengubah pola pikir dari sekadar prosedural menjadi melayani, transparan, dan akuntabel.
4. Kemitraan dengan media & masyarakat sipil—ruang kritik dilindungi, bukan dibungkam; partisipasi publik dijadikan alat kontrol.
Penutup: Kepala Ikan dan Tubuh Ikan
Pepatah “kepala ikan baik” hanya bernilai bila tubuhnya juga sehat. Kepala yang bersih akan kehilangan daya jika bagian-bagian birokrasi bersikeras memelihara praktik lama. Kasus wartawan MBG dan teror kepala babi ke Tempo bukan sekadar polemik; keduanya cermin bahwa reformasi tidak boleh berhenti sebagai slogan. Jika kita menghendaki perubahan nyata, transformasi harus mengalir dari pucuk ke akar—dari istana hingga loket pelayanan—supaya kepercayaan publik kembali tumbuh dan pemerintahan bekerja sebagaimana dijanjikan.
Malang, 29 September 2025
Fadly Halim Hutasuhut.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Apakah MBG Dilanjutkan?
14 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler