saya seorang tenaga pengajar di SMP Negeri 22 Bandar Lampung. saat ini menjadi Ketua MGMP PAI Kota Bandar Lampung, Pengurus APKS PGRI Propinsi Lampung. Pengurus Forum Guru Motivator Penggerak Literasi (FGMP;) Lampung. \xd Guru Penggerak angkatan 7 dan Pengajar Praktik angkatan 11 kota bandar Lampung.\xd saya aktif menulis di berbagai media elektronik daerah/nasional
Revitalisasi Nilai Pancasila: Membumikan Ideologi di Kehidupan Nyata
7 jam lalu
Kesaktian Pancasila bukan hanya terletak pada simbolik upacara peringatan setiap 1 Oktober, tetapi justru pada implementasi di tengah kehidupan
***
Pancasila merupakan ideologi yang lahir dari rahim bangsa sendiri, bukan hasil pinjaman dari luar negeri. Ia dirumuskan dengan kearifan lokal, pengalaman sejarah, dan cita-cita luhur pendiri bangsa. Oleh karena itu, relevansinya tidak lekang oleh waktu.
Kesaktian Pancasila bukan hanya terletak pada simbolik upacara peringatan setiap 1 Oktober, tetapi justru pada implementasinya di tengah kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Namun, dalam realitas saat ini, nilai-nilai Pancasila sering kali hanya berhenti sebagai jargon yang dihafalkan, bukan prinsip yang diamalkan. Karena itu, perlu adanya revitalisasi nilai Pancasila agar ia benar-benar membumi.
Revitalisasi berarti menghidupkan kembali, menyegarkan, dan menanamkan ulang Pancasila dalam jiwa bangsa. Tantangan zaman modern membuat Pancasila harus diterjemahkan sesuai konteks, tanpa kehilangan ruh aslinya.
Generasi muda yang hidup dalam arus globalisasi sering terjebak pada budaya instan, individualisme, dan materialisme. Jika Pancasila tidak dihidupkan kembali, nilai-nilai luhur bangsa bisa terkikis perlahan.
Menghidupkan Kembali Sila-Sila Pancasila
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan hanya mengajarkan ritual ibadah, tetapi menanamkan bahwa hidup harus dilandasi moralitas, spiritualitas, dan penghormatan pada keyakinan orang lain.
Dalam kehidupan nyata, sila pertama bisa diwujudkan dengan sikap toleransi antar umat beragama, menghormati perbedaan, dan tidak memaksakan kehendak dalam ranah keimanan.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menuntut kita agar memperlakukan sesama dengan adil tanpa diskriminasi. Nilai ini seharusnya membimbing masyarakat untuk menghapus praktik perundungan, rasisme, dan ketidakadilan sosial.
Revitalisasi nilai kemanusiaan ini sangat relevan dalam era digital, ketika ujaran kebencian dan hoaks mudah tersebar. Pancasila mengajarkan bahwa setiap manusia harus dihormati martabatnya.
Soekarno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” Pernyataan ini sejalan dengan sila kedua, bahwa penghormatan terhadap martabat manusia adalah pondasi keadaban.
Persatuan sebagai Pilar Bangsa
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, adalah kunci keutuhan bangsa. Sejarah telah membuktikan, bangsa ini bisa bertahan karena memiliki perekat ideologis yang kuat.
Persatuan bukan berarti menyeragamkan, melainkan menyatukan keberagaman. Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sila ketiga mengajarkan bahwa perbedaan adalah kekuatan, bukan ancaman.
Dalam konteks kekinian, persatuan bisa dihidupkan melalui kolaborasi lintas suku, agama, dan profesi, misalnya dalam kegiatan sosial, pendidikan, hingga ekonomi kerakyatan.
Bung Hatta pernah mengingatkan, “Persatuan tidak berarti meniadakan perbedaan, melainkan mencari titik persamaan dalam perbedaan itu.” Inilah esensi sila ketiga yang harus dibumikan.
Demokrasi Musyawarah, Bukan Mayoritas Semata
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menegaskan pentingnya demokrasi musyawarah.
Demokrasi Pancasila bukan demokrasi liberal yang menekankan mayoritas semata, tetapi demokrasi yang mencari titik temu dan kebijaksanaan. Inilah yang perlu direvitalisasi dalam budaya politik bangsa.
Praktik demokrasi kita sering kali dipenuhi intrik, politik uang, dan kepentingan sesaat. Padahal Pancasila mengajarkan politik berbasis musyawarah demi kepentingan rakyat banyak.
Keadilan Sosial: Tujuan Akhir Pancasila
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menjadi tujuan akhir dari seluruh sila. Ia menuntut kesejahteraan yang merata, bukan hanya dinikmati segelintir elite.
Realitasnya, kesenjangan sosial masih sangat terasa. Revitalisasi nilai keadilan sosial harus diwujudkan melalui kebijakan pro-rakyat, pemberdayaan masyarakat kecil, dan pemerataan pembangunan.
Bung Karno menegaskan, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kutipan ini menohok, karena keadilan sosial sering terhambat oleh keserakahan internal.
Pendidikan sebagai Lahan Revitalisasi
Revitalisasi Pancasila juga harus masuk ke ranah pendidikan. Anak-anak tidak cukup hanya menghafal teks Pancasila, tetapi harus diajak menghayati maknanya melalui pembiasaan sikap.
Misalnya, di sekolah bisa diterapkan budaya gotong royong, sikap toleransi, dan anti-bullying sebagai wujud implementasi nilai Pancasila.
Guru memiliki peran strategis dalam membumikan Pancasila. Mereka adalah teladan yang dapat menunjukkan bagaimana nilai Pancasila diterapkan dalam perilaku nyata.
Ki Hajar Dewantara berkata, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Filosofi ini sejalan dengan misi guru dalam menanamkan nilai Pancasila di sekolah.
Di keluarga, orang tua juga harus menanamkan nilai Pancasila sejak dini. Keluarga adalah sekolah pertama yang mengajarkan toleransi, kebersamaan, dan keadilan.
Pancasila di Dunia Kerja dan Pemerintahan
Dalam dunia kerja, Pancasila bisa diimplementasikan melalui budaya perusahaan yang menekankan keadilan, kesejahteraan, dan penghargaan terhadap martabat karyawan.
Pemerintah sebagai pemegang mandat rakyat wajib menjadikan Pancasila sebagai dasar setiap kebijakan. Tanpa itu, pembangunan hanya akan melahirkan ketidakadilan.
Revitalisasi Pancasila di era digital bisa diwujudkan dengan etika bermedia sosial. Tidak menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, atau konten yang memecah belah.
Media massa dan influencer juga memiliki tanggung jawab moral untuk menyebarkan nilai Pancasila melalui konten-konten yang edukatif, inspiratif, dan mempersatukan.
Masyarakat sipil dapat membumikan Pancasila lewat gerakan sosial, seperti program pemberdayaan, solidaritas kemanusiaan, hingga kampanye toleransi.
Supremasi Hukum dan Dunia Akademik
Revitalisasi juga harus menyentuh ranah hukum. Hukum harus ditegakkan dengan adil, tanpa pandang bulu, sebagai perwujudan sila ke-2 dan ke-5.
Jika hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka nilai Pancasila hanya menjadi simbol tanpa makna.
Dunia pendidikan tinggi pun memiliki peran penting. Mahasiswa sebagai agen perubahan harus menyalakan api Pancasila dalam gerakan sosial dan intelektualnya.
Nurcholish Madjid pernah menegaskan, “Pancasila adalah titik temu bangsa.” Mahasiswa sebagai intelektual muda wajib menjaga titik temu itu, bukan merobohkannya.
Penelitian dan inovasi yang dilakukan perguruan tinggi seharusnya tidak semata mengejar keuntungan, tetapi juga mengutamakan kepentingan bangsa.
Integritas Pemimpin dan Tantangan Korupsi
Dalam kehidupan berbangsa, Pancasila harus menjadi kompas moral bagi pejabat publik. Integritas, kejujuran, dan kepedulian adalah wujud nyata dari revitalisasi nilai ini.
Sayangnya, kasus korupsi yang marak menunjukkan masih jauhnya implementasi Pancasila dalam dunia politik. Revitalisasi berarti membasmi budaya korupsi.
Lingkungan dan Ekologi dalam Pancasila
Revitalisasi nilai Pancasila juga menuntut kita menjaga lingkungan. Keadilan sosial tidak mungkin terwujud tanpa keberlanjutan ekologi.
Gotong royong membersihkan sungai, menanam pohon, dan mengurangi sampah plastik adalah wujud nyata implementasi nilai kebersamaan dalam Pancasila.
Gus Dur pernah berpesan, “Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Pesan ini sejalan dengan semangat Pancasila.
Pancasila sebagai Tawaran Global
Dalam dunia global, Pancasila juga bisa menjadi tawaran ideologi alternatif. Ia menunjukkan bahwa demokrasi bisa berjalan beriringan dengan spiritualitas dan kebersamaan.
Pancasila bukan hanya untuk bangsa Indonesia, tetapi bisa menjadi inspirasi bagi dunia dalam membangun perdamaian dan toleransi.
Peran Generasi Muda
Revitalisasi nilai Pancasila tidak bisa hanya melalui program pemerintah. Ia harus menjadi gerakan bersama seluruh elemen bangsa.
Generasi muda harus menjadi motor penggerak revitalisasi. Dengan kreativitasnya, mereka bisa menyebarkan nilai Pancasila melalui seni, musik, teknologi, hingga komunitas sosial.
Pendidikan politik yang sehat juga penting. Anak muda harus diajak memahami politik sebagai jalan pengabdian, bukan sekadar perebutan kekuasaan.
Keadilan Sosial dan Ekonomi Kerakyatan
Revitalisasi berarti juga mengurangi jurang kaya-miskin. Kesejahteraan yang merata adalah syarat keadilan sosial yang sesungguhnya.
Pengusaha yang berpegang pada nilai Pancasila akan menjalankan bisnisnya dengan etika, tidak merusak lingkungan, dan tidak menindas pekerja.
Dengan demikian, revitalisasi Pancasila bukan sekadar wacana, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan publik, budaya organisasi, hingga perilaku individu.
Membumikan Pancasila
Jika Pancasila benar-benar hidup dalam keseharian, maka bangsa ini akan semakin kuat menghadapi ancaman radikalisme, intoleransi, dan disintegrasi.
Pada akhirnya, membumikan Pancasila berarti menghidupkan kembali jiwa bangsa. Seperti kata Bung Karno, “Jadikanlah Pancasila sebagai way of life, bukan sekadar lip service.” Dengan itu, Indonesia akan berdiri tegak sebagai bangsa yang adil, makmur, dan beradab.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler