Sibuk mengajar, tinggal di Jakarta. Bisa disapa di doni_rao(at)rocketmail.com
Right to Disconnect di Indonesia; Utopia atau Niscaya?
1 jam lalu
Ini adalah hak pekerja menolak melakukan pekerjaan di luar jam kerja resmi, termasuk menjawab pesan elektronik seperti email atau WhatsApp,
Dalam khazanah ketenagakerjaan, yakni relasi antara pekerja-pengusaha, Right to Disconnect sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Konsep tersebut, secara substantif relevan dengan variabel ketenagakerjaan lain seperti Work-Life Balance (WLB) misalnya, dimana harapan atas keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan benar-benar terjadi secara proporsional. Walhasil pekerjaan menjadi fokus, profitable, kondusif, serta meminimalisir risiko akibat stres kerja dan mental health.
Konsep-konsep modern yang mengedepankan hak pekerja sebagai subjek –bukan objek– bahkan sudah ada sejak abad ke 19, dan terus berkembang mengikuti dinamika peradaban manusia dan teknologi. Terkini, pada 25 Agustus 2025, Australia mengoptimalisasi kebijakan Right to Disconnect menjadi lebih spesifik kepada usaha kecil dengan minimal 15 pekerja. Sebelumnya, pada 26 Agustus 2024, peraturan ini berlaku untuk badan usaha besar berskala nasional (Kompas.com 26/8).
Di Prancis, Right to Disconnect dikodifikasi sejak tahun 2016, beberapa sumber menyebutnya sejak tahun 2017, yang mengatur perusahaan dengan minimal 50 pekerja/buruh (Ardhany, dkk, 2023). Italia mengatur Right to Disconnect dalam hal pekerja yang memiliki pekerjaan jarak jauh (work from home) untuk memutuskan sambungan dari perangkat teknologi dan dari berbagai komunikasi online tanpa harus dikenakan sanksi oleh perusahaan terhadap pekerjaan mereka.
Di Spanyol, Right to Disconnect diterapkan bagi para pekerja baik di sektor swasta maupun pemerintah. Sedangkan di Irlandia, konsep Right to Disconnect sudah ada sejak April 2021. Di Uni Eropa secara umum, efektifitas aturan tersebut terus dievaluasi agar menjadi lebih baik, di Amerika Latin, Uruguay dan Argentina sudah mengesahkan regulasi serupa di undang-undang ketenagakerjaannya.
Seperti diketahui, Right to Disconnect adalah hak pekerja untuk menolak melakukan pekerjaan di luar jam kerja resmi, termasuk menjawab pesan elektronik seperti email atau WhatsApp, baik dari atasan maupun klien yang berkaitan dengan pekerjaan. Aturan ini dimaksudkan agar karyawan tidak terbebani jam lembur yang tidak dibayar hanya karena harus terus memantau komunikasi kerja di luar waktu tugas. Pekerja dianggap punya hak untuk menikmati waktu di luar pekerjaan, untuk berkegiatan lain bersama keluarga, berlibur, menyalurkan hobi, melakukan olahraga secara intens, atau agenda lainnya.
Meski demikian, penolakan yang dilakukan pekerja tetap harus dilakukan dalam batas kewajaran. Di Australia, jika terjadi perselisihan, Fair Work Commission (FWC) berwenang menangani melalui mediasi, konsiliasi, atau bahkan memutuskan penghentian komunikasi.
Tuai kritik
Kebijakan Right to Disconncet di Australia bukan tanpa kritik, meski mengakomodir konsep “hak” dan “kemanusiaan”, namun untuk usaha kecil, menuai polemik. Bahwa usaha kecil (UKM) – yang umumnya dimiliki oleh kelas menengah – memerlukan keberlangsungan usaha yang konsisten (sustainability), dengan dilegalkannya Right to Disconncet, efek yang paling nyata adalah potensi bahwa UKM tersebut terancam gulung tikar, yang tentu saja secara generalisasi, mengganggu iklim usaha kecil.
Mengutip tempo.co (27/8), ada asumsi dari pegiat UKM, bahwa kebijakan ini menambah beban kepatuhan bagi bisnis kecil, serta menimbulkan pertanyaan penting tentang keberlangsungan memulai dan menjalankan usaha di Australia.
Belum lagi, kriteria “wajar atau tidak” belum ada standar yang kongkret. Hal ini mengingat bahwa permintaan tentang pekerjaan diluar jam kerja termasuk tugas yang wajar atau tidak, dan juga penolakan atau pengabaian yang dilakukan pekerja secara wajar atau tidak. Kriteria “wajar” belum final.
Right to Disconnect di Australia tidak sepenuhnya melarang atasan menghubungi karyawan di luar jam kerja, melainkan memberi hak bagi pekerja untuk menolak memantau, membaca, atau merespons pesan maupun panggilan kerja, kecuali penolakan tersebut dinilai tidak wajar oleh Fair Work Commission.
Konteks Indonesia
Di Indonesia, lembaga yang paling otoritatif terkait kebijakan ketenagakerjaan, yakni Kemnaker mengakomodir hak pekerja lewat UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003, meski tak secara eksplisit meng-highligth right to disconnect, namun hak pekerja dalam konteks proporsionalitas jam kerja diatur di pasal 77, dan dilengkapi di UU tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja dalam hal bahwa pelaksanaan jam kerja diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB). Berkaca pada hal tersebut, bahwa aturan yang ada saat ini, belum secara tegas mengakomodir right to disconnect.
Dus, melihat dinamika ketenagakerjaan internasional, rasanya perlu untuk menyesuaikan Right to Disconnect dalam point of view dan konteks Indonesia, konkretnya, tentu mempertimbangkan local wisdom, menyesuaikan peta industri, dan kebutuhan yang ada. Sukar rasanya bila men-copy-paste-kan right to disconnect ala Australia yang juga mengatur UKM, pun disana ada kekhawatiran mengganggu iklim ketenagakerjaan industri kecil yang sudah ada.
Yang paling rasional dan mendekati, Indonesia bisa saja mengawalinya dengan mengadopsi right to disconnect ala Prancis yang lebih fleksibel, hal ini karena perusahaan diberikan opsi untuk dapat melakukan diskusi dan negosiasi yang sejalan dengan peraturan yang ada, serta mempertimbangkan kebutuhan dari perusahaan. Artinya right to disconnect diawali dengan diskusi yang dituangkan dalam PP maupun PKB. Dalam hal ini Prancis juga menerapkan sanksi dalam bentuk administrasi melalui pengadian jika perusahaan terbukti tidak menjalankan kewajiban menerapkan right to disconnect yang sudah disepakati (Pansu, 2018).
Dalam penerapannya di Indonesia, di undang-undang dapat ditambahkan frasa yang memuat ketentuan right to disconnect dan merekomendasikannya untuk dimuat dalam PP atau PKB dengan memperhatikan hal-hal yang menjadi local wisdom, akomodatif, serta menentukan sanksi, serta batas “wajar” dan “tidak wajar” dalam menghubungi/keperluan diluar jam kerja.
Bila hal tersebut dimuat dalam regulasi – meskipun rekomendatif – artinya negara menjalankan perintah konstitusi, bahwa dimana setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak atas pekerjaan. Yang terpenting, regulasi tersebut menjadi win-win solution bagi pekerja dan pengusaha, bukan hanya “gimmick” semata.
Jadi, Right to Disconnect di Indonesia, Utopia atau Niscaya?
Jakarta, 15 September 2025

Menulis adalah bekerja untuk keabadian - Pram
0 Pengikut
Dalih Hak Individu ; Terorisme dan Keamanan Nasional
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler