Air Bersih: Pilar Kehidupan dan Tantangan Kesehatan Publik di Era Modern
19 jam lalu
Krisis air bersih tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga pada aspek sosial dan ekonomi.
***
Wacana ini ditulis oleh Ririn Alvionita Sitio, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Nadia Saphira, Amanda Aulia Putri, Naysila Prasetio, Winda Yulia Gitania Br Sembiring, dan Annisa Br Bangun dari IKM 5 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Ketika saya menanyakan kepada seorang warga desa tentang pentingnya air bersih, ia menatap saya dengan mata penuh kepedulian dan berkata, “Tanpa air yang aman, hidup kami serasa terhenti.” Wawancara singkat ini menggambarkan realitas yang sering kali terabaikan: air bukan sekadar kebutuhan fisiologis, melainkan fondasi kesehatan, kesejahteraan, dan keberlanjutan masyarakat. Meski lebih dari 70 persen permukaan bumi tertutup air, hanya sebagian kecil yang benar-benar layak dikonsumsi manusia. Tantangan ini semakin nyata ketika akses terhadap air bersih semakin terbatas, menjadikan krisis air bersih bukan sekadar isu lingkungan, tetapi ancaman langsung bagi kesehatan masyarakat, termasuk di Indonesia.
Air yang layak minum memiliki implikasi langsung terhadap kualitas hidup. Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa lebih dari 2 miliar orang di dunia tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman. Kekurangan ini memicu penyebaran penyakit berbasis air, termasuk diare, kolera, dan tifus. Hal ini menegaskan bahwa krisis air adalah isu kesehatan publik yang mendesak dan tidak bisa ditunda.
Di Indonesia, tantangan serupa muncul di berbagai daerah. Di perkotaan, pencemaran lingkungan akibat limbah industri dan rumah tangga menurunkan kualitas air tanah secara drastis. Sementara itu, di pedesaan, ketimpangan infrastruktur air bersih masih terasa, bahkan di daerah yang kaya sumber daya alam, masyarakat sering menghadapi kesulitan mendapatkan air yang aman. Fenomena ini mengungkap paradoks: memiliki sumber daya melimpah bukan jaminan akses air bersih.
Air yang terkontaminasi oleh bakteri, virus, atau bahan kimia berbahaya membawa risiko penyakit serius. Anak-anak yang mengonsumsi air tidak layak minum rentan terhadap diare kronis, penyakit yang menurut UNICEF menjadi penyebab utama kematian anak di bawah lima tahun di negara berkembang. Air yang tidak aman dapat dianalogikan sebagai bom waktu yang mengintai kehidupan, setiap tetesnya berpotensi merenggut nyawa.
Krisis air bersih tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga pada aspek sosial dan ekonomi. Keluarga yang harus membeli air dengan harga tinggi menghadapi beban finansial signifikan. Di pedesaan, perempuan dan anak-anak seringkali menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengambil air, memperkuat ketidaksetaraan dan memperburuk lingkaran kemiskinan.
Namun, kondisi ini bukan tanpa solusi. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan distribusi air bersih melalui pembangunan infrastruktur yang memadai. Masyarakat juga dapat berperan aktif dengan membangun kesadaran akan penghematan air, menjaga kebersihan lingkungan, dan menghindari pembuangan limbah sembarangan. Teknologi sederhana, seperti sistem filtrasi rumahan yang murah dan efektif, juga dapat dimanfaatkan untuk memperluas akses air aman.
Krisis air bersih sejatinya merupakan refleksi dari perilaku manusia. Setiap tetes air yang terbuang merupakan hak yang hilang bagi generasi mendatang. Seorang ahli lingkungan pernah menegaskan, “Air adalah warisan bersama, bukan komoditas semata.” Pernyataan ini mengingatkan bahwa menjaga air adalah menjaga kehidupan itu sendiri, sekaligus menjaga hak dasar manusia untuk hidup sehat.
Dalam konteks kesehatan publik, penyediaan air bersih harus dipandang sebagai investasi jangka panjang. Dengan menurunkan angka penyakit akibat air tercemar, produktivitas masyarakat meningkat secara otomatis. Misalnya, menekan angka diare pada anak-anak tidak hanya mengurangi biaya kesehatan, tetapi juga meningkatkan kualitas generasi penerus bangsa.
Air lebih dari sekadar kebutuhan fisiologis; ia merupakan hak asasi manusia yang wajib dipenuhi dan dijaga secara kolektif. Penundaan solusi akan mengubah krisis air menjadi krisis kemanusiaan. Kesadaran individu menjadi fondasi utama perubahan: menutup keran saat tidak digunakan, memanfaatkan kembali air untuk menyiram tanaman, dan aktif menjaga lingkungan dari pencemaran adalah langkah-langkah kecil yang dapat menciptakan perubahan besar.
Air bukan sumber daya tak terbatas. Jika dibiarkan, krisis ini akan merusak kesehatan, merampas kesejahteraan, dan mengancam masa depan bangsa. Menjaga keberlanjutan air bersih adalah tanggung jawab moral bersama, bukan hanya kewajiban pemerintah. Seperti pepatah bijak mengingatkan, “Ketika sumur telah kering, barulah kita menyadari betapa berharganya air.” Tidak ada waktu untuk menunda. Air adalah kehidupan, dan menjaga keberlanjutannya berarti menjaga masa depan kita bersama.
Corresponding Author: Ririn Alvionita Sitio

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler