Muhamad Abi Fadila, lahir di Tangerang 23 Juni 2000. Tinggal di Jakarta Pusat. Alumnus pendidikan sejarah FKIP Uhamka. Keseharian bekerja sebagai guru sejarah di SMA PGRI 1 Jakarta. Sedang melanjutkan studi S2 di Pendidikan IPS Pascasarjana Undiksha. Aktif dalam kegiatan Karang Taruna di wilayah tempat tinggal, terutama fokus terhadap budaya literasi yang menyediakan buku-buku bacaan di wilayah Bungur dan pengurus majelis di Ngaji Kontemporer. Pembaca dapat berinteraksi dengan pemuisi melalui Instagram: abi_fadila.
Bunga di Taman Senja
6 jam lalu
Dia tumbuh di tengah ketidakpastian. Dan senja tempatnya berteduh.
***
Namanya Bunga. Sesuai dengan namanya, dia perempuan cantik yang memikat hati. Serupa bunga di dunia yang cantik-cantik dan melambangkan keindahan, selain bunga bangkai tentunya. Aku lebah yang terpikat olehnya. Dan belakangan merasa kehilangan.
Tak pernah kusangka, seseorang yang begitu dekat denganku kini meninggalkanku begitu saja. Seseorang yang kuanggap, seperti kakakku sendiri. Karena dia lebih tua dariku. Dan sekaligus pacar, memang kami pernah berpacaran.
Sebenarnya aku tidak peduli berapa usianya. Atau pandangan orang tentang perbedaan usia kami yang cukup jauh. Karena kenyataannya dia terlihat masih sangat muda, seperti perempuan yang seumuran denganku. Entah kalau pun sepuluh tahun lagi dia menua, aku ingin menua bersamanya.
Namun belum lama ini dia meninggalkanku. Kembali ke pelukan mantannya yang dulu ia tinggalkan, karena katanya terlalu patriarkis. Sekarang aku ditinggalnya juga, sebab berusaha membangun hubungan yang setara.
***
Dua tahun yang lalu kami berkenalan. Sebelumnya kami tidak pernah bertemu secara langsung atau dikenalkan oleh siapa-siapa. Aku hanya tahu dia seorang pelukis. Itu pun dari lukisannya saja yang kujumpai.
Suatu hari aku berkunjung ke museum, di Jakarta. Di sana sedang diadakan pameran lukisan. Di sudut ruang koleksi terpajang sebuah lukisan bergambar wajah perempuan; wajahnya ditumbuhi bunga-bunga. Menurutku lukisan itu menarik. Lukisan berwarna cerah.
Berbeda dari lukisan lainnya yang dipajang di sana. Kebanyakan lukisanlukisannya lebih menggunakan goresan-goresan tebal, warna-warna gelap, dan terkesan suram. Aku memang tidak mengerti nilai seni sebuah lukisan. Sebab aku bukan kritikus seni atau pun kolektor lukisan. Aku hanya guru sejarah yang kebetulan sedang berkunjung ke pameran lukisan.
Di papan display kuketahui nama pelukisnya. Di katalog pameran, kuketahui juga bahwa pelukisnya punya akun Instagram. Aku follow Instagram-nya. Awalnya cuma ingin tahu siapa dia. Di Instagram-nya, dia seorang perupa yang aktif membagikan hobinya melukis. Dia sering melukis di tempat-tempat terbuka, seperti gunung, bukit, dan taman kota. Namun tempat favoritnya di taman kota.
Dia seorang illustrator di sebuah perusahaan iklan. Terkadang menjadi llustrator lepas bagi siapa saja yang memesan karyanya di media sosial. Aku termasuk pelanggan setianya. Aku membeli beberapa ilustrasi yang kupasangkan untuk cerpen-cerpenku.
Sebagai customer, aku hanya berkomunikasi melalui pesan singkat. Tidak pernah, kami bertatap muka. Lagi pula tempat tinggal kami sangat berjauhan. Kami terpisah oleh lautan yang luas hingga berjarak seribu seratus delapan puluh enam kilometer. Aku tinggal di Jakarta dan dia di Bali.
Suatu hari kami bertemu secara tidak sengaja di Jakarta. Menurutku itu pertanda baik. Mungkin kami ditakdirkan berjodoh. Sore itu kami bertemu di taman Situ Lembang. Dia sedang melukis di taman, ditemani seorang lelaki. Aku menyapanya dan belakangan kuketahui temannya itu adalah pacarnya.
"Halo Kak. Kak, Bunga ya," sapaku.
"Ya," balasnya "Maaf, kamu siapa?"
"Aku, Andira," jawabku "Aku yang sering order karya Kakak buat kumpulan cerpenku."
"Kamu Dira," dia mengingatku "Maaf ya enggak ngeh. Kebetulan sekali kita bertemu di sini."
"Kakak sendiri jauh banget melukis sampai ke Jakarta hehehe."
Kami ada kerjaan di sini," ujarnya "Kenalin ini pacarku, Beno. Kami lagi garap projek iklan."
"Salam kenal, Kak, Beno."
"Salam kenal juga, Andira," kami berjabat tangan.
"Terus gimana kumpulan cerpenmu sudah terbitkah?" Tanya Bunga.
"Sudah disetujui penerbit Kak. Sedang proses penyuntingan, semoga bulan depan sudah terbit."
"good luck ya. Kabari aku kalau sudah terbit!" Pintanya "Aku mau baca cerpen-cerpenmu."
"Ditunggu saja Kak! Nanti kukirimi hasil terbitannya."
"Terima kasih, aku tunggu," ucapnya dengan senyum yang tak bisa kutafsirkan.
Hanya sebentar kami bertemu. Sebab aku tidak mau menjadi nyamuk buat mereka. Toh dia sudah ada yang menemani. Lagi pula aku belum terlalu mengenalnya. Yang kukenal hanyalah karya-karyanya saja. Tidak ada alasan kami bertemu kembali; apalagi ngopi berdua sampai senja tiba.
***
Cukup lama kami tidak berkomunikasi. Kira-kira sejak kukirimkan paket buku kumpulan cerpenku. Mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Di Instagram-nya sudah tak kulihat lagi postingan terbarunya.
Tetapi kami dipertemukan kembali. Lebaran idul fitri tidak sengaja kami bertemu di Jogjakarta. Dia langsung ngeh ketika kami berpapasan di pusat perbelajaan.
"Hai kamu Dira kan?" Sapanya.
"Kak Bunga," balasku.
"Apa kabar Dira?" Tanyanya "Sudah lama kita gak bertemu."
"Baik Kak Bunga. Kakak sendiri gimana kabarnya?"
"Kabarku baik. Kamu lagi apa di Jogja?"
"Aku liburan aja Kak. Kakak sendiri ada apa di Jogja?"
"Aku memang asli Jogja. Biasalah Dira, sehabis lebaran sedang kumpul keluarga," ujarnya.
"Sudah lama Kakak enggak upload video melukis. Sibukkah?"
"Hmmm. Memang sebelum Ramadhan ini lagi banyak projek," jawabnya agak ragu "Kamu sampai kapan di Jogja?"
"Seminggu Kak. Soalnya minggu depan sekolah sudah mulai masuk."
"Kalau besok kamu punya waktu luang mainlah ke tempatku Dira! Sekalian kita berlebaran," ajaknya "Nanti kuajak kamu ke galeriku. Di sana ada lukisan-lukisan lamaku."
"Besok bisa aku mampir ke tempat Kakak."
"Jam berapa kamu akan berkunjung?"
"Kira-kira sore Kak."
"Baiklah nanti akan kukirimi alamatnya."
Hubungan kami menjadi akrab sejak kunjunganku ke galerinya. Kami mengobrol banyak, meski aku belum mengerti apa-apa tentang seni lukis. Kalau aku berbicara tentang seni lukis atau mengomentari karya-karyanya, itu karena aku menghargai kerja kerasnya. Selebihnya memang lukisanlukisannya menurutku sangat menarik.
"Beginilah galeriku Dira," ucapnya "Enggak besar, tapi di sinilah aku bisa beristirahat."
"Minimalis dan estetik Kak, seakan tata ruang koleksi ini mengizinkan siapa pun masuk ke dalam lukisan," kataku seolah-olah mengerti "Maaf Kak sebenarnya aku enggak paham soal seni lukis. Hehehe. Bagiku karya Kakak, mirip buku dongeng. Bisa membangkitkan imajinasi."
"Lihatlah gambar ini!" Kataku meneruskan sambil menunjuk lukisannya "Perempuan bersayap kupu-kupu; perempuan dan ikan paus yang berenang di angkasa; lalu perempuan bersama awan-awan yang berwajah manusia; Apa ini! Anak kecil yang berteman dengan para binatang. Semuanya indah dan menggemaskan."
"Dira, seni memang tidak untuk dimengerti, cukup dirasakan. Namun seni selalu membuka diri untuk ditafsirkan. Misalnya semua gambar di sini, mereka garis waktu yang telah lewat. Masa kanak-kanak yang ceria; masa remaja yang banyak mencoba; dan dunia perempuan dewasa yang penuh tanda tanya. Semua terekam dalam garis, goresan, dan warna-warna. Menggambarkan kehidupan manusia," ujarnya "Seperti kumpulan cerpenmu, semuanya tentang garis waktu; menggambarkan kehidupan manusia. Sebagai guru sejarah, tulisanmu tidak berhenti pada kisah masa lalu saja. Kamu juga menyuarakan tentang hidup hari ini. Maka dari itu tulisanmu banyak mengkritik pemerintah. Dari pendidikan tambal sulam, sampai persoalan demokrasi."
"Betul Kak, karya kita sama-sama menggambarkan kehidupan manusia," balasku "Semua karya seni ini mengekspresikan kejujuran. Menggambarkan realitas berdasarkan versi kita."
"Seperti dalam cerpenmu, jadi kamu tidak setuju kalau anak-anak nakal harus dikirim ke barak militer?"
"Menurutku itu sebuah kekeliruan Kak. Orang dewasa terlalu terburu-buru melabeli anak nakal. Kita tidak pernah mempertanyakan apakah pola asuh yang kita terapkan sudah memberikan ruang kepada anak-anak untuk berkembang," ucapku tanpa maksud menasehati "Atau jangan-jangan kita sendiri tidak pernah hadir dengan hati terbuka saat mereka membutuhkan."
"Tapi video yang mereka bagikan di Instagram menunjukkan kalau anakanak bermasalah itu sudah berubah menjadi anak baik."
"Ah itu hanya menyelesaikan masalah di luar saja, Kak. Enggak ada maksud pesimis apalagi merendahkan orang yang punya program itu, walau niat orang itu baik. Anak-anak itu boleh jadi saat ini berubah menjadi lebih baik, tapi untuk waktu berapa lama? Apakah program itu memberikan kesan yang bermakna sehingga mereka menyadari diri seutuhnya?" Aku kembali meneruskan "Mereka dikembalikan kepada orang tua mereka, tapi keadaan di sekitar mereka tidak berubah. Bukan tidak mungkin perubahan baik itu hanya bersifat sementara. Perilaku lama akan kembali. Mungkin lebih buruk. Mereka akan memberontak karena tidak ada yang memahami. Sebenarnya mereka hanya ingin dipahami."
"Tapi Dira, bukankah keadaan mereka sudah sangat mengkhawatirkan. Kalau begitu apa solusinya?"
"Kak, mereka tidak minta diselesaikan atau diperbaiki. Yang seharusnya diperbaiki adalah ruang untuk tumbuh dan berkembang. Para pemimpin bisa membuat kebijakan agar para orang tua punya waktu untuk memahami anak-anaknya. Kebijakan yang memudahkan para orang tua mengakses fasilitas kesehatan dan pendidikan berkualitas. Para orang tua perlu banyak mendengar dari anak-anak mereka." Aku bersemangat dan kembali meneruskan "Selanjutnya ialah pendidikan yang berkualitas. Menciptakan sistem pendidikan yang mendukung iklim anak sehat untuk bertumbuh dan berkembang sesuai potensinya."
"Bukankah apa yang kamu sampaikan itu akan lama terwujud? Sedangkan kita butuh solusi cepat untuk mengatasi anak-anak bermasalah itu."
"Pendidikan butuh proses Kak. Mendidik tidak ada kaitannya dengan siapa yang paling cepat membuat anak tertib atau mudah diatur," Aku menatapnya serius dan melanjutkan "Seperti lukisanmu Kak, anak-anak ibarat sebuah bunga. Setiap bunga akan mekar pada waktunya masing-masing. Mereka tidak tertinggal dengan anak-anak yang lain. Sesungguhnya mereka punya jalan yang berbeda dengan anak-anak lain. Artinya mereka hanya perlu dibimbing di jalannya masing-masing."
"Hmmm. Menarik berdiskusi denganmu Dira. Kini semuanya masuk akal."
Kami keluar dari galeri seni. Dan duduk berdua di teras rumahnya sampai senja. Dia sediakan untukku secangkir kopi. Lalu kami melanjutkan mengobrol.
"Dira, aku punya satu permintaan untukmu!" Pintanya.
"Apa Kak?"
"Jangan panggil aku 'Kak'! Panggil 'Bunga' saja!"
"Uh, baik Kak," ucapku terkejut "Eh maksudnya, Bunga."
"Terima kasih," balasnya tersenyum "Sebenarnya aku vakum melukis bukan karena sibuk kerja. Tapi lagi butuh waktu menyendiri."
"Kakak bosan melukis?" Kataku "Eh, maksudnya kamu bosan?"
"Enggak," jawabnya "Sebelum Ramadhan, aku putus sama Beno. Memang aku yang minta padanya. Habisnya dia bilang akan menikahiku setelah lebaran."
Aku menatapnya dalam-dalam, "Maaf Bunga, bukankah itu bagus?"
"Ya memang. Tapi aku belum siap, Dira," matanya berkaca-kaca dan meneruskan "Dia bilang setelah menikah, aku cukup mengurus rumah saja. 'Enggak usah bekerja’."
"Hmmm. Sekarang aku paham."
"Makanya aku tidak suka itu. Aku masih menikmati diri sebagai perempuan dewasa yang mandiri. Punya karir dan tidak bergantung pada orang lain. Aku ingin punya hubungan yang setara dengannya, meski tanpa ikatan pernikahan. Menurutku dia terlalu patriarkis."
Langit mulai gelap. Aku memutuskan berpamitan. Sebelum pergi aku memberinya secarik surat. Di dalamnya terdapat selembar puisi yang kutulis dengan tanganku sendiri.
"Bunga, aku ingin kamu membacanya setelah kamu kembali ke Bali!"
***
Waktu berlalu, kami sudah menjadi teman yang akrab. Aku masih bekerja sebagai guru sejarah di Jakarta dan dia masih tinggal di Bali. Kami tetap berkomunikasi, meski dengan telepon genggam. Aku terkejut melihat postingan terbarunya di Instagram. Dia membagikan video saat membacakan puisiku. Rasanya senang sekali.
Menurutku itu sebuah pertanda. Kemudian hari, aku mengutarakan perasaanku padanya. Ya, dia menerimaku. Di bulan Juni, tepat di hari ulang tahunku kami berpacaran.
Satu bulan kemudian, aku melanjutkan studiku untuk meraih gelar magister pendidikan. Aku mendaftar beasiswa unggulan dan sengaja memilih kampus negeri di Bali. Sebulan sekali, kami bertemu. Kutemani dia melukis di Lapangan Puputan, Denpasar. Pertemuan kami selalu menyenangkan. Tidak ada yang salah dengan hubungan kami. Sampai pertemuan terakhir, dia mengakhiri hubungan kami secara sepihak.
Hari itu langit sedang cerah berawan; anak-anak kecil riang berlarian; burung-burung pun bernyanyi. Semua orang di sana sedang bergembira.
Aku duduk di sampingnya. Dia menatapku dengan wajah serius. Tidak biasanya dia menatapku begitu.
"Dira, kamu masih ingat berapa usiaku?"
"Ingat, tiga puluh empat tahun."
"Dua bulan lagi, usiaku tiga puluh lima tahun."
"Lalu kenapa?"
"Kapan kamu akan membawaku ke hubungan yang lebih serius?"
"Apa maksudnya?"
"Maksudnya menikah."
"Kita tidak pernah membicarakan ini sebelumnya," kataku heran "Kenapa tiba-tiba ingin menikah?
"Dira, usia tidak mungkin berbohong. Sudah waktunya aku menikah dan mempunyai anak," balasnya "Aku tak mau kehilangan momen berharga menemani anak-anakku tumbuh dewasa, karena terlalu tua mengurus anak."
"Bunga, bukankah kamu sendiri yang bilang; kamu ingin punya hubungan yang setara tanpa terikat pernikahan. Pernikahan akan membuatmu menuntut satu sama lain. Kamu akan sibuk mengurusi rumah tanggamu. Lalu bagaimana dengan karirmu dan perempuan mandiri?"
"Manusia terus berubah, Dira. Aku berbeda dengan diriku dua tahun yang lalu. Aku ingin menjadi seorang ibu dan tetap menjadi seniman," balasnya "Beno telah berjanji kalau kami menikah, dia tidak akan memintaku berhenti bekerja."
"Aku akan menikah dengannya bulan depan," tambahnya meneruskan "Kamu enggak salah Dira. Ini keputusanku sendiri."
"Hah, kamu akan menikah? Bulan depan?" Kataku terkejut "Bahkan kamu tidak memberiku kesempatan mewujudkan permintaanmu. Tiba-tiba sekali kamu akan menikah dengannya."
"Oh Dira, aku sangat menyayangimu. Sayang sekali kamu itu terlalu idealis, tetapi idealisme tidak bisa diwujudkan di kehidupan nyata kan. Idealisme hanya bisa kamu tulis di kertas saja," ucapannya menyakitiku "Aku katakan begini bukan maksudku menyinggungmu kalau kenyataannya kamu belum menjadi pegawai negeri. Tapi ini soal kesiapan berumahtangga, Dira."
Dia kembali meneruskan, "Kamu masih sangat muda, Dira. Masih banyak kesempatan untuk menikah, sedangkan aku saat inilah kesempatanku. Maksudku kamu fokus saja dengan kuliahmu. Aku berharap setelah lulus nanti kamu dapat menemukan perempuan yang tepat."
Sore itu kami berpisah. Aku meninggalkannya karena calon suaminya datang menjemput. Aku keluar dari tempat itu. Membiarkan orang-orang di sana bergembira, walau aku sendiri bersedih. Dan aku masih tidak percaya dengan keputusannya.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Bunga di Taman Senja
6 jam lalu
Demi Citra Kuasa, Tambal-sulam Kebijakan Pendidikan pun Dilakukan
Kamis, 19 Juni 2025 21:59 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler