Muhamad Abi Fadila, lahir di Tangerang 23 Juni 2000. Tinggal di Jakarta Pusat. Alumnus pendidikan sejarah FKIP Uhamka. Keseharian bekerja sebagai guru sejarah di SMA PGRI 1 Jakarta. Sedang melanjutkan studi S2 di Pendidikan IPS Pascasarjana Undiksha. Aktif dalam kegiatan Karang Taruna di wilayah tempat tinggal, terutama fokus terhadap budaya literasi yang menyediakan buku-buku bacaan di wilayah Bungur dan pengurus majelis di Ngaji Kontemporer. Pembaca dapat berinteraksi dengan pemuisi melalui Instagram: abi_fadila.

Demi Citra Kuasa, Tambal-sulam Kebijakan Pendidikan pun Dilakukan

Kamis, 19 Juni 2025 21:59 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kegiatan Literasi, 20 Mei 2025, Komunitas Bengkel Literasi dan Warung Pemuda
Iklan

Tambal sulam kebijakan pendidikan Indonesia, bukti citra kekuasaan lebih penting daripada esensi pendidikan itu sendiri.

Di hari Jumat, bertepatan pada 2 Mei 2025, Indonesia memperingati hari pendidikan nasional. Semboyan Ki Hadjar Dewantara yang berbunyi, "ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani", bergema ke seluruh instansi-instansi baik negeri atau swasta. Dibuatnya spanduk-spanduk berukuran besar yang dipajang di depan gedung dan pamflet penuh kata-kata mutiara di media sosial. Entah apakah mereka sendiri benar-benar mengerti kata-kata dalam semboyan itu? Atau hanya dijadikan hiasan semata. Mungkin juga sebagai tanda telah mengerjakan perintah dari atasan.

Terutama lembaga pendidikan, seperti sekolah. Mereka ikut memperingati hari itu dengan upacara bendera. Peserta didik dibariskan sesuai dengan tingkat kelasnya. Tidak ada bedanya dengan upacara setiap hari senin. Dan mereka diwajibkan mendengarkan amanat dari pembina upacara. Amanat yang sudah dibuat khusus oleh menteri pendidikan dasar dan menengah (Mendikdasmen). Semua hari peringatan nasional di Indonesia selalu diperingati, seperti itu dari tahun ke tahun. 

Tidak ada yang berubah, sama dengan nasib rakyatnya. Nasib mereka tidak jauh berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Seolah-olah kebijakan pemerintah, khususnya di bidang pendidikan dilakukan dengan tambal sulam. Mungkin maksudnya agar dilihat telah membuat suatu perubahan. Padahal sumber persoalan hanya berputar di sekitar saja. 

Entah harus berapa menteri yang perlu diganti untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional? Misal, sebut saja rencana mengembalikan ujian nasional dan jurusan IPA dan IPS di jenjang SMA. Padahal telah dihapus oleh menteri pendidikan sebelumnya. Membuat bingung para orang tua murid. Belum lagi, rencana membuat sekolah rakyat dan sekolah unggulan garuda. Program yang diusung oleh Kementerian Sosial dan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Sains. Program sekolah gratis yang nantinya berbentuk asrama. 

Tentu saja kedua kementrian itu mempunyai tujuan yang mulia terhadap masa depan pendidikan di Indonesia. Namun bukankah kedua program tersebut telah mengambil porsi yang besar dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Penulis sendiri dalam sudut pandang guru, menilai skeptis kedua program kementerian tersebut. Tidak ada maksud meremehkan. Penulis juga mempunyai harapan yang sama dengan pemerintah, tetapi harapan pun sebaiknya diperjuangkan dengan cara yang rasional. 

Keduanya, sama-sama mengusung sekolah gratis dan berasrama. Berapa anggaran yang perlu dikeluarkan oleh negara untuk mewujudkan program tersebut? Bukankah program makan bergizi gratis untuk anak-anak sekolah di Indonesia juga mempunyai masalah mengenai anggaran dan lain-lainnya. Masalah tersebut belum juga diselesaikan, tetapi pemerintah sudah mau memulai program-program besar yang berpotensi menimbulkan masalah baru. Seakan-akan pemerintah bisa membangun sebuah peradaban yang besar dalam satu hari. Semua kemasyuran mau digenggamnya dalam satu tangan.

Tulisan ini dibuat sebagai renungan dan refleksi di hari pendidikan nasional tahun 2025. Penulis sebagai guru sekolah tentu merasakan sendiri, bagaimana peringatan pendidikan nasional selalu diperingati secara simbolis semata. Mulai dari masa sekolah, kuliah, hingga sekarang menjadi guru pun setiap peringatan hari pendidikan nasional belum menjadi titik awal kebangkitan pendidikan Indonesia.

Coba kita berkaca dari data UNESCO pada 2016, tentang minat baca masyarakat Indonesia. Hasilnya indeks minat baca masyarakat kita menempati 0,001%. Data itu menunjukkan bahwa dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang saja yang rajin membaca buku. Belum lagi peringkat PISA pelajar kita, apakah telah menunjukkan perubahan yang signifikan dalam pendidikan di Indonesia?

Boleh jadi, peringkat dan hasil survei hanyalah angka-angka statistik yang belum tentu mencerminkan pendidikan kita. Namun apakah fenomena brain rot yang mengintai Gen Z dan Gen Alpha tidak mengkhawatirkan lembaga pendidikan kita? Apakah sekolah-sekolah di daerah memiliki fasilitas yang memadai atau akses yang lebih baik daripada sekolah di kota? Memang tidak sebentar untuk mewujudkan pendidikan yang ideal. Tetapi dengan kebijakan yang matang dan terarah, bukankah semua itu tidak mungkin tidak tercapai.

Di hari jumat, 2 Mei 2025, penulis yang tergabung dalam komunitas Bengkel Literasi dan kolaborasi dengan Warung Pemuda ikut memperingati hari pendidikan nasional dengan kegiatan literasi bersama anak-anak di RW. 09, Bungur, Jakarta Pusat. Kami membuka lapak baca. Buku-buku anak digelar dan bisa dibaca bersama-sama. Selain itu untuk menghidupkan budaya membaca kami sertakan kegiatan mendongeng anak.

Menurut kami, saya dan M. Rafli dari Bengkel Literasi bersama M. Arif dan Tia dari Warung Pemuda, mendongeng anak sangat penting untuk melatih imajinasi anak. Pengetahuan yang luas nantinya dapat mereka raih dengan imajinasi. Bukankah para ilmuwan juga begitu? Sebelum menemukan hasil temuannya perlu membayangkan apa yang akan mereka ciptakan. Dan membayangkan juga perlu daya imajinasi. Jadi mengapa kita tidak fokus saja menghidupkan kegiatan literasi seperti itu?

Selain itu, bercerita juga baik untuk mengasah moral anak bangsa. Dengan bercerita mereka dapat memahami mana yang baik dan perbuatan yang buruk. Permasalahan perlu diselesaikan dengan keberanian. Dan kelicikan nantinya akan terbongkar juga. Amanat yang terkandung dalam buku dongeng akan membuka sendi-sendi kemanusiaannya. Menjernihkan moral bangsa yang kini telah tertutupi oleh algoritma-algoritma berjalan di media sosial.

Di sekolah mungkin buku-buku cerita tersedia. Entah berapa banyak jumlahnya. Namun apakah buku-buku itu dihidupkan dengan kegiatan yang mengasyikan? Apakah perpustakaan sekolah masih menjadi tempat yang asing bagi anak-anak kita? Saya prihatin ketika ditanya mengapa mereka datang ke perpustakaan sekolah. Mereka menjawab untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah yang banyak dan menyulitkan. Jarang sekali di antara mereka yang datang ke perpustakaan karena suatu kegemaran. Jadi menurut saya, pemimpin-pemimpin, guru-guru, dan para orang tua pun harus gemar membaca buku kalau mau menularkan minat baca pada anak-anak kita.

Saya tahu pemimpin-pemimpin kita punya visi pendidikan yang memajukan peradaban bangsa. Di antaranya dan saya dengar sendiri saat upacara bendera di hari pendidikan nasional, "Secara kurikuler, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah akan menerapkan Pembelajaran Mendalam (deep learning), pemberlakuan Test Kemampuan Akademik (TKA), serta pembelajaran Koding, dan Kecerdasan Artifisial (Al)..." Tetapi kenyataannya saat ini kebanyakan anak-anak bangsa masih menjadi objek dari algoritma-algoritma di media sosial. Dan pada akhirnya mereka hanya dianggap sebagai angka-angka dalam statistik. 

Apakah anak-anak kita masih bisa disebut manusia kalau tidak punya imajinasi dan moral yang jernih? Bahkan pendidikan di Eropa pun, seperti Belanda, mulai mengurangi penggunaan gadget pada anak sekolah. Apalah arti menguasai coding dan Ai, tanpa diimbangi imajinasi dan moral yang jernih. Hanya akan melahirkan anak-anak yang cuma tahu hasil, tanpa mau mengalami proses. Generasi yang tak tahan uji. 

Di Jumat sore itu, teman saya, M. Rafli, membacakan sebuah dongeng Cepi si Pemberani. Cepi adalah anak burung Elang yang diasuh oleh keluarga ayam. Sehingga membuatnya berperilaku, seperti seekor anak ayam. Saat dewasa, Cepi tidak bisa berbuat apa-apa ketika Musang menghancurkan rumahnya. Dia merasa dirinya seorang penakut. Padahal dia mempunyai tubuh yang besar, serta paruh dan cakar yang tajam. Ketika dia bertemu dengan seekor Elang dewasa, dia belajar banyak hal. Dia baru memahami kalau dia sebenarnya seekor burung elang. 

Pada akhirnya, Cepi bangkit dari keterpurukan. Dia berhasil memberi pelajaran kepada Musang agar tidak mengganggunya lagi. Berdasarkan cerita si Cepi, saya memahami satu hal. Apakah cerita itu menggambarkan kondisi anak-anak Indonesia? Sebenarnya anak-anak Indonesia juga tidak kalah hebatnya dengan anak-anak di dunia manapun. Mereka dianggap SDM rendah, mungkin mengalami kondisi yang sama, seperti cerita si Cepi. Karena mereka didik menjadi seekor ayam. Mereka tidak tahu potensi yang ada di dalam diri mereka. Anak-anak Indonesia harus menyadari kalau dia sebenarnya manusia yang sama hebatnya dengan anak-anak di dunia.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Muhamad Abi Fadila

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler