Saya adalah mahasiswa di bidang Dakwah Komunikasi dan Penyiaran Islam yang memiliki minat besar terhadap perkembangan dakwah di era digital. Melalui bidang ini, saya belajar bagaimana pesan-pesan Islam dapat disampaikan secara kreatif, relevan, dan menarik melalui berbagai media modern. Saya percaya bahwa dakwah bukan hanya tentang ceramah di mimbar, tetapi juga tentang bagaimana menghadirkan nilai-nilai Islam di ruang digital dengan cara yang menyentuh hati dan membangun kesadaran umat.

Dakwah Digital dan Literasi Algoritmik dalam Perspektif Komunikasi Profetik

3 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Dakwah Digital
Iklan

Dakwah digital hadir lewat dai muda kreatif di media sosial, menyebarkan pesan Islam dengan gaya modern dan inspiratif.

***

Di Tengah derasnya arus informasi global, dunia digital telah mengubah cara manusia untuk berinteraksi, berpendapat, bahkan memahami agama. Jika zaman dulu dakwah identik dengan mimbar dan ceramah di masjid, saat ini dakwah bisa hadir melalui video pendek, podcast atau tren di media sosial.Fenomena ini dikenal dengan dakwah digital, bentuk penyampaian nilai – nilai islam dengan memanfaatkan media berbasis teknologi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, perubahan tersebut tidak serta merta membawa hal yang selalu positif. Dibalaik kemudahan akses dan jangkauan yang luas, muncul tantangan baru seperti misinformasi, reduksi makna agama, dan komersialisasi dakwah. Dalam hal inilah, nilai – nilai komunikasi profetik, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi perlu dihidupkan Kembali sebagai fondasi moral dakwah di era sekarang yang modern.

Perkembangan media digital telah melahirkan era baru dalam dakwah Islam. Menurut penelitian Mujadiduz Zaman, Mohammad Robith Ilman, dan Ilham Maulidi (2023) Transformasi digital telah membawa perubahan signifikan dalam strategi dakwah: dari komunikasi satu arah menjadi komunikasi dua arah yang lebih interaktif. Para pendakwah kini beradaptasi dengan gaya komunikasi anak muda, menggunakan bahasa ringan, visual menarik, dan pendekatan storytelling agar pesan agama lebih mudah diterima.
Namun, transformasi ini juga memunculkan hal – hal yang negatif: konten agama yang seharusnya mengedukasi, kadang justru dikemas untuk hiburan dan popularitas. Di sinilah pentingnya kesadaran profetik, agar para dai digital tidak terjebak dalam logika algoritma yang lebih menghargai views dan likes ketimbang kebenaran isi dakwah.

Dalam dunia media sosial, Dwikalsum dan Yahfizham (2025) menjelaskan bahwa berpikir algoritma menentukan apa yang dilihat dan disukai pengguna. Artinya, algoritma punya kekuatan besar dalam membentuk opini publik, termasuk dalam hal keagamaan. Algoritmik melatih seseorang untuk berpikir logis, sistematis, dan reflektif terhadap cara kerja teknologi. Bagi para dai, literasi algoritmik bukan berarti harus menjadi ahli komputer, tetapi memahami bagaimana konten mereka disebarkan dan diterima dengan baik, siapa audiensnya, dan bagaimana memanfaatkan algoritma untuk kebaikan. Contohnya, ketika algoritma lebih mempromosikan video berdurasi singkat, maka dai dapat menyesuaikan pesan dakwahnya dalam bentuk potongan singkat yang inspiratif tanpa kehilangan nilai spiritual. Dakwah yang disampaikan dengan pemahaman algoritmik memungkinkan pesan kebaikan menjangkau lebih banyak orang tanpa kehilangan substansi moral.

Konsep komunikasi profetik yang digagas Kuntowijoyo menuntun dakwah agar tetap berpijak pada nilai-nilai humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahy munkar), dan transendensi (tu’minuna billah). Di Tengah banyaknya informasi dan konten viral, nilai-nilai profetik menjadi penyeimbang antara teknologi dan spiritualitas. Dakwah digital seharusnya meneguhkan martabat manusia, bukan merendahkannya dengan ujaran kebencian atau penghinaan terhadap pihak lain.

Dalam konteks media sosial, nilai humanisasi dapat diwujudkan dengan membangun empati, menghadirkan konten yang bermanfaat dan bukankonten yang bersifat provokatif. Nilai liberasi diwujudkan dengan membebaskan umat dari hoaks, kebodohan, dan sikap intoleran. Sedangkan transendensi menegaskan bahwa setiap aktivitas dakwah, bahkan di dunia maya, harus diniatkan sebagai ibadah kepada Allah.

Etika profetik menuntut agar dakwah dilakukan dengan kebijaksanaan dan kelembutan, sebagaimana perintah Allah dalam QS. An-Nahl ayat 125:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
Ayat ini menegaskan bahwa komunikasi dakwah, bahkan di media sosial, harus mengedepankan nilai moral dan empati, bukan provokasi atau kontroversi.

Selain nilai profetik Etika Bermedia juga menjadi aspek penting dalam komunikasi Islam adalah tabayyun meneliti, memverifikasi, dan memastikan kebenaran suatu informasi sebelum mempercayainya atau mengambil kesimpulan. Prinsip ini sangat relevan di era digital di mana kabar bohong dan potongan ceramah sering viral tanpa konteks. Teguh Prasetyo Utomo (2020) menjelaskan bahwa Tabayyun bukan sekadar etika personal, melainkan bentuk literasi informasi dalam Islam.

Dengan tabayyun, seorang dai digital belajar untuk memastikan sumber dalil, konteks ayat, dan kebenaran data sebelum membagikan konten dakwah. Ketika masyarakat semakin kritis terhadap informasi, pendakwah yang tidak berhati-hati justru bisa kehilangan kredibilitas. Karena itu, etika tabayyun menjadi fondasi penting agar dakwah digital tidak sekadar cepat menyebar, tetapi juga membawa kebenaran dan kedamaian bagi publik.

Indra Hotmian (2024) menyebut bahwa media sosial pada hakikatnya memiliki potensi besar untuk menyebarkan ajaran Islam secara luas dan cepat. Namun, ruang digital ini juga bisa menjadi bumerang bila tidak dikelola dengan bijak. Banyak pendakwah yang terjebak dalam pencitraan, menjadikan dakwah sebagai konten komersial dan bukan spiritual. Di sinilah nilai komunikasi profetik diuji, sejauh mana seorang dai mampu menyeimbangkan antara strategi digital dan niat ibadah.
Media sosial seharusnya menjadi “mimbar profetik” yang mengajarkan kasih sayang, empati, dan kebenaran. Pendakwah dapat menggunakan fitur interaktif seperti live streaming, podcast, atau short video untuk mengajak berdialog dengan audiens. Dengan pendekatan kreatif namun beretika, media sosial bukan lagi ruang yang menyesatkan, tetapi menjadi sarana amar ma’ruf yang efektif.

Seiring majunya teknologi, Dakwah digital akan terus berkembang seiring majunya teknologi. Karena itu, perlu ada regenerasi dai yang tidak hanya mahir berdakwah, tetapi juga cakap digital. Generasi muda Muslim perlu dibekali kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan beretika agar mampu menjadi pelaku komunikasi profetik di dunia maya. Integrasi antara ilmu agama dan teknologi menjadi kunci agar dakwah tetap adaptif dan bermartabat.
Kemampuan berpikir algoritmik juga mengasah keterampilan problem solving dan berpikir logis yang berguna dalam menghadapi kompleksitas era digital. Dakwah profetik yang dilakukan oleh generasi muda akan menjadi lebih menarik, kontekstual, dan lebih dekat dengan audiens, asalkan tidak meninggalkan nilai-nilai keislaman dan tanggung jawab sosial.

Kesimpulan, Era digital membuka peluang besar bagi umat Islam untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan ke seluruh penjuru dunia. Namun, dakwah digital bukan sekadar perkara teknologi atau popularitas, melainkan soal tanggung jawab moral dan spiritual. Tanpa literasi algoritmik, pesan dakwah akan tenggelam dalam banjir konten. Tanpa nilai profetik, dakwah kehilangan arah dan ruh ketuhanan.

Karena itu, pendakwah masa kini harus memadukan dua hal penting: kecerdasan digital dan kesadaran profetik. Dengan keduanya, dakwah di dunia maya bukan hanya berbicara soal jumlah penonton, tetapi juga tentang sejauh mana pesan kebaikan mengubah perilaku dan menumbuhkan iman. Di sinilah dakwah profetik menemukan maknanya: menyeru pada kebaikan (humanisasi), membebaskan dari keburukan (liberasi), dan mengajak manusia untuk beriman kepada Allah (transendensi).

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler