Saya mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Fakultas Filsafat, Prodi S1 Filsafat
Komunikasi Media sosial Era Post-truth Jean Baudriilard
Selasa, 13 Mei 2025 11:46 WIB
Interaksi Era Post-truth merupakan bentuk interaksi yang tidak sehat, Emosi seharusnya tidak dapat menjadi ukuran dalam mempersepsi informasi
***
Revolusi teknologi informasi yang ditandai dengan kemunculan internet dan media sosial telah mengubah pola komunikasi manusia secara menyeluruh. Dulu, komunikasi massa masih menyisakan jarak antara pengirim dan penerima pesan. Kini, batas tersebut hampir menghilang. Di ruang media sosial, setiap individu berperan ganda, sebagai produsen sekaligus konsumen informasi. Sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah dalam arus komunikasi yang begitu deras ini, kita masih memiliki ruang untuk benar-benar memahami apa yang sedang terjadi di sekitar kita dan dalam diri kita sendiri?
Jean Baudrillard, seorang pemikir postmodern, pakar kebudayaan dan sosiologi asal perancis. Baudrillard lahir di Reims, 20 Juni 1929. Pemikirannya dipengaruihi oleh Marshall McLuhan yang memperlihatkan pentingnya media massa dalam pandangan sosiologis. Selain itu Baudrillard juga dipengaruhi oleh pemikiran filsuf lain seperti Freud dan Psychoanalysis nya dan juga Marxisme. Secara filosofi Baudrillard terpusat pada dua konsep hyperreality dan simulation (Aprillins, 2009).
Dalam tulisannya yang berjudul The Ecstasy of Communication menyatakan bahwa dalam masyarakat yang sangat dimediasikan, komunikasi menjadi obscene. sebuah gambaran kondisi yang mengalami keterbukaan secara berlebihan. Sehingga tidak ada lagi jarak, Tidak ada lagi kedalaman. Segala sesuatu ingin ditampilkan, segala sesuatu ingin dilihat. Komunikasi tidak lagi menjadi alat untuk menyampaikan makna, melainkan menjadi pertunjukan tanpa akhir.
Kondisi komunikasi bentuk ini menjadi semakin kompleks ketika memasuki era post-truth, di mana narasi personal berupa reaksi emosional lebih menentukan penerimaan publik dibandingkan fakta objektif. Di media sosial, kebenaran sering kali menagalami reduksi menjadi preferensi subjektif, direproduksi dan diperkuat melalui algoritma yang mempertemukan individu hanya dengan pandangan yang singkat. Kemudian, realitas yang dihadapi individu bukan lagi realitas yang faktual, melainkan seperti apa yang dikatakan oleh Baudrillard adalah hyperreality, realitas semu yang dibentuk dari simulasi tanda dan citra tanpa referensi nyata, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Baudrillard, tanda merupakan bentuk kebohongan, karena tidak lagi mempresentasikan realitas sebagaimana adanya. Ironinya era post-truth ini tanda yang demikian justru lebih dipercaya dibandingkan dengan realitas itu sendiri.
Di tengah kondisi ini, muncul fenomena yang disebut overexposure. Ini bukan sekadar persoalan paparan informasi yang berlebihan, tetapi sebuah kondisi psikososial di mana individu terus-menerus terekspos dan merasa terdorong untuk mengekspos dirinya. Overexposure dalam konteks komunikasi dalam media merupakan kondisi ketika individu atau masyarakat mengalami paparan informasi, citra, dan representasi media secara berlebihan dan terus-terusan secara simultan, sehingga memicu gairah konsumtif atas informasi menjadi kian membesar. Reaksi terhadap informasi tidak mengalami analisis yang kritis, dan sebaliknya menjadi dangkal. Akibatnya batas-batas antara realitas dan representasi menjadi kabur, bahkan menghilang.
Post-truth sudah menjadi gejala yang mutakhir pada abad ke-21 ini. Gejalanya tidak berhenti pada arena lokal saja tetapi telah menyentuh menembus global. Ciri khas dari masyarakat era Post-truth adalah ketika reaksi berupa emosional lebih berperan besar dalam mencerna informasi dari pada reaksi rasional. Ciri khas dari komunikasi politiknya adalah demagogi.
Millenium III, abad ke-21 adalah era self-connection. Karena hampir setiap interaksi sosial kita mengalami virtualization. Ini ditandai dengan interaksi yang tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu. Sehingga melahirkan kemampuan baru berupa berekspresi dan akses informasi yang leluasa. Bayangkan semua situs yang kita sambangi, semua surel yang kita kirim, dan jutaan kisah yang kita baca secara daring, semua fakta yang ribuan orang jajaki setiap detiknya, dan berjuta cerita rekaan yang kita sanggah kebenarannya. Implikasinya pemahaman individu juga mengalami perubahan yang signifikan. Mulai dari hal remeh sampai pada pertanyaan mendasar yakni tentang jati diri, relasi bahkan keamanan identitas diri. Semua yang terbatas dan dibatasi dahulu kala, kini berguguran. Aliran baru dan daya cipta manusia mulai bergolak bangkit (Mofferz, M. W. 2020).
Dalam konteks demikian, manusia harus beradaptasi dengan kemajuan tersebut. Proses adaptasi ini seharusnya membawa manusia sedang menuju mentalitas ilmiah. Karena cara berpikir manusia secara global mulai mengarah pada rasionalitas. Sebetulnya dengan adanya kesempatan kebebasan berekspresi ini individu harusnya dipaksa untuk berpikir lebih kritis dan lebih mendalam. Namun, arus informasi yang berseliweran setiap hari dan tak terbendung justru membuat orang berpikir dengan logika yang kian pendek. Kecepatan dan banyaknya informasi yang berserakan ini menyebabkan individu tidak lagi memiliki waktu untuk menentukan kebutuhannya atas informasi (Mofferz, M. W. 2020).
Era post-truth yang kini didukung oleh digitalisasi menjadi era yang ketakjubannya bukan lagi ditaruh kepada esensi melainkan kepada eksistensi. Artinya perhatian kita tidak lagi menyentuh objektivitas informasi melainkan dari siapa dan tentang siapa informasi tersebut. Misalnya Selebritis menjadi dunia khas dari semua gelagat hidup manusia Post-truth. Sesuatu yang kritis akan dihindari karena dinilai kaku dan membosankan. Karena sesuatu yang punya pesona selalu genit dan sensitif untuk menarik perhatian publik (Mofferz, M. W. 2020).
Istilah virtualization, menandai terjadinya pergeseran di mana realitas aktual mulai digantikan oleh lapisan representasi simulasi yang diproduksi dan disebarkan oleh media. Dengan kata lain, dunia dipindahkan ke bentuk model-model dan kode, yang menciptakan hiperrealitas (hyperreality). Media tidak lagi memantulkan kenyataan, tetapi justru menjadi apa yang disebutnya sebagai key simulation machines Yang membentuk ulang apa yang kita anggap nyata (Duvenage, P, 2006: 15).
Transformasi ini memberikan kontribusi langsung pada fenomena overexposure. Ketika segala aspek kehidupan (termasuk ranah paling privat) dimediasi dan disirkulasikan tanpa henti melalui bentuk-bentuk yang tidak signifikan, sehingga menutup ruang untuk kedalaman atau misteri. Orang-orang akan langsung menciptakan kesimpulan hanya berbasis segelintir kecil tanda dan citra yang tersisa dalam informasi.
Transformasi ini juga membuat informasi privat ke publik menjadi barang yang dapat dikomodifikasikan. Misalnya tontonan televisi akan ramai jika memuat informasi pribadi seorang publik figur. Berita perceraian, perselingkuhan, percintaan, hingga perseteruan menjadi konsumsi publik. sehingga ini akan memberi ruang untuk merekayasa informasi, misalnya drama yang mereka lakukan didepan kamera, tanpa kita tahu bagaimana dibalik kameranya. karena informasi yang mengandung sensasional dianggap akan menghasilkan nilai jual.
Pengaburan kebenaran dan keakuratan informasi disebabkan oleh singkatnya penangkapan kita atas informasi yang dipaparkan. Dan sering kali tidak memberi waktu untuk memverifikasi kebenaran dari informasi, karena banjiranya informasi membuat kita hanya menangkap sekilas, dan tidak mencapai tahap memahami.
Pengaruh fenomena overexposure di era post-truth terhadap interaksi sosial, terutama dalam konteks hubungan antar individu dalam masyarakat menjadi sangat dipengaruhi oleh alur media. Ketika informasi terus mengalir dan segala sesuatu menjadi terbuka lebar untuk dilihat, maka akan ada perubahan dalam cara kita berinteraksi. Hubungan sosial menjadi sebatas permukaan saja, terpisah dari keterlibatan emosional yang mendalam.
Bentuk interaksi antar individu menjadi kecenderungan untuk saling mengintervensi aspek kehidupan pribadi satu sama lain. Ini dijelaskan oleh Baudrillard bagaimana kehidupan pribadi orang lain akan menjadi makanan virtual bagi masyarakat media. Hal ini menciptakan kondisi di mana individu tidak hanya kehilangan privasinya, tetapi juga menjadi objek yang terus-menerus diawasi dan diintervensi oleh pihak lain melalui media dan teknologi komunikasi.
Kemudian di perparah oleh apa yang dipublikasikan hanya diwakili oleh segelintir simbol dan citra. Dan penyerapan informasi yang tidak seutuhnya seringkali menyebabkan kesalahan persepsi. Meleburnya batas antara yang privat dan publik, (seperti yang dijelaskan Baudrillard dalam The ecstasy of communication) semakin memperbesar kesempatan orang lain untuk mengintervensi yang seharusnya tidak disentuh. Dan kembali lagi, bahwa di era post-truth semua informasi menjadi konsumsi emosional semata. Sehingga ini melahirkan fantasi publik atas sikap ideal tertentu dan seringkali hanya untuk menghakimi. Berita perceraian publik figur misalnya, dianggap sebagai sebuah tindakan buruk. Kemudian membangun persepsi publik yang beragam dan menaruh sikap ideal mereka.
Juga komunikasi tidak lagi berfungsi untuk memperkuat ikatan sosial atau membangun makna, melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan akan informasi yang segera terpakai dan terlupakan. Proses ini mengurangi potensi komunikasi untuk menciptakan perubahan sosial yang berarti, dan membuat masyarakat terperangkap dalam sirkulasi informasi yang tidak pernah berakhir (Duvenage, P, 2006: 18).
Referensi
Azwar, M. (2014). Teori Simulakrum Jean Baudrillard dan upaya pustakawan mengidentifikasi informasi realitas. Khizanah al-Hikmah: Jurnal Ilmu Perpustakaan, Informasi, dan Kearsipan, 2(1), 38-48.
Duvenage, P. (2006). The ecstasy of communication. Critical remarks on Jean Baudrillard. Communicare: Journal for Communication Sciences in Southern Africa, 25(2), 13-24.
Foster, H. (1983). The anti-aesthetic: Essays on postmodern culture.
Mofferz, M. W. (2020). Meretas Makna Post-Truth: Analisis Kontekstual Hoaks, Emosi Sosial dan Populisme Agama. Societas dei: jurnal agama dan masyarakat, 7(1), 3-3.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Komunikasi Media sosial Era Post-truth Jean Baudriilard
Selasa, 13 Mei 2025 11:46 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler