Dosen pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd Flores_Nusa Tenggara Timur.\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd Alumni Doktoral Prodi Studi Islam Kajian Dialog Antar Iman di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Demokrasi Emosional dan Tantangan Rasionalitas Publik

8 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Biasanya Pasal RKUHP dan Masa Depan Demokrasi
Iklan

Demokrasi Indonesia sedang diuji oleh wajah dunia perpolitikan yang mirip pertunjukan. Diskursus rasional yang diimpikan ‘kehilangan ruang'.

Oleh:

Richardus Beda Toulwala_Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM)_Ende

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Anselmus DW Atasoge_Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa (STIPAR)_Ende

 

Demokrasi Indonesia sedang diuji oleh wajah dunia perpolitikan yang kadang lebih mirip pertunjukan. Slogan dan citra mendominasi. Narasi emosional menggantikan data dan logika. Politisi menghindari debat substantif. Mereka lebih memilih retorika populis yang mudah viral. Dan, diskursus rasional yang diimpikan ‘kehilangan ruangannya’.

 

Tentang diskursus yang rasional, Jürgen Habermas (The Structural Transformation of the Public Sphere, MIT Press, 1989) pernah menekankan bahwa demokrasi yang sehat butuh diskursus rasional. Demokrasi, menurutnya, tumbuh dari komunikasi terbuka dan argumentatif. Ia menolak propaganda dan manipulasi. Ia menuntut logika dan transparansi dalam komunikasi politik.

 

Dalam konteks demokrasi elektoral Indonesia, efektivitas komunikasi politik tidak selalu ditentukan oleh rasionalitas argumentatif. Emosi dan identitas kolektif terbukti lebih ampuh dalam membentuk preferensi pemilih. Kandidat politik kerap memanfaatkan simbol-simbol budaya lokal, narasi religius, dan representasi etnis untuk membangun kedekatan psikologis dengan konstituen. Strategi ini memungkinkan mereka menyederhanakan persoalan kompleks menjadi isu-isu yang mudah dipahami dan diterima secara emosional oleh publik.

 

Saat ini nampak bahwa praktik politik kontemporer menunjukkan kecenderungan penciptaan musuh bersama sebagai alat mobilisasi massa. Identitas politik dibentuk melalui oposisi simbolik terhadap kelompok lain, baik yang dianggap elite, asing, maupun “tidak sejalan” dengan nilai mayoritas. Tujuan utama dari pendekatan ini bukanlah penyelesaian masalah substantif, melainkan pembentukan solidaritas instan yang bersifat afektif. Dari sudut pandang sosiologi politik, fenomena ini mencerminkan pergeseran dari ‘deliberasi rasional’ menuju politik afeksi dan identifikasi, yang sering kali mengaburkan ruang diskusi publik yang sehat.

 

Dalam kajian sosiologi politik, fenomena dominasi emosi dan identitas dalam kampanye dipahami sebagai gejala khas demokrasi elektoral. Pemilih tidak selalu bertindak berdasarkan pertimbangan rasional. Preferensi politik mereka sering kali dipengaruhi oleh afiliasi sosial, pengalaman kolektif, dan narasi yang menyentuh sisi afektif. Politik pun bergeser menjadi ruang ekspresi identitas kelompok, bukan lagi arena pertukaran gagasan substantif.

 

Dalam konteks ini, retorika populis menjadi strategi yang sangat efektif. Ia memanfaatkan ketidakpuasan publik terhadap kondisi sosial dan ekonomi. Ia menawarkan solusi cepat dan sederhana, tanpa membuka ruang untuk kompleksitas atau perdebatan mendalam. Retorika semacam ini mudah diterima karena menyentuh rasa frustasi dan harapan masyarakat secara langsung.

 

Contoh nyata terlihat dalam aksi massa Agustus 2025. Tuntutan politik yang disuarakan tidak disampaikan melalui argumen rasional, melainkan dibungkus dengan simbol-simbol budaya dan emosi kolektif. Poster, yel-yel, dan narasi yang digunakan lebih menekankan pada identitas dan solidaritas daripada pada program atau kebijakan. Fenomena ini menunjukkan bahwa politik Indonesia saat ini lebih mengandalkan ‘resonansi emosional’ daripada ‘deliberasi publik’ yang rasional.

 

Habermas menawarkan visi demokrasi yang luhur, namun barangkali terlalu idealis untuk konteks Indonesia yang sarat luka sosial dan ketimpangan historis. Tuntutan rasionalitas dalam komunikasi politik sering kali berbenturan dengan kenyataan bahwa emosi dan identitas adalah bahasa utama rakyat. Demokrasi Indonesia tidak cukup hanya dengan ruang diskusi yang logis. Ia juga membutuhkan pengakuan atas pengalaman kolektif, rasa sakit, dan harapan yang terbungkus dalam simbol dan narasi afektif.

 

Indonesia memang butuh jalan keluar yang lebih seimbang. Jalan itu tentu tidak menyingkirkan emosi dari politik. Emosi yang demikian perlu ‘diarahkan’ ke ruang dialog yang bermakna. Politik yang sehat harus mampu menyentuh hati tanpa kehilangan daya pikir. Sebab, demokrasi bukan sekadar akumulasi suara, namun proses perjumpaan yang membentuk makna bersama. Di tengah riuhnya retorika populis, tugas kita adalah membangun ekosistem komunikasi yang menggabungkan empati dan argumentasi. Untuk apa? Muaranya satu yakni agar demokrasi tidak hanya hidup, tetapi juga bermartabat.**

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Anselmus Dore Woho Atasoge

Penulis Indonesiana

10 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler