Sinergi dan Kolaborasi untuk Siapa? Refleksi Kritis 74 Tahun Kulon Progo
8 jam lalu
Sinergi sejati menuntut partisipasi warga, ekonomi berakar lokal, dan harmoni yang berkeadilan.
***
Pada tanggal 15 Oktober 2025 Kabupaten Kulon Progo merayakan hari jadinya yang ke-74 dengan tema “Sinergi dan Kolaborasi untuk Kulon Progo Harmoni”. Tema ini menggambarkan cita-cita besar dan mulia yaitu kebersamaan antar lintas sektor, kolaborasi antar pemerintah dengan masyarakat, dan harmoni dalam pembangunan daerah.
Namun di balik seruan optimisme itu, muncul pertanyaan mendasar: Apakah sinergi dan kolaborasi di Kulon Progo benar-benar berjalan secara substantif atau masih sebatas retorika pembangunan?
Apakah harmoni yang dirayakan itu lahir dari keadilan sosial dan kesejahteraan bersama atau hanya sekedar harmoni simbolik di tengah ketimpangan struktural?
Selama satu dekade terakhir, wajah Kulon Progo berubah drastis. Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) berdiri megah di Temon, jalan tol dan jalur logistik baru akan menghubungkan kawasan ini dengan kota besar, dan sentra industri mulai tumbuh.
Kulon Progo kini tak lagi dikenal hanya sebagai kabupaten agraris, melainkan simpul konektivitas baru di selatan Pulau Jawa.
Namun, di balik euforia itu, muncul paradoks pembangunan yaitu infrastruktur melaju cepat, akan tetapi ketimpangan sosial justru melebar.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan kontribusi sektor pertanian yang signifikan dalam lima tahun terakhir, sementara urbanisasi dan alih fungsi lahan meningkat pesat. Banyak warga di sekitar proyek strategis nasional kehilangan tanah pertaniannya, bergeser menjadi buruh bangunan, pekerja informal, atau migran ke kota.
Sinergi pembangunan ternyata belum sepenuhnya menciptakan keseimbangan. Yang terjadi adalah bentuk baru dari eksklusi, di mana warga lokal hanya menjadi penonton di tengah arus investasi besar. Pembangunan berwajah harmoni di permukaan, tetapi di lapangan banyak yang justru merasakan disonansi.
Politik Kolaborasi yang Bersyarat
Dalam konteks politik lokal, tema “sinergi dan kolaborasi” juga layak diuji secara kritis. Pembangunan di Kulon Progo berlangsung dalam kerangka relasi kuasa yang khas yaitu keterlibatan Kraton Yogyakarta sebagai pemegang otoritas pertanahan, keterkaitan pemerintah daerah dengan agenda pusat, serta munculnya aktor-aktor bisnis dan elite politik lokal.
Teori Marleen Dieleman (2011) tentang renegotiating, shaping, and replacing institutions relevan di sini, pembangunan bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi arena di mana institusi dan kekuasaan dinegosiasikan ulang.
Proyek bandara dan tol bukan sekadar hasil kolaborasi lintas lembaga, melainkan produk dari politik patronase dan koalisi elite yang memadukan kepentingan ekonomi, kekuasaan simbolik, dan legitimasi tradisional.
Akibatnya, partisipasi warga dalam pembangunan lebih sering tampil sebagai formalitas. Musrenbang berjalan, tetapi keputusan strategis sudah ditentukan di ruang lain, di mana sinergi berarti “mengikuti alur,” bukan “berunding setara.”
Kebudayaan dan Identitas yang Terpinggirkan
Sinergi dan kolaborasi juga seharusnya mencakup dimensi budaya. Namun, perubahan identitas simbolik Kulon Progo justru menunjukkan arah sebaliknya.
Motif batik “Geblek Renteng” yang sarat makna gotong royong dan kesederhanaan kini tergantikan oleh “Sonsongagung Ngambararum,” simbol kemegahan dan modernitas.
Pergantian ini bukan sekadar soal desain visual, melainkan pergeseran makna tentang siapa diri Kulon Progo.
Identitas agraris yang membumi tergeser oleh orientasi ekonomi modern yang menuntut komodifikasi budaya.
Seni tradisi, komunitas lokal, dan ruang sosial warga perlahan kehilangan ruang, tergantikan oleh festivalisasi budaya yang lebih berorientasi pada citra ketimbang makna.
Di sini, harmoni yang dimaksud dalam tema HUT seolah menjadi paradoks, harmoni di panggung perayaan, tetapi disharmoni di tingkat struktur sosial.
Dari Harmoni Simbolik ke Harmoni Substantif
Jika benar hendak membangun “Kulon Progo Harmoni” maka sinergi dan kolaborasi tidak bisa dimaknai sekadar kerja sama antar instansi atau antar level pemerintahan.
Harmoni sejati harus dimulai dari keadilan struktural dari keberpihakan pada petani yang kehilangan tanah, buruh yang kehilangan daya tawar, dan komunitas adat yang kehilangan ruang hidup.
Tantangan Kulon Progo ke depan bukan lagi sekadar membangun jalan dan gedung, tetapi membangun kepercayaan dan rasa kepemilikan warga terhadap daerahnya sendiri.
Sinergi yang sejati adalah ketika warga dilibatkan sejak tahap perencanaan, bukan hanya diajak hadir saat peresmian.
Menuju Sinergi yang Memerdekakan
Sinergi yang memerdekakan hanya dapat terwujud jika warga ditempatkan sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek kebijakan. Pemerintah daerah perlu membuka ruang partisipasi publik yang nyata dan inklusif agar arah pembangunan lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri.
Di sisi lain, penguatan ekonomi lokal berbasis komunitas melalui pertanian organik, pariwisata berkelanjutan, dan ekonomi kreatif berbasis budaya harus menjadi prioritas untuk menjaga kemandirian warga di tengah arus investasi besar.
Selain itu, identitas budaya lokal seperti Geblek Renteng perlu dimaknai kembali sebagai nilai gotong royong yang membumi dan menjadi dasar moral kebijakan publik. Pembangunan tidak boleh memisahkan diri dari akar sosial masyarakatnya.
Terakhir, kolaborasi lintas sektor yang egaliter harus diwujudkan melalui pembagian peran yang adil antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Dengan cara itu, sinergi tidak berhenti sebagai slogan, tetapi benar-benar menjadi jalan menuju keadilan dan kemandirian bagi Kulon Progo.
Menutup dengan Cermin
Di usia ke-74, Kulon Progo punya banyak alasan untuk berbangga. Tetapi kebanggaan itu tidak boleh menutup mata terhadap tantangan mendasar yang dihadapi.
Jika sinergi dan kolaborasi hanya menjadi slogan, maka harmoni yang diimpikan akan tetap menjadi mitos.
Namun jika keduanya diwujudkan dalam bentuk keadilan sosial, partisipasi sejati, dan penghormatan terhadap akar budaya, maka Kulon Progo bisa menjadi contoh kabupaten yang berpijak pada tradisi, namun melangkah dengan visi kemanusiaan.
Karena pada akhirnya, pembangunan tanpa keadilan bukanlah harmoni, melainkan kesunyian yang rapi.

Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
2 Pengikut

Bangkitnya Kembali Demokrasi dari Jalanan
Sabtu, 30 Agustus 2025 14:42 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler