Kepemimpinan Perempuan dan Dinamika Baru Politik Asia Timur
8 jam lalu
Bangkitnya dua tokoh perempuan ini bisa membawa arah berbeda bagi Asia Timur.
Oleh: Fadly Halim Hutasuhut, alumni Hubungan Internasional, Fisip Universitas Riau
Asia Timur tengah memasuki babak penting dengan munculnya dua pemimpin perempuan: Sanae Takaichi di Jepang dan Cheng Li-wun di Taiwan. Keduanya hadir pada momen strategis ketika ketegangan Amerika Serikat–Tiongkok semakin tajam, dan masa depan stabilitas regional banyak ditentukan oleh pilihan politik di Tokyo dan Taipei.
Jepang: Perempuan Pertama Menuju Kursi Perdana Menteri
Sanae Takaichi, 62 tahun, baru saja terpilih sebagai Ketua Partai Liberal Demokratik (LDP). Dengan posisi ini, hampir pasti ia akan menjadi Perdana Menteri perempuan pertama Jepang. Selain simbol bersejarah, kemenangan Takaichi juga mencerminkan arah baru politik Jepang.
Takaichi dikenal berpandangan konservatif, dekat dengan kelompok nasionalis, dan memiliki komitmen kuat pada aliansi keamanan dengan Amerika Serikat. Dalam konteks meningkatnya ancaman dari Korea Utara dan ekspansi maritim Tiongkok, kepemimpinannya diperkirakan akan mendorong Jepang lebih aktif di bidang pertahanan dan keamanan kawasan.
Taiwan: Cheng Li-wun dan Pertarungan 2028
Di seberang Selat Taiwan, Cheng Li-wun, 55 tahun, terpilih sebagai Ketua Umum Koumintang (KMT), partai oposisi utama. Latar belakangnya kuat: doktor hukum, pernah menempuh pendidikan di National Taiwan University, Cambridge, dan Temple University, serta dua kali menjadi anggota legislatif.
Dengan posisinya kini, Cheng diperkirakan menjadi calon presiden utama pada Pemilu 2028. Situasi politik memberi peluang besar: Democratic Progressive Party (DPP) tengah melemah. Dari 113 kursi parlemen, DPP hanya memegang 51; di tingkat lokal pun dominasinya menurun drastis.
Namun, pengalaman menunjukkan bahwa faktor eksternal sering kali menentukan hasil. Demonstrasi pro-demokrasi di Hong Kong (2019–2020) sebelumnya telah mengguncang elektabilitas KMT karena publik Taiwan khawatir akan nasib serupa jika terlalu dekat dengan Beijing. Kini, dengan suasana regional berbeda, KMT melihat momentum baru untuk kembali ke panggung kekuasaan.
Ideologi Politik: Status Quo vs. One China
DPP mengusung prinsip status quo: Taiwan tidak menyatakan kemerdekaan secara formal, tetapi menjaga jarak dari Tiongkok. Strategi ini kerap dipahami sebagai “ingin merdeka tapi tidak berani menyatakannya.” Sebaliknya, KMT berpegang pada prinsip One China, dengan misi menjaga keharmonisan lintas-selat.
Cheng secara terbuka menolak rencana peningkatan anggaran pertahanan hingga 5% dari PDB yang diajukan pemerintahan DPP, menyebut kebijakan itu sebagai jebakan geopolitik Amerika Serikat. Ia menegaskan, “Saya tidak ingin Taiwan menjadi Ukraina,” merujuk pada risiko terjebak dalam konflik besar akibat rivalitas global.
Jika terpilih, Cheng berkomitmen kembali pada Konsensus 1992, kerangka kerja politik yang pernah memungkinkan pertemuan bersejarah antara Presiden Taiwan Ma Ying-jeou dan Presiden Tiongkok Xi Jinping di Singapura (2015). Dalam pertemuan itu, simbol kenegaraan sengaja dihindari; kedua pemimpin saling memanggil “Xian Sheng” (Pak), istilah yang sarat makna hormat tanpa pengakuan formal kenegaraan.
Implikasi bagi Hubungan Internasional
Bangkitnya dua tokoh perempuan ini bisa membawa arah berbeda bagi Asia Timur. Jepang, di bawah Takaichi, kemungkinan akan memperkuat aliansi dengan Washington dan memperluas peran militer di kawasan. Taiwan, di bawah Cheng, justru berpotensi melakukan de-eskalasi dengan Beijing, menghindari konfrontasi dan menolak tekanan untuk meningkatkan persenjataan.
Divergensi ini bisa menciptakan paradoks regional. Di satu sisi, Jepang meningkatkan kesiapan pertahanan bersama Amerika Serikat; di sisi lain, Taiwan mungkin menempuh jalur akomodasi dengan Tiongkok. Situasi ini akan menantang strategi Indo-Pasifik Amerika Serikat dan memberi ruang bagi Beijing untuk memainkan diplomasi yang lebih fleksibel.
Kesimpulan
Kehadiran Sanae Takaichi dan Cheng Li-wun bukan hanya simbol kesetaraan gender dalam politik Asia Timur, melainkan juga penentu arah strategis kawasan. Jika Jepang menguat sebagai sekutu militer Amerika Serikat dan Taiwan memilih jalan rekonsiliasi dengan Tiongkok, konfigurasi geopolitik Asia Timur akan mengalami perubahan signifikan.
Keputusan politik di Tokyo dan Taipei dalam lima tahun ke depan akan sangat menentukan: apakah kawasan bergerak menuju stabilitas baru atau justru ke arah rivalitas yang semakin tajam. Dunia kini menunggu langkah dua pemimpin perempuan yang bisa menjadi penentu masa depan keamanan dan diplomasi Asia-Pasifik.
Malang, 20 Okt 2025
Tulisan ini, dibuat sebagai bahan reunian mahasiswa Hubungan Internasional 98, FISIP Universitas Riau.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Bukan Kami Tidak Mau Menyumbang, Tapi..
Senin, 6 Oktober 2025 19:30 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler