x

Penggiat HAM mengenakan topeng Munir dalam aksi Kamisan untuk mengennag 10 tahun tewasnya aktivis HAM, Munir di depan Istana Negara Jakarta, 4 September 2014. Tempo/Dian Triyuli Handoko

Iklan

Bayu Saktiono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengkaji Persoalan Kemanusiaan (HAM)

Tulisan dalam bentuk esai ini berupaya untuk menjelaskan duduk persoalan yang berkaitan erat dengan perilaku kemanusiaan, atau lebih tepatnya persoalan tentang HAM. serta mencoba menyajikanya dari sudut pandang yang berbeda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Pasca reformasi bergulir, dan bahkan jauh sebelum itu, persoalan kemanusiaan nampaknya tidak pernah bisa dilepaskan dari dinamika bernegara. kehidupan sosial yang berbeda-beda seperti suku, agama, ras, dan bahkan ideologi, sering kali menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Di tambah lagi dengan menguatnya kelas sosial dimana si kaya dan si miskin menciptakan jurang pemisah, yang sewaktu-waktu bisa mengancam keharmonisan nasionalisme, ataupun tatanan masyarakat.

Belum lama ini, kita telah menyaksikan bagaimana konflik yang terjadi ketika pemilu 2014 itu terjadi dikalangan masyarakat. meskipun perlu di garis bawahi bahwa konflik yang terjadi tidak selamanya anarkis, tetapi apa yang terjadi belakangan ini telah memicu timbulnya konflik.  Di zaman sekarang ini, konflik telah berubah bentuk kedalam perantara-perantara yang dapat merepresentasikan diri atau individu. Misalnya saja, media maenstream, sosmed, ataupun baliho-baliho. Setelah pemilu 2014 berlalu dan kekuasaan yang lama digantikan oleh penguasa yang baru, maka di depan sana telah menanti seambrek problematika yang ada di negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Oleh karena itu, tulisan ini akan saya coba arahkan pada persoalan Hak Asasi Hamunisa (HAM), yang kini sangat sering di perbincangkan di kalangan akademisi, ataupun institusi-institusi pendidikan. Meskipun pada sisi lain, persoalan politik, ekonomi, menunggu untuk dikritisi, namun ketika melihat antara masyarakat sipil dengan masyarakat sipil, atau dengan aparatus negara saling bersinggungan, maka hal ini perlu juga di cermati.  

Menyoal tentang kemanusiaan, setidaknya kita masih bisa memberikan apresiasi terhadap negara indonesia. Indonesia adalah salah satu anggota negara non-blok yang masih diperhitungkan dan mempunyai kontribusi yang masif dalam menangngani koflik HAM. Tentu saja hal ini menjadi modal yang berharga ketika indonesia duduk di jajaran PBB, yang sekarang sedang di tuntut untuk menyelesaikan persoalan HAM Internasional yang terjadi di Israel dan palestina.

Sebelum kita beranjak lebih jauh, alangkah baiknya jika kita melihat terlebih dahulu bagaimana kondisi kemanusiaan yang mana itu menjadi perlu dan penting  untuk dikaji. Pada tahun 2013 misalnya, Humans Right Watch masih mencatat persoalan ham ini dalam beberapa sisi, diantaranya dalam ranah kebebasan berexspresi, hak-hak perempuan, dan lain sebagainya[1]. Nampaknya peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar belum sepenuhnya dapat mengentaskan konflik ini.

 Pertama, mari kita lihat kondisi ini dari persoalan orientasi ekonomi yang dimainkan negara. dalam sistem ekonomi sekarang ini, negara indonesia menggunakan sistem ekonomi liberal. Meskipun tidak sepenuhnya bebas, tetapi titik tekan yang akan di lakukan negara adalah mengarah pada perdagangan yang bebas.

Ketika negara telah mengembangkan sistem ekonomi yang seperti ini, maka akibatnya adalah negara juga akan segera melakukan pembangunan yang itu berorientasi pada bagaimana pereokonomian negara dapat di tingkatkan. Tentu saja, hal ini seperti sebuah “kran’ bagi investor-investor asing untuk campur tangan didalamnya.

Hal yang perlu di cermati juga adalah ketika investor asing itu mulai memasukan tanganya pada negara ini, maka ia akan membawa kulture, nilai, dan tujuan yang berbeda dari negara ini. Kondisi ini sedikit banyak akan menimbulkan “penjajahan” yang muncul dengan wajah halus, namun lebih kejam di bandingkan dengan exsploitasi alam. Gerakan sosio-kultural yang merasa termajinalkan akan muncul dengan gerakan-gerakan sparatis untuk terus mempertahankan “keberadaanya”. Kita bisa mengambil contoh dengan apa yang terjadi sekarang di Papua. Bagaimana gerakan Papua merdeka telah muncul ke permukaan yang sangat menyita perhatian publik, dan bahkan Internasional.

Contoh lain misalnya, yang terjadi di jakarta belakangan ini. bagaimana pemerintah kota jakarta harus berhadapan langsung dengan para pedagang kaki lima yang telah bertahun-tahun mencari penghidupan disana. Sementara telah kita ketahui bersama-sama bahwa kalangan masyarakat “kecil” seperti itu perlu mendapatkan perlindungan yang “mau tidak mau” negara harus lebih intens menanganinya.

Lalu pertanyaanya adalah apakah ketika negara menerapkan sistem ekonomi liberal dan meningkatkan pendapatan negara dengan melakukan pembangunan itu adalah sebuah pelanggaran HAM? Dan apakah azas demokrasi yang telah kita anut selama beberapa tahun ini, sudah bisa memastikan bahwa kebebasan berexspresi, dan hak-hak perempuan, dan kebebasan beragama, sudah sepenuhnya dapat dirasakan.?

Kedua, fator lain yang berpotensi memicu timbulnya konflik kemanusiaan berupa HAM itu adalah lingkungan keluarga. Misalnya saja, ketika sebuah keluarga dengan latar belakang ekonomi yang masih dibawah rata-rata, harus memaksa salah satu anggota keluarganya untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. Jalan yang di tempuhpun beragam. Dan tidak banyak dari kalangan ini melakukan perbuatan yang melanggar etika, ataupun hukum di lingkungan. Orang-orang itu terpaksa pencuri, pengamen, dan tidak jarang mereka yang ingin sesuatu yang lebih, akan lari keluar negeri. Dalam kondisi-kondisi yang seperti ini, kebanyakan konflik dengan latar belakang HAM terjadi.  

Mengapa hal ini bisa terjadi.? Barangkali alasan yang pertama yang dapat saya tarik disini adalah karena faktor pendidikan. pendidikan seseorang rupanya sangat tinggi pengaruhnya terhadap kemampuan menyerap informasi yang yang datang pada dirinya. Sementara pada sisi lain, hal ini sering memicu pertengkaran yang bisa mengakibatkan kontak fisik pada orang-orang yang terlibat. Dampak yang akan di timbulkan sangat panjang dan tidak mudah diprediksi.

Yang kedua adalah peran aparatus negara –yang harus diakui- masih jauh dari mensejahterakan rakyat. Gambaran ini misalnya kita lihat bagaimana aparatus negara masih minim melindungi terhadap persoalan kemanusiaan. Selain itu, aparatus negara sering kali malah memicu timbulnya perpecahan, dan menjadikan masyarakat korban.

Di dalam dunia yang telah memasuki era digitalisasi ini nampaknya akan memaksa masyarakat menciptakan kulture baru. Sebuah kulture yang lebih mengedepankan etika. Lebih menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dan tentu saja, menciptakan keberlangsungan hidup yang selaras tanpa adanya diskriminasi, ataupun pelanggaran HAM.

 @MasBayusakti



[1] http://www.hrw.org/world-report/2014/country-chapters/121836?page=1

Ikuti tulisan menarik Bayu Saktiono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler