Review Film: Mata Tertutup

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Produser Asaf Antariksa, Endang Tirtana Sutradara Garin Nugroho Penulis Tri Sasongko Pemeran Jajang C Noer, M Dinu Imansyah, Eka Nusa Pertiwi, Kukuh Riyadi Tanggal edar Kamis, 15 Maret 2012

Film “Mata Tertutup” mengisahkan kehidupan tiga orang remaja yang terjebak dalam kelompok muslim radikal (NII) yang bercita-cita mendirikan negara Islam. Keterlibatan ketiga remaja ini sebagai anggota NII dilandasi oleh konteks dan alasannya masing-masing. Aini selalu diproteksi dan berada dalam tekanan ibunya, sehingga merasa kehilangan kebebasan, lalu menemukan kelompok NII yang memberinya peran dan harapan untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Rima adalah pelajar yang memiliki kepedulian tinggi terhadap persoalan kemiskinan, lalu menemukan kelompok NII yang menjanjikannya untuk memperbaiki sistem sosial dengan mendirikan khilafah Islamiyah, sebagaimana Rasul sukses mendirikan peradaban Madinah yang sejahtera. Sedangkan Jabir adalah seorang remaja miskin yang prihatin pada kesengsaraan ibunya, tetapi tidak mampu berbuat apa-apa karena dia pun bergelut dalam kemiskinan, lalu kelompok NII merekrutnya dan memberikan janji bahwa dia dapat mengajak ibunya ke surga (memberikan syafaat) apabila mati syahid.

Dengan begitu, terdapat dua bentuk legitimasi yang dibangun kelompok NII untuk melakukan rekrutmen, yaitu legitimasi sosial-politis dan legitimasi ideologis. Legitimasi sosial-politis dilakukan untuk mengarahkan kekecewaan para remaja pada sistem sosial yang mengakibatkan kemiskinan, penganguran, dan ketimpangan sosial. Meski ibunya termasuk pengusaha yang cukup berhasil, Aini selalu berada dalam tekanan dan tidak ingin menjalani kehidupannya seperti itu terus. Aini ingin terlibat dalam sistem sosial yang memberikannya peran lebih besar. Begitu pula Rima diarahkan untuk menyalahkan sistem pemerintahan yang kapitalis dan tidak peduli pada persoalan kemiskinan. Rima pun tertarik untuk terlibat dalam membangun sistem sosial yang lebih berkeadilan, dan kelompok NII menjanjikan itu. Sedangkan Jabir sudah lama menjalani kesengsaraan bersama ibunya hingga kehilangan harapan, karenanya pola rekrutmennya pun bersifat personal, yaitu keluar dari sistem sosial yang menyengsarakannya, menuju surga.

Sedangkan legitimasi ideologis dilakukan kelompok NII setelah berhasil mengarahkan kekecewaan anggotanya pada sistem kapitalis dan pemerintah NKRI. Legitimasi ideologis dimulai dari pemaparan sejarah Rasul yang sukses membangun peradaban Madinah yang berkeadilan dan “diridai” Allah. Kesusksesan tersebut, menurut pemimpin NII, disebabkan penerapan syariat Islam. Karenanya, persoalan kemiskinan dan ketimpangan sosial lebih disebabkan oleh tidak diterapkannya syariat Islam. Sehingga, satu-satunya solusi untuk mengatasi persoalan sosial adalah dengan mendirikan khilafah Islamiyah yangberladaskan syariat Islam.

Namun, ternyata selama terlibat dalam kelompok NII, Aini dan Rima memutuskan keluar dari keanggotaan karena menemukan kebobrokan dalam sistem NII yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Aini tidak memperoleh keleluasaan berperan tetapi justru terbelenggu oleh aturan-aturan yang lebih menekannya ketimbang proteksi ibunya, sehingga dia memilih untuk pulang ke rumah ibunya. Begitu pula Rima menemukan bahwa sistem NII justru menindas kaum perempuan, bahkan pimpinan NII pun tidak peduli pada penyakit istrinya dan membiarkannya tanpa pengobatan. Kebobrokan dalam sistem NII inilah yang menyadarkan Rima dan Aini untuk kembali menjalani kehidupannya semula; Aini yang disayang ibunya melanjutkan kuliah, sedangkan Rima menjadi aktivis perempuan.

Kalau Aini dan Rima masih bisa menemukan jalan pulang, namun nasib Jabir lebih tragis dan tidak dapat lagi menemukan jalan pulang. Jabir sudah kehilangan arah, tidak lagi menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupannya selain terjerembab dalam kesengsaraan. Kelompok NII adalah satu-satunya jalan yang dapat dilaluinya. Tak ada jalan keluar. Dia hanya bisa pasrah, terus meyakinkan dirinya bahwa kejahatan telah merajalela, siap mati sahid, dan berharap bisa menemui ibunya di surga.

Dengan demikian, film yang diprakarsai oleh Maarif Institute ini berhasil mengungkap pola rekrutmen yang dilakukan kelompok NII, bahwa kondisi sosial, terutama kemiskinan dan ketimpangan sosial, yang dirasakan banyak orang menjadi kekuatan kelompok NII untuk mengajak orang lain bergabung dan menawarkan sistem sosial yang lebih baik, yaitu khilafah Islamiyah. Lagitimasi sosial-politis inilah yang menjadi acuan dalam mengembangkan legitimasi ideologis, yaitu syariat Islam. Ideologi tidak dapat bertahan lama kalau tidak menemukan penguat-penguatnya dalam kehidupan nyata.

Selain itu, film yang disutradarai Garin Nugroho ini juga patut diapresiasi karena berhasil membuka kesadaran tentang konsekuensi-konsekuensi yang diakibatkan oleh rekrutmen kelompok NII, bahwa anggota baru NII telah mengabaikan dan membiarkan keluarganya dalam kekhawatiran, dan bahkan tidak memedulikan korban-korban yang berjatuhan demi memenuhi ambisi elite untuk mendirikan negara Islam. Padahal, telah banyak tercatat dalam sejarah tentang bagaimana para elite mengembangkan ide-ide pembangunan yang dianggap sebagai “kehidupan yang lebih baik”, dengan kriteria-kriterianya sendiri, sambil membenarkan penyingkiran orang-orang yang dianggap mengancam; salah satu contohnya adalah rezim Orde Baru yang membenarkan jatuhnya korban demi lancarnya “pembangunan yang lebih baik”. Tak seharusnya kita menutup mata.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Syiqqil Arofat

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Definisi Optimisme: Seri Motivasi

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Sejarah Uang

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler