x

Sejumlah kendaraan bermotor berusaha menerobos banjir yang melanda kawasan Kemang, Jakarta, 28 November 2014. Hujan lebat pada hari ini menyebabkan beberapa ruas jalan di Ibu kota Jakarta mengalami banjir, pohon tumbang dan kemacetan cukup panjang. T

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pacu di Jakarta

Sebuah metromini tua berwarna oranye tiba-tiba menyalip dari arah kiri, menyelip hingga mepet trotoar dan memotong lajur kendaraan lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Dasar orang metro, gila semua!"
 
Seketika saya terkejut tatkala mendengar gerutu sopir kantor saat kami melintasi jalan Sudirman pada suatu sore yang sibuk. Kami baru pulang setelah seharian bertugas di sekitar kawasan Jakarta Timur. Antrian mengular sejak dua jam sebelumnya, dan meskipun telah bertolak lebih dini, kami bahkan tetap terjebak padatnya lalu lintas hingga pukul lima, yang tidak akan mudah terurai sampai malam nanti. Ruas jalanan Jakarta sedang macet-macetnya.
 
Sopir kantor saya biasanya agak penyabar. Jarang betul dia senewen di jalan. Bahkan rasanya dia selalu bisa mengemudi tenang-tenang saja melewati jalanan Jakarta yang ajegile berantakannya--padahal saya dan atasan kadangkala mudah panik dan waswas terlambat. Sebagai warga Ciledug, sopir ini agaknya mahfum betul dengan kondisi lalu lintas seperti itu. Beda betul dengan saya yang meski sudah dua tahun tinggal di kota ini, tetap juga terheran-heran, kok ya bisa penduduknya tahan macet sampai sekarang.
 
Sore itu, giliran saya yang kagetan. Sebuah metromini tua berwarna oranye tiba-tiba menyalip dari arah kiri, nyaris menyenggol muka depan mobil. Belum sampai di situ. Entah kesurupan apa, sopir metromini nekat saja menyelip-nyelip hingga mepet trotoar dan seenaknya memotong laju kendaraan di sebelahnya. Jadilah ia kemudian nyelonong ke arah kanan dan menerobos lajur transjakarta. Eh, berselang sepuluh meter kemudian, dia tiba-tiba berhenti dan menurunkan penumpang, lantas ngluyur pergi.
 
"Wuih, nyaris banget ya, Pak..." cuma itu yang bisa saya ucapkan. Tidak ada tanggapan dari sopir kantor. Dia tetap pasang tampang mesem bahkan sampai kami tiba di sekretariat.
 
Mengemudi mobil pribadi di Jakarta memang penuh suka duka. Macet jelas jadi masalah paling utama. Karena itulah saya tidak memilih pakai mobil. Di samping belum punya duit untuk beli, toh saya memang belum bisa nyupir sendiri. Lain dari itu, kendati sudah punya SIM C, saya tidak pernah mau pakai motor kalau bepergian di Jakarta. Banyak nian ancamannya. Ranjau pakulah. Begal motorlah. Belum lagi banjir. Belum lagi kulit tangan belang-belang karena terus-terusan pegang kemudi, hehehe....
 
Boleh jadi, metromini dan kopaja adalah angkutan yang paling ditakuti para sopir kantor maupun juru mudi pribadi. Bagaimana tidak. Mereka bisa sesukanya terabas jalan, ngebut, lalu ngerem mendadak sampai berhenti dan cuma mepet sepersekian senti dari kendaraan di depannya. Dan, kernetnya itu lho, yang beberapa kali turun ke jalan dan berteriak-teriak melebihi demonstrasi mahasiswa untuk menuntut mobil-mobil di dekatnya supaya berhenti dan memberi jalan bagi bus sedang berbau timbal yang uzur umurnya itu.
 
Karena itu ya, naik metro atau kopaja bahkan bisa lebih cepat dibanding lainnya.
 
Eh, ada satu lagi yang lebih gesit cekatan di jalan: ojek motor! (Sebelumnya, sudah pada tahu kalau Kementrian Perhubungan telah melarang ojek motor berbasis online?)
 
Selain yang menggunakan fasilitas daring, kita sangat mudah menemukan ojek motor. Jalan saja ke muka sebuah gang, perempatan, atau pinggir lampu trafik. Pasti dijumpai Mas-Mas tukang ojek yang lagi mangkal. Atau, bila Anda kebetulan nona-nona, cukup kasi kode ke pengendara motor yang lagi sendiri tapi bawa helm dua buah. Entah ojek atau enggak, dia pasti mau berhenti dan antarkan kemana tujuan, hahaha....
 
Beberapa orang punya ojek langganan. Selain aman karena sudah dikenal dan harganya relatif murah sekaligus bisa utang, barangkali dapat juga untuk tambah teman--meski motif ojek langganan ini jarang betul diterapkan. Tapi, ada baiknya hati-hati untuk pilih ojek langganan. Tampang innocent tukang ojek bukan jaminan ketulusan dan kebaikan pribadinya.
 
Pasalnya teman saya, sebut saja Gea, punya pengalaman kurang menyenangkan soal ojek langganan. Karena halte transjakarta dan kosannya di bilangan Gelora cukup jauh, ia memutuskan cari ojek yang dapat dipercaya.
 
"Tapi aku enggak berani sama tukang ojek itu lagi," cerita Gea suatu kali.
 
"Awalnya biasa-biasa aja. Cuma kemudian aku ngerasa ada yang enggak beres..." tambahnya.
 
Karena jam pulang Gea yang tidak menentu, ia kerap mengirim sms kepada abang-abang ojek supaya mau menunggu di halte yang biasanya dia lewati. Bahkan, kalau Gea kelupaan sms sementara waktu sudah agak petang, si abang sampai tanyakan apakah jadi pakai ojeknya atau tidak.
 
"Aku kira itu hal yang wajar ya. Sampai suatu kali, si tukang ojek itu kirim sms yang agak aneh. Aku sempat dua hari enggak ngojek karena kebetulan diantar sama teman kantor. Eh, dia kemudian tanya, kok enggak pernah sama dia lagi..."
 
"Kan tinggal sebutin aja alasannya, toh?" saya menjawab.
 
"Iya, tapi sejak itu kok ya dia jadi posesif. Kirim-kirim sms untuk tanya aku sudah punya pacar belum, hari ini pergi kemana, sudah makan, sampai berani nawarin jalan!"
 
Sejak itu dia tidak berani pakai ojek itu maupun lewat sekitaran halte. Dia lantas pilih pakai commuter meskipun terpaksa harus memutar.
 
Saya sendiri memang tidak punya ojek langganan. Kebiasaan selama di Jakarta, saya selalu random memilih moda transportasi. Misalnya, kalau ada satu tempat yang berkali mesti dikunjungi dan kebetulan arah ke sana bisa dijangkau dengan beberapa jenis angkutan, saya akan acak menggunakannya. Sehari bisa dengan kopaja, besoknya metromini, lalu naik commuter dan lanjut ojek, APTB atau transjakarta, dan semacamnya. Selain bisa merasakan rute-rute yang beragam, agaknya itu hal yang cukup baik untuk mencegah kejahatan yang muncul karena terus melakukan hal rutin. Bukankah celah kejahatan salah satunya dapat muncul karena pelaku sudah mempelajari pola-pola aktivitas kita?
 
Kalau Anda naik ojek di Jakarta, mungkin baiknya coba tips berikut ini. Pertama, pastikan Anda tahu arah yang dituju. Jangan naik ojek bila Anda betul-betul buta peta. GPS dalam telepon pintar kita bisa sangat membantu dan itu bisa meminimalisir modus lupa jalan yang sering dilakukan ojek maupun sopir taksi.
 
Kedua, jangan ragu untuk berhenti jika ada hal-hal yang tidak beres. Tapi ya, jangan sembarang berhenti juga, contohnya turun di tengah jalan, apalagi itu jalan tol. Menepilah di pinggir jalan, hehehe. Pelajari jalan yang Anda lewati. Catat dalam ingatan, untuk antisipasi hal yang tidak diinginkan.
 
Ketiga, ini kebiasaan sederhana yang kadang luput dilakukan sebagian pengguna ojek: pastikan nomor kendaraan dan tipe motornya. Percuma bila Anda hanya kenalan sama si abang ojek tapi enggak tahu nomor polisinya. Camkan kata Shakespeare: apalah artinya sebuah nama, kalau tidak peka tanda bahaya, hehehe...
 
Meskipun Anda ambil ojek di pangkalan, tetap waspada saja. Pasalnya, tidak semua tukang ojek di sebuah pangkalan saling mengenal satu sama lain. Laiknya sopir taksi, beberapa tukang ojek kadang singgah di sebuah tempat untuk makan siang di warteg atau warung kakilima di dekatnya. Ia tidak sering ke sana, melainkan hanya kebetulan. Jika cuma kebetulan dan abangnya emang baik sih enggak apa. Tapi, bagaimana bila itu modus untuk cari peluang kejahatan?
 
Tidak mengenakan pakaian dan perhiasan ataupun penampilan gadget yang menyolok juga penting diperhatikan. Sama halnya untuk memastikan bahwa Anda tidak membonceng ojek di jam-jam yang tidak lazim, misalnya tengah malam sampai dini hari. Itu waktu rawan masalah sosial atau kriminalitas.
 
Kendati lebih waspada, tidak ada salahnya juga bila Anda memberi tip yang cukup jika si tukang ojek kelihatan baik dan berhati-hati selama berkendara. Tip itu anggaplah sebentuk derma, yang barangkali akan berdampak tidak terduga. Bisa saja si tukang ojek kemudian mengenali kita saat terjadi sesuatu di jalan tempatnya mangkal sehingga akan membantu. Yah, hitung-hitung, untuk menjaga atmosfer pikiran positiflah. Sehingga kita tidak akan merasa terancam dan sampai paranoid di jalanan Jakarta yang tumpah padat itu.
 
Omong-omong soal tip, seorang teman saya dari Belanda yang baru pertama kali datang ke Indonesia sudah tahu benar kiat-kiat seperti itu. Dia merasa naik ojek lebih aman dibandingkan taksi. Lagipula lebih murah untuk kantong euro-nya. Hanya saja, tukang ojek dekat apartemennya lebih cerdik.
 
"Saya beri dia tip lima ribu rupiah untuk ke stasiun Sudirman. Keesokan harinya, dia mengenali saya dan dengan ramah menawarkan ojek sambil bilang, hari ini tambah limaribu lagi ya, hahaha..." candanya curhat soal tukang ojek yang berani pasang tarif sambil berharap dapat tip lagi. Yah, patpat gulipat dong dapatnya...

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu