x

Iklan

mike reyssent

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Wahai, Pak Jokowi Dengarlah Suara Ini

Kasus Gafatar adalah kasus yang sudah melibatkan banyak orang dari berbagai macam suku, agama dan latar belakang pendidikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pernah baca kalimat di atas? Benar, kalimat itu adalah potongan dari syair lagu Oom Iwan Fals yang berjudul Manusia Setengah Dewa. Sebuah lagu yang sangat hebat karena bisa cocok dengan segala jaman dan pemerintah.

Di tulisan ini, saya bukan mau bahas lagu yang sangat hebat tersebut tapi saya mau bahas tentang kasus heboh Gafatar.

Hanya saja, saya juga tidak ingin membahas kasus tersebut dalam perspektif agama tapi dari sisi penegakan hukumnya. Sekali lagi mohon diingat tidak membahas tentang agama!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penting untuk diketahui lebih awal, saya bukan anggota Gafatar dan sama sekali tidak ada yang kenal dengan mereka. Tulisan ini juga bukan untuk membela Gafatar. Tidak. Saya hanya ingin kita melihat kasus ini dari segi kemanusiaan dan hukum saja.

***

Kasus Gafatar adalah kasus yang sudah melibatkan banyak orang dari berbagai macam suku, agama dan latar belakang pendidikan. Bukan hanya terdiri dari sekelompok orang yang berpendidikan rendah saja yang masuk dalam kelompok Gafatar, tetapi ada pejabat tinggi negara pun pernah (atau memang masih ada?) menjadi anggota Gafatar.

Beberapa waktu lalu, kelompok yang sudah mempunyai begitu banyak anggota, mengalami pengusiran dari tempat mereka bermukim, oleh sekelompok orang lainnya. Bukan cuma itu saja, tapi tempat mereka dibakar, yang tentu saja harta bendanya pun ikut terbakar. Musnah, hanya tersisa abu!

Begitu besar kerugian yang diderita oleh kelompok Gafatar, bukan hanya materi tapi juga non materi. Mental jatuh, trauma yang berkepanjangan, terlebih lagi banyak anak anak. Trauma yang dialami anak anak ini sangat mengerikan. Bisa terbawa sampai dewasa. Bagaimana tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah ini?

Terlepas dari kelompok ini adalah aliran sesat atau misalkan pun semuanya adalah pencoleng, perampok dan pembunuh, apakah boleh kelompok lain yang merasa lebih kuat melakukan tindak kekerasan seperti itu? Apakah boleh sekelompok orang bertindak semena mena seperti itu terhadap sesamanya?

Apakah negara harus kalah oleh sekelompok orang, sehingga negara harus tunduk dan patuh mengikuti kemauan sekelompok orang saja?

Pernah saya membuat tulisan tentang standar ganda penegakan hukum negeri ini, yang mana sampai saat ini masih terus terjadi pengadilan jalanan.  Begitu juga dengan penilaian kita terhadap lingkungan sekeliling sehari hari.

Sungguh miris melihat kelakuan para penegak hukum yang seakan “membiarkan” masyarakat melakukan pengadilan jalanan.

Mengapa saya mengatakan penegak hukum “membiarkan”?

Karena kita bisa lihat dalam banyak kejadian, aksi pengeroyokan pada tersangka pelaku kejahatan “kecil” kerap terjadi. Entah maling jemuran, maling ayam, maling uang sumbangan atau begal motor yang meninggal secara mengenaskan akibat dari pengeroyokan. Tanpa ampun sama sekali, seakan mereka sudah benar sendiri.

Sudah sangat jelas, korban pengeroyokan jika sampai meninggal, itu artinya adalah kasus pembunuhan! Ini negara hukum, pak!

Apakah orang itu sudah pasti bersalah? Sekalipun orang itu memang bersalah, apakah pantas dia dihakimi seperti itu? Dan, apakah pernah ada pelaku pengeroyokan itu yang diproses secara hukum?

Terlebih lagi apa yang dilakukan oleh aparat. Bisa dilihat, betapa banyak kasus pelanggaran HAM yang sudah dilakukan oleh polisi.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menerima 6.527 berkas pengaduan pelanggaran hak asasi sepanjang 2014. Pengaduan paling banyak ditujukan kepada pihak kepolisian, yakni sebanyak 2.200 berkas.

Menurut koordinator Kontras, Haris Azhar, selama 2015, terjadi 238 peristiwa pelanggaran. Dari jumlah tersebut, 85 di antaranya dilakukan Polri. Seperti pembubaran paksa aksi atau kegiatan disertai penangkapan ataupun penganiayaan serta pelarangan melakukan peliputan atau kegiatan.

Apakah penembakan yang dilakukan oleh aparat terhadap tersangka bisa dibenarkan? Tentu tidak. Tapi, apa ada aparat yang diproses setelah menembak mati perampok, begal motor dll? Perlakuan yang berbeda terjadi pada kasus Novel Baswedan yang telah menjadi penyidik KPK.  (atau silahkan cari kasus Novel Baswedan)

Lalu dimana letak keadilan? Dimana para pengacara yang sering membela koruptor, yang selalu berteriak keras tentang "Presumption of Innocence" atau asas praduga tak bersalah? Dimana para pegiat HAM? Mengapa mereka semua diam?

Ketika negara menghukum mati bandar narkoba, banyak orang yang berteriak menentang. Ketika negara ingin menerapkan hukuma mati terhadap koruptor, banyak pihak yang tidak setuju. Tapi ketika terjadi main hakim sendiri dan pengadilan jalanan membunuh orang, semua terdiam.

Apakah keadilan, asas praduga tak bersalah, Hak Asasi Manusia dan hukum negeri ini, memang sudah tidak berlaku buat rakyat kecil?

***

Sekian puluh tahun masyarakat kita mempunyai paradigma yang kurang benar. Masyarakat seakan permisif atau membolehkan melakukan sesuatu -yang jelas jelas melanggar hukum- sepanjang hal itu dilakukan secara beramai ramai.

Kasus Salim Kancil adalah salah satu dari sekian ribu contoh akibat dari bobroknya penegakan hukum kita.  Sekelompok masyarakat yang merasa punya kekuatan, berani mengangkangi hukum dengan melakukan pengadilan jalanan. Mereka berpikir seakan hukum akan takut pada masyarakat. Jadi mereka berani semaunya melakukan pembunuhan.

Kasus Gafatar dan yang sejenisnya, masih sangat sering terjadi di negeri ini. Jika terus dibiarkan tanpa penanganan yang serius dan benar, nantinya bisa menimpa pada siapapun.

Jika merasa diri benar, punya kekuatan dan tidak suka dengan sekelompok orang, siapa saja dengan bebas bisa melakukan pelanggaran hukum.

Oleh sebab itu, sudah saatnya pemerintah menegakan hukum setegak tegaknya. Siapapun yang bersalah, patut dibawa ke pengadilan negara bukan oleh pengadilan jalanan.

Jika memang Gafatar sesat, adili dan hukum semuanya. Jika ada yang melakukan kriminal adili dan hukum semuanya. Siapapun itu, jangan pandang bulu, dimata hukum semua sama, beri hukuman yang setimpal sesuai dengan undang undang yang berlaku.

Penting bagi pemerintahan Jokowi untuk segera memperbaiki kesalahan pada masa masa sebelum pemerintahannya, yang sepertinya terus “membiarkan” hal itu terjadi.

Pemerintah perlu melakukan “Revolusi Mental” untuk mengubah perilaku dan pola pikir masyarakat yang sudah terlanjur salah, sehingga nantinya akan tercipta rasa aman dan damai dalam masyarakat. Tercipta kesadaran betapa pentingnya penegakan hukum, toleransi dan kebersaman.

***Catatan :

*Apakah kita tidak bisa dan tidak malu pada anak anak yang mau bergandengan, bersalaman, bernyanyi dan menari bersama walau berbeda?

*Coba lihat berita ini... Puluhan pemuda berjibaku selamatkan sapi yang terseret banjir.  Demi menyelamatkan seekor sapi, mereka mau bergotong royong dan bersatu padu.

Mengapa terhadap sesama manusia malah sebaliknya? Apakah nyawa seekor sapi lebih berharga dari nyawa anak bangsa? Hmmm...

*Kasus Gafatar perlu penanganan dan perhatian yang lebih dari yang sekarang. Pemulangan ke daerah masing masing bukanlah solusi yang tepat, mau kerja apa mereka di daerah asalnya? Apa masih ada hartanya yang tersisa?

Jika memang aliran ini dianggap sesat, bukankah dengan cara mengembalikan ke daerah asal, malah aliran ini bisa menyebar dan mempengaruhi lebih banyak orang lagi?  Ingat, cara perekrutan dan kamuflase mereka sangat hebat.

SAVE POLRI! SAVE INDONESIA! SAVE RAKYAT KECIL!

Kita nyanyi yookk...

Wahai, presiden kami yang baru....

Kamu harus dengar suara ini...

 

Salam Damai...

(http://www.kompasiana.com/mikereys)

 

http://www.kompasiana.com/mikereys/wahai-pak-jokowi-dengarlah-suara-ini_56a9bda21d23bd580654aaa7

 

 

 

Ikuti tulisan menarik mike reyssent lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu