x

Iklan

Abdul Muis Joenaidy

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sosok Karismatik Dunia Pesantren

KH. Affan Abdul Malik, Kiai, Murabbi, Pendidik, Guru, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Bustanul Ulum, Krai-Yosowilangun-Lumajang, Jawa Timur.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bustanul Ulum, adalah sebuah pesantren sederhana, kecil, dan bahkan bisa dikatakan mungil saat itu, dengan jumlah santri hampir mendekati angka seribu, terletak di desa Krai, salah satu desa di Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, yang terkenal dengan kota pisang.

Di antara pesantren lain di Kabupaten Lumajang, Bustanul Ulum adalah salah satu pesantren tua yang melahirkan alumni dan santri, yang saat ini tersebar di seluruh pelosok Negeri dan bahkan mancanegara. Kondisi geografis pesantren yang berada di daerah pedesaan, sedikitpun tidak menyurutkan semangat para santri untuk belajar dan mengukir prestasi.

Pesantren yang didirikan oleh Almarhum KH. Affan Abdul Malik ini, saat ini telah berkembang pesat. Kiai kharismatik yang lahir pada tahun 1944 ini telah memberikan banyak sumbangsih, baik materi, semangat perjuangan, pemikiran dalam tatanan pendidikan, khususnya dunia pesantren di Lumajang. Siapa yang tidak mengenal beliau, sosok yang dekat dengan santri, mengayomi terhadap semua santri, membimbing dan mengajarkan santri berbagai disiplin ilmu, inspirator dan motivator warga pesantren dan seluruh keluarga besar pesantren di Kabupaten Lumajang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bukan menjadi hal yang perlu untuk diperbincangkan apalagi dipertanyakan, sosok Kiai yang disegani di Kabupaten Lumajang ini, telah banyak diakui oleh masyarakat, khususnya dunia pesantren, bahwa ia adalah sosok inspiratif, yang mampu melahirkan pemikiran baru, mencerahkan, memberikan solusi dan bahkan menjadi sahabat bagi mereka yang sedang tersesat dan tak tahu arah dan jalan.

Banyak hal penting yang dapat dipetik dari sifat beliau yang kharismatik dalam memimpin pesantren, hingga tak heran saat itu santri yang mukim di Bustanul Ulum hampir mencapai angka ribuan. Saya, adalah satu dari sekian ribu alumni yang pernah belajar pada beliau, didikan dan kasih sayang yang beliau berikan semasa saya belajar di Pesantren, sungguh luar biasa. Bagaimana tidak, setiap santri baru yang belajar dan nyantri di Bustanul Ulum, beliau sendirilah yang mencarikan teman bagi santri tersebut, menunjukkan di mana kamarnya, pada siapa ia harus belajar, siapa yang akan menemaninya selama ia beradaptasi dengan dunianya yang baru, semua itu dilakukan sendiri oleh Kiai.

Maka itu tak heran, jika setiap santri baru yang masuk ke Bustanul Ulum, kian hari akan merasa nyaman, betah dan menjadikan pesantren sebagai rumah sendiri, bukan karena lingkungan dengan ratusan teman, namun kharisma dan kasih sayang yang dicurahkan Kiai kepada seluruh santri kala itu, benar-benar dirasakan.

Beberapa pelajaran penting, yang dapat dipetik dan bahkan menjadi inspirasi Saya, selama dididik dan 'nyantri' di Bustanul Ulum, bersama beliau sebagai orang tua dan guru bagi seluruh santri, adalah:

1. Kiai Kharismatik

Sebagai seorang ulama' besar yang rendah hati, KH. Affan Abdul Malik senantiasa menjadi panutan bagi seluruh santri dan Assatidz di pesantren. Kharisma beliau yang tak kunjung redup, menjadikan beliau sebagai Kiai yang disegani, dijadikan rujukan dan suri tauladan, khususnya santri dan alumni. Sifat kerendah hatian yang beliau miliki menjadi ciri khas tersendiri. Mayoritas Kiai dengan sifat kharismatik yang dimilikinya, tak terkecuali KH Affan Abdul Malik, namun disamping itu, beliau juga dikenal sebagai orang yang penyabar, baik hati, rendah hati, penyayang terhadap seluruh santri, peduli, dan pandai.

Kharisma beliau bukan hanya di kalangan santri dan dunia pesantren semata, namun beberapa pejabat tinggi negara, pernah berkunjung dan sowan pada beliau, memohon doa restu beliau. Ini menjadi bukti sahih bahwa, beliau adalah fogur inspiratif yang banyak di kagumi dan bahkan menjadi inspirasi banyak orang.

2. Pembakar Semangat

Suatu ketika, ada 3 orang santri yang salah satu di antaranya adalah saya sendiri. Kala itu kami bertiga tidak mengikuti shalat jamaah subuh karena bangun kesiangan. Kiai kemudian membangunkan kami di kamar, meminta kami bertiga untuk segera melaksanakan shalat, kemudian segera menghadap beliau setelah selesai shalat. Kami bertiga pun merasa ketakutan, takut akan hukuman yang akan kami terima, takut terkena sangsi pesantren karena kesalahan yang kami lakukan.

Seusai shalat, kami bertiga bergegas menuju dalem (bahasa pesantren, berarti rumah/kediaman/tempat tinggal) Kiai, sampai di depan dalem, kami diminta untuk mengambil al-Quran di masjid, kami bertiga diminta untuk mengaji di depan dalem dengan berdiri. Hukuman ini sungguh di luar dugaan kami bertiga, karena sebelumnya kami mengira bahwa Kiai akan memberikan hukuman yang berat kepada kami, namun semua dugaan itu salah.

Di sela-sela kami mengaji sambil berdiri, Kiai memberikan wejangan, ceramah dan pendidikan akhlak kepada kami, beliau mengingatkan kepada kami akan kewajiban kami sebagai seorang santri, mengingatkan bahwa tugas kami adalah belajar, belajar menjadi manusia yang baik, yang mampu memberikan manfaat bagi orang-orang sekitar. Beliau juga menyampaikan kepada kami bertiga, bagaimana susahnya orang tua di rumah, mencari nafkah dan bekal untuk kami belajar di pesantren, namun balasan yang kami berikan hanyalah bermalas-malasan.

Sejak saat itu, kami bertiga sadar bahwa selama ini yang kami lakukan dan kerjakan di pesantren, semua dengan keadaan dan kondisi yang dipaksa. Maka setelah peristiwa itu, kami bertiga berjanji kepada diri masing-masing, disaksikan Kiai, untuk berubah menjadi manusia yang baik, manusia yang selalu berusaha untuk istiqomah beribadah dan berbuat baik. Nasihat dan wejangan serta ceramah yang disampaikan Kiai kepada kami bertiga, menjadikan semangat kami berbubah, keinginan kami untuk menjadi lebih baik, pun senantiasa membumbung tinggi.

Kami benar-benar merasakan bahwa, Kiai menyampaikan nasihatnya dengan nada yang lemah lembut, namun penuh dengan kerendah hatian, semangat kami seketika itu terbakar, tumbuh dan ingin segera untuk berubah. Demikianlah kira-kira, beliau membakar semangat kami bertiga dengan cara unik, mengaji sambil berdiri, memberikan nasihat dan pelajaran hidup kepada kami bertiga.

3. Orang Tua Santri

Setiap santri baru, yang datang dan ingin belajar di Bustanul Ulum, terlebih dahulu akan bertemu dan sowan sama beliau, menyampaikan maksud dan tujuannya kepada beliau. Demikianlah kebiasaan setiap wali santri yang mengantarkan putera-puterinya ke pesantren, hal ini lumrah dan biasa dilakukan serta sudah menjadi tradisi pesantren.

Namun, ada yang berbeda dari itu semua, santri baru, yang notabene akan menempati lingkungan baru, bertemu dengan teman-teman baru yang tidak ia kenal sebelumnya, belajar di tempat baru, maka saat itulah santri harus mulai beradaptasi, mampu hidup mandiri, mampu memanfaatkan setiap kesempatan untuk melakukan hal baik, mampu beradaptasi dengan lingkungan baru dan orang-orang baru. Maka saat itu pula santri membutuhkan seorang teman, yang setidaknya bisa menjadi penunjuk jalan, kemana, apa, dan bagaimana seharusnya yang ia lakukan di pesantren.

Kiai sebagai pemimpin tertinggi di pesantren, selalu memiliki kebiasaan memanggil seorang santri lama, untuk menemani santri baru. Biasanya beliau memanggil santri yang berasal dari daerah yang sama dengan santri baru, atau setidaknya daerah asal yang terdekat dengan santri baru. Ini adalah tradisi yang terus dijaga dan dilestarikan oleh Kiai, sehingga kasih sayang beliau benar-benar dirasakan oleh santri baru, santri tidak akan merasa asing dan terasing berada di lingkungan baru. Satu sampai dengan dua hari berikutnya, biasanya Kiai akan memanggil santri baru, menanyakan kabarnya, menanyakan keadaannya, menanyakan aktivitas apa saja yang telah ia lakukan di pesantren. Saya pun termasuk santri yang pernah dipanggil oleh Kiai, semasa awal menjadi santri. Kiai memberikan perhatian penuh kepada santri, memastikan bahwa mereka benar-benar merasa nyaman dan betah berada di pesantren.

4. Pandai dan Alim

Kajian kitab kuning (kitab klasik, yang kertasnya berwarna kuning), senantiasa selalu dilakukan oleh para santri, setelah subuh dan setelah shalat isya'. Kiai biasanya membimbing langsung seluruh santri untuk belajar, mengaji dan mengkaji kitab tersebut. Bab demi bab beliua baca dengan lancar dan fasih. Penjelasan yang diberikan pun amat sangat mudah kami pahami, sehingga penerapan dalam kehidupan di pesantren khususnya, dapat denga lebih mudah kami lakukan.

Kitab Kuning atau kitab karya ulama' klasik masa lalu, adalah kitab yang ditulis dalam bahasa aran tanpa harakat. Membacanya harus menguasai ilmu balaghah, Nahwu dan Sharraf, yang itu semua bukan perkara yang mudah. Mempelajari dan memahami Nahwu dan Sharraf saja, membutuhkan waktu setidaknya 6 tahun agar pebelajar (santri) mampu benar-benar memahami, barulah kemdian praktik membaca kita arab tanpa harakat.

Namun, Kiai melakukan semua itu denga mudah, dengan fasih dan lancar, memberikan penjelasan dan analisis terhadap teks dan kajian kitab, begitu detai dan mendalam, menggunakan bahasa sederhana namun sarat makna, sehingg santri merasa lebih mudah memahaminya.

5. Figur yang Dikagumi

Setiap hari jumat legi, ribuan orang berkumpul di pesanten, mereka datang dari berbagai daerah di jawa Timur, untuk mengikuti kajian rutin yang dilaksanakan oleh pesantren. Kiai bertindak sebagai imam dalam kegiatan yang dikemas sederhana itu. Kegiatan yang telah berjalan bertahun-tahun ini, telah diikuti oleh ribuan orang, khususnya wali santri yang berasal dari berbagai daerah di jawa Timur.

Mereka semua datang ke pesantren, untuk ngaji bersama-sama dengan Kiai, berdoa bersama dan beribadah bersama-sama. Jumlah jamaah yang kian hari terus bertambah, menjadi bukti bahwa figur KH. Affan Abdul Malik, adalah sosok Kiai kharismatik, yang disegani dan bahkan dikagumi, bukan hanya oleh ribuan santri dan alumni, namun juga orang -orang, wali santri yang berasal dari berbagai daerah di pelosok Jawa Timur.

 

Demikianlah kira-kira, figur KH. Affan Abdul Malik, sosok kharismatik yang menjadi inspirator kaum santri di Lumajang, dan Jawa Timur, yang hingga kini, kharisma dan semangat yang beliau tanamkan, tetap berkobar dan terpatri dalam diri.

Sepeninggal beliau pada Jumat, 01 Mei 2009, bertepatan dengan 05 Jumadil Awal 1430 H., dunia pesantren di Lumajang, dan bahkan di Jawa Timur dan Madura, kehilangan sosok kharismatik, inspirator, motivator, guru, orang tua, sahabat, pendidik, pengayom, pembimbing. Beliau wafat pada usia 65, meninggalkan seorang isteri dan empat orang putera dan puteri.

Saat ini, pondok pesantren Bustanul Ulum terus tumbuh dan berkembang pesat, kehadiran Sekolah Tinggi Agama Islam Bustanul Ulum, menjadi magnet tersendiri bagi calon santri, sistem pendidikan dan kegiatan pembelajaran yang variatif, lingkungan pesantren yang nyaman, asri dan luas, menjadi pertimbangan yang lain bagi calon santri yang akan belajar di pesantren. Semua itu adalah buah perjuangan almarhum KH, Affan Abdul Malik, yang saat ini dapat dinikmati oleh seluruh warga pesantren, santri, calon santri dan alumni.

Jasa beliau tak ternilai, kepergian beliau pun menyisakan luka yang mendalam, kehilangan yang amat sangat, namun semangat yang beliau tanamkan, sapai saat ini tak pernah surut dan padam. Figur yang inspiratif dan membangun.

 

Tempo45

Ikuti tulisan menarik Abdul Muis Joenaidy lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler