Buku Cetak Masih Lebih Disukai
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBisnis buku cetak kembali menanjak dan tidak tumbang oleh e-book seperti pernah diramalkan.
“One thing I often talk about in my business is that an e-book is not like a print book: it’s very, very different. It’s organic. It’s changing.”
--Bob Mayer (Penulis, 1959-...)
Di awal Februari ini, seperti ditulis di publishersweekly.com, beredar kabar burung bahwa Amazon akan membuka 300-400 toko buku di seluruh AS. Kabar burung ini terkait dengan job board posting bahwa Amazon mencari orang untuk mengisi lima posisi: assistant store manager, bookseller, books lead, store manager, dan device lead. Apakah ini untuk satu toko (yang belum lama ini dibuka Amazon di Seattle, AS) atau banyak toko, Amazon tidak menjelaskan.
Bila langkah ekspansif Amazon itu memang benar akan dilakukan, boleh dikata ini memperkuat kecenderungan bahwa bisnis buku cetak kembali menanjak. Dengan mengacu AS, di mana volume cetak buku paling besar di dunia, kecenderungan itu semakin kuat. Tahun lalu, penerbit Penguin Random House menggandakan ukuran pusat distribusi bukunya di Crawfordsville agar mampu menampung lebih banyak buku dan untuk mempercepat distribusi buku.
Lima tahun yang lampau (2011), dunia perbukuan mengalami kepanikan kolektif mengenai masa depan buku cetak. Seiring dengan migrasi pembaca ke peranti digital baru, penjualan e-book meningkat pesat hingga mencapai 1.260 persen antara 2008 dan 2010. Penjualan buku cetak merosot, toko-toko buku berjuang untuk tetap buka, sedangkan penerbit dan penulis khawatir bahwa e-book yang lebih murah akan mengkanibalisasi bisnis mereka.
Ketakutan itu jadi nyata ketika toko buku terkenal Borders menyatakan diri bangkrut. Bisnis e-book meluncur kencang. Bahkan para analis memprediksi bahwa e-book akan mengambil alih buku cetak pada 2015. Namun itu ternyata tidak terjadi. Penjualan buku digital bahkan merosot. Menurut Association of American Publishers, yang menghimpun data dari hampir 1.200 penerbit, penjualan e-book turun sebesar 10 persen dalam lima bulan pertama 2015. Tahun lalu tercatat penjualan e-book mencapai 20 persen dari pasar.
Tanda-tanda kembalinya pembaca e-book kepada buku cetak mulai terlihat, setidaknya mereka menjadi pembaca hibrida—membaca e-book maupun buku cetak. Meskipun tidak sepenuhnya imun terhadap perkembangan teknologi, dunia penerbitan buku kelihatannya lebih tahan dibandingkan dengan media musik dan televisi. Layanan peminjaman e-book pada umumnya tidak sukses. Bahkan pembaca muda yang tergolong digital natives sekalipun masih lebih suka membaca buku cetak.
Jumlah penjual buku cetak pun ternyata meningkat. The American Booksellers Association mencatat angka 1.712 toko anggota (member store) di 2.227 lokasi pada 2015, ini peningkatan dari 1.410 toko di 1.660 lokasi pada lima tahun sebelumnya. Peningkatan ini mendorong penerbit untuk berinvestasi lagi pada infrastuktur cetak dan distribusi. Seperti diberitakan The New York Times, Penguin Random House berinvestasi hampir $100 juta untuk memperluas dan memperbarui gudang dan mempercepat distribusi buku. Simon & Schuster memperluas fasilitas distribusi di New Jersey sebayak 200 ribu kaki persegi.
Hasil kajian Pew Internet Research terbaru menemukan bahwa pada tahun 2012, jumlah orang Amerika yang membaca sekurang-kurangnya satu judul buku cetak mencapai 71%, kemudian menurun menjadi 65% (2012), lalu meningkat lagi mencapai 69% (2014). Sementara itu, jumlah pembaca e-book mencapai 17% (2011), 23% (2012), dan 28% (2014). Dengan kata lain, masih lebih banyak orang dewasa yang membaca buku cetak dibandingkan buku digital. Pertumbuhan e-book tidak secepat yang dibayangkan semula. Lagi pula, sebagian orang merupakan pembaca hibrida yang membaca e-book maupun buku cetak.
Survei lain menyebutkan bahwa lebih dari separo pembaca yang lebih menyukai buku cetak mengatakan mereka suka memegang produk yang mereka baca. Mereka merasa punya ikatan emosional dengan buku cetak secara fisik, seperti ditunjukkan oleh komentar kualitatif “Saya suka aromanya” dan “Saya senang memegang bukunya”.
Agaknya, e-book belum mampu mengguncang kemapanan buku cetak. Kematian buku cetak masih jauh dari yang diramalkan banyak analis. (foto: theguardian.com) ***
Penulis Indonesiana
1 Pengikut
Di Musim Corona, Hati-hati Jangan Sampai Menghina
Selasa, 14 April 2020 05:33 WIBBila Jatuh, Melentinglah
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler