x

Iklan

Thamrin Dahlan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

[Hari Wanita] Super Mak

Memeperingati Hari Wanita Internasional terbetik kenagan tentang kehebatan Mak kami. Hajjah Kamsiah Binti Sutan Mahmud asli Minangkabau.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Wikipedia : Hari Perempuan Internasional dirayakan pada tanggal 8 Maret setiap tahun. Ini adalah sebuah hari besar yang dirayakan di seluruh dunia untuk memperingati keberhasilan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik dan sosial. Di antara peristiwa-peristiwa historis yang terkait lainnya, perayaan ini memperingati kebakaran Pabrik Triangle Shirtwaist di New York pada 1911 yang mengakibatkan 140 orang perempuan kehilangan nyawanya. Gagasan tentang perayaan ini pertama kali dikemukakan pada saat memasuki abad ke-20 di tengah-tengah gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja. Kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil mengadakan protes pada 8 Maret 1857 di New York City. Para buruh garmen memprotes apa yang mereka rasakan sebagai kondisi kerja yang sangat buruk dan tingkat gaji yang rendah. Para pengunjuk rasa diserang dan dibubarkan oleh polisi. Kaum perempuan ini membentuk serikat buruh mereka pada bulan yang sama dua tahun kemudian.

 

Orang Minang

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Zues, mamak, mamak buyung, Nenek, Uwo ikam, Nek uyut begitulah panggilan kesayangan kami untuk Almarhumah Hj. Kamsiah Binti Sutan Mahmud, yang dilahirkan di lintauLubuk Jantan Batu sangkar Sumatra Barat tahun 1914 dari pasangan sutan Mahmud dan Fatimah jaudah. Anak ke lima dari delapan saudara, dua saudara laki laki Habib, Maksirin dan memiliki dua uni Mak Tuo badariyah dan Mak Uda daridam serta dua orang adiek parampuan Hj. Raginam dan Hj. Arisam.

 

Tujuh orang anak lahir dari rahim beliau, tiga dilahirkan kampuang lintau Uda H. Musyawir (1931), Almarhum Uda Erdwan Syaridin (1935) dan Uni Hj. Husna (1940), Orang minang yang merantau kejambi dan kemudian lahir pula Buyung / Syahrir (1948), nurhayati (1950), H. Thamrin Dahlan Shidieq (1952) dan si bungsu Yahya (1955).

Mamak dan saudara saudaranya tinggal di Rumah Gadang Lintau dan sehari harinya mamak berjualan lemang kebalai salasa, begitulah cerita yang sering kami dengar dari mamak, ketika beliau masih kecil bersama dengan adik adik perempuannya serta Uda Djoindo anak tunggal Uwo Iyah setelah pulang dari sekolah. Dan sorenya mereka dengan lampu colok seadanya pergi kesurau untuk mengaji….

Merantau ke Jambi

Perjuangan Mamak dan Bapak dalam mendidik, mengasuh membesarkan kami anak-anaknya adalah perjuangan panjang yang didera kepahitan, kegetiran, membanting tulang, penuh deraian airmata dan tertatih-tatih terutama pada masa masa sulit jaman penjajahan sampai masa paceklik di tahun 50 sampai tahun 60 an.

Mamak berjualan kecil kecilan ke pasar kalangan sekitar kampung untuk menambah penghasilan bapak guna menyekolahkan kami satu persatu secara terus menerus sampai akhirnya alhamdulillah berkah rezeki dari Allah SWT kami bisa survive seperti ini.

Ketika tamat STM tahun 1967 kakanda Uyung berkata kepada Mamak dan Bapak, “Mak biarlah Buyung membantu mamak ke kalangan saja, Uyung tidak usah melanjutkan ke Perguruan Tinggi karena adik adik masih banyak yang perlu dana untuk sekolah. Mamak menangis, dan memandang anak kesayangan dengan rasa sendu dan mengakui bahwa Buyung anak laki lakinya yang satu ini yang banyak membantu dagangan Mamak. Memang kakakku yang satu ini kadang kadang meninggalkan sekolahnya

(bolos) untuk membantu Mamak berjualan kekalangan, tapi alhamdulillah dalam kondisi tersebut STM dapat juga diselesaikannya.

Tak pelaklah dalam masa masa terakhirnya yang banyak di sebut sebut Mamak di Bogor adalah Buyung, .”mana Buyung , mana buyung, mana surat dari tempino, apa Ina sudah kirim pensiun Bapak untuk nya. Allah Akbar di usia 90 tahunan mamak masih saja memikirkan kami, kerelaan kakanda Buyung yang tidak banyak menuntut dan dengan dibimbing terus menerus oleh Mamak dan Bapak merelakanadik adiknya sekolah adalah suatu pengorbanan untuk keluarga kami. Buyunglah yang paling lama dan paling dekat dengan Bapak selamadi Tempino sebelum Mamak dan Bapak menetap di Bogor mulai tahun 1990.

 

Surga dibawah telapak kaki ibu

Surga dibawah telapak kaki ibu, tentu ini bukan hanya kiasan, karena kasih sayang dan perjuangan seorang ibu tak akan terbalaskan dengan satu apapun, tulisan ini hanya sebagian dari bentuk atau wujud kasih sayang kami buat nenek.

Satu hal yang terkesan dan sulit dilupakan oleh kami adalah saat nenek selalu bertanya”sudah berapa kali Khatam Qur’an”, ini tentu suatu pertanyaan penuh nuansa edukasi dan motifasi religius, hal ini memang terbukti dimana saat waktu luangnya nenek menghabiskan harinya dengan membaca Qur’an, yasin, buku do’a serta tulisan arab gundul.

Mungkin jarang terjadi di dunia ini, dimana perkawinan begitu erat menjalin kekeluargaan. Ayahanda Dahlan yang berasal dari Bengkulu mempunyai adik kandung laki laki bernama Pak etek Sabirin, diutus oleh orang tuanya untuk mengajak kakaknya pulang ke Bengkulu, tapi ternyata jodoh berkata lain, Mamak dan Bapak menjodohkan Pak Etek Sabirin dengan Etek Inam adik kandung Mamak sehingga tali kekeluargaan ini sangat erat kami dan irul mempunyai nenek yang sama.

Berniaga cara Rasulullah

Semasa hidupnya nenek adalah figur wanita pekerja keras, terlihat dengan setiap bangun shubuh setelah sholat, nenek mulai bekerja hingga malam hari, untuk berkebun atau berdagang. Gaya berdagang Rasulullah yang selalu jujur selalu ada pada nenek. Nenek berjualan di kalangan dan terkadang harus naik dan turun dari truk. Dalam kondisi jalan di Jambi yang sangat rusak, hal itu tetap dijalankan nenek dengan keridhaan serta keikhlasan. Perjalanan nenek ke Tanjung pinangpun diambil kesempatan oleh nenek untuk membawa beberapa barang yang bisa dijual di Jambi, seperti payung, dan barang pecah belah, begitulah kegigihan nenek membesarkan para anaknya. Untuk kehidupan sehari – hari, nenek menukarkan hasil kebun dengan kebutuhan pokok dipasar, ini cara (barter) lama yang dilakukan orang jaman dulu.

Nenek sangat murah hati, hal ini diakui oleh beberapa cucu, sepulang berkebun salah satu cucunya sering diberikan uang oleh nenek. Hal ini terbawa sampai nenek sudah lanjut usia sekalipun, dimana saat salah satu anaknya yang sudah berkeluarga dan meranjak mapan, bila anaknya dateng ke Bogor selalu diberikan uang oleh nenek.

Jiwa religius itu selalu ditanamkan pada kami sampai hal-hal kecil sekalipun. Seperti agar kami sholat tepat waktu . bila Adzan berkumandang nenek paling tidak suka melihat kami masih menonton acara TV.

Suatu hal ibadah yang lain dan dicontohkan kepada kami adalah pada setiap hari jum’at, nenek menitipkan uang sedekah yang niatnya ditujukan buat Datuk Dahlan. Kebiasaan bersedekah ini juga selalu dicontohkan setelah nenek lama tinggal di Bogor.

Suka membaca

Di Mobil, Nenek selalu duduk kursi depan, disamping Pak Rahman sopir Ibu. Bila kami pergi keluar rumah untuk keperluan silaturrahmih. Saat perhentian lampu merah (Traffic light) nenek selalu menyuruh kami memberikan sedekah terhadap fakir miskin yang mendatangi kami.

Adinda Yahya dilahirkan dengan kaki kiri yang terbalik (Pengkong). Kata orang-orang kampung itu sudah takdir, terima saja, namun Mamak keras hati. Kaki Yahya harus dioperasi. Itulah salah satu wujud kasih sayang dan perjuangan buat anaknya adalah, saat salah satu anaknya kakinya harus di gifft waktu masih berumur 3 bulan, dengan berat semen gift yang hampir 10 Kg, nenek rela menggendong hingga hampir 1 tahun sampai kain panjang gendongannya rusak hingga robek. Dapat dibayangkan kalau si Yahya tidak dioperasi kakinya, tentu dia tidak seperti sekarang.

Pada bulan Ramadhan, kebiasaan nenek adalah membangunkan kami untuk sahur, sehingga sepanjang bulan suci tersebut Insya Allah kami tidak pernah ketiduran atau kesiangan. Dari kamar nenek di rumah “sebelah” dengan meresek resek menuju rumah utama, nenek pertama kali memanggil ibu, “Ina … ina bangunlah sudah waktu sahur …. “ , begitulah setiap malamnya nenek membangunkan kami.

Kurban,

Setiap hari raya Idul Adha, Mamak selalu berkurban entah di Tempino, Bogor atau di Jakarta. Dibulan Ramadhan, Mamak selalu bertanyaberapa harga satu ekor kambing, ambil pensiun Mamak dan belikan kambing yang besar dan bagus. Alhamdulillah kami jadi ikutan berkurban dan kebiasaan Mamak yang baik ini dapat terus menerus kita lanjutkan sebagai wujud ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

 

Kenangan yang tak terlupakan oleh kita adalah memotong kuku Mamak, dan yang selalu memotong kuku adalah Uda Musyawir yang membersihkan kuku mamak setiap 2 mingguan. Kebetulan rumah Uda Musyawir dekat dan disebelah rumah Uni Husna, jadi beliau duduk bersimpuh di kaki mamak dengan telaten memotong satu-satu.

Habib Abdulah Assegaf mengatakan pengabdian amal kepada ibundanya adalah membersihkan khaki dan menciumnya sebagai puncak pengabdian.

Setelah Bapak meninggal pada tahun 1992, Mamak menetap di Bogor. Untuk meyenangkan hati Ibunda tersayang, uni Husna membuatkan rumah untuk Mamak persis di sebelah Rumah Gadang, yang tembus, Sehari hari Mamak banyak dirumah ini, mengaji, sholat dan beristirahat, Kamar Mamak semakin nyaman dengan dipasang AC , walaupun Bogor kota hujan, tapi rasanya tidak sedingin jaman dahulu. Mudah mudahan Mamak merasa senang, dan bila anak cucunya datang ke Bogor langsung melihat Mamak di kamarnya dimana kamarnya penuh dengan buku buku pengajian dan surat yasin serta Al-Qur’an cetakan Mekah hadiah dari Uni Ina.

Hari hari terakhir

Dimasa sakit dan akhir hayatnya, nenek selalu tersenyum dalam kondisi terpasang jarum infus. Hal yang ditanyakan setiap 10 menit pada kami adalah, apakah sudah masuk waktu sholat, …. “Allahu Akbar”!!. Pada hari hari terakhir menjelang ke pulangan, Nenek sudah lupa sama kami saat itu. Hampir semua nama kami, nenek sudah tidak ingat, tapi sholat dan kewajiban terhadap Allah tak pernah dilupakan oleh nenek. Yang masih diingat oleh nenek adalah kata-kata Tempino dan Lintau serta zikir menyebutkan asma Allah. Suhanallah.

Kami tidak akan pernah melupakan senyum nenek dan gaya melambaikan tangan dari nenek. Tentu cerita ini hanya sebagian kecil dari hal baik yangdilakukan oleh nenek. Do’a kami untuk nenek. Doa, dan ridho orang tua menghiasi perjalanan hidup anak anaknya semoga cerita ini menjadi catatan suri tauladan buat kita, walahu’alam bishawab.

Salamsalaman

TD

Ikuti tulisan menarik Thamrin Dahlan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler