Di tengah pejabat kita sibuk mencari sumber kewarasan mengelola pemerintahan ini, ada berita menarik dari kinerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pemerintahan yang mengusung spirit revolusi mental ini mulai menunjukkan gregetnya. Survei terkini dari Saiful Mujani Research & Consulting terhadap pemerintahan Presiden Jokowi untuk periode Januari-Maret 2016 menunjukkan 59% dari 1.220 responden di 34 provinsi menyatakan puas atas kinerja pemerintah. Tingkat kepuasan itu lebih tinggi ketimbang survei sebelumnya yang mencapai 53%. Ini berarti ada pergeseran positif dalam kurva kinerja. Salah satu aspek pemicu positif kinerja pemerintah ialah penekanan pada pembangunan infrastruktur yang lebih giat ketimbang pemerintah sebelumnya. Badan Pusat Statistik misalnya, mengumumkan rasio Gini turun tipis dari 0,41 menjadi 0,40 sepanjang Maret hingga September 2015. Menurunnya ketimpangan pendapatan tersebut diikuti laju pertumbuhan ekonomi yang mulai berbalik naik pada triwulan terakhir 2015.
Potret progresif ini mungkin tak sepenuhnya merepresentasikan potensi dan proyeksi pemerintah dalam keseluruhan perwujudan Nawacita. Namun bisa menjadi ukuran keseriusan pemerintah mengoperasionalisasi mazhab pembangunannya. Kekonsistenan Jokowi menerapkan prinsip pembangunan berbasis wilayah pinggiran atau kelompok/wilayah terpinggir, atau kebijakan hukum yang relatif meyakinkan publik, dan situasi politik yang relatif stabil merupakan sebuah big push tersendiri bagi impresifitas kinerja pemerintah di hadapan publik.
Keputusan Presiden menggunakan skema pengelolaan di darat terhadap eksplorasi gas Blok Masela di Maluku Selatan kali lalu seakan menyemburatkan optimisme bahwa politik pembangunan Jokowi masih konsisten di basis populisme. Karena Blok Masela menyangkut persoalan krusial dan kedaulatan rakyat, keputusan itu menimbulkan vibrasi bagi ingatan dan kesadaran publik. Bayangkan saja, kebijakan tersebut akan berhadapan dengan kekuatan mafia, cukong yang selalu mendasarkan kalkulasi proyek pada keuntungan individu/kelompok. Jaringan kelompok ini sudah berakar lama, sistemik dan patologis di berbagai bidang, dan hanya sebuah keberanian kepemimpinan yang bisa mengatasinya.
Untungnya, chemistry situasi politik parlemen dan pemerintah makin lama makin mulai kuat, sehingga program-program pembangunan tidak mengalami ganjalan berarti dari parlemen. Modal ini cukup kuat mengompensasi desas-desus soal ruang kabinet yang dipenuhi petarung-petarung politik kebijakan, yang kadang nyaris mengorbankan kewibawaan pemerintah karena friksi yang berlarut-larut.
Sejauh ini Jokowi memiliki modal politik cukup memadai dan konsisten. Termasuk bagaimana mengelola dinamika kepentingan di kabinet dengan percaya diri. Mungkin karena itu, isu reshuffle yang dihembus-hembuskan sejak lama tak kunjung terealisasi karena Jokowi merasa masih mampu menata dan mengendalikan dinamika interaksi para pembantunya itu. Selain itu, Jokowi masih konsisten dengan modal sosialnya yang terlihat pada representasi figuritasnya: konsisten menyerap bahasa keresahan dan kepentingan rakyat, dan selalu bersahaja serta terbuka terhadap kritikan. Identitas populis yang sepertinya sudah jarang ditemukan dalam relasi kekuasaan pemerintah-rakyat yang lebih bersifat pragmatis dan transaksional.
Menurut Krathwohl, Bloom dan Masia (1973:12-19), penerimaan terhadap nilai-nilai kebaikan, respons terhadap kritikan, penghargaan terhadap nilai kebaikan hingga konsisten dalam menerapkan falsafah hidup (sederhana, jujur, tidak korupsi) merupakan ciri pemimimpin yang populis yang mudah diingat oleh rakyat. Kemampuan Jokowi memainkan ingatan kolektif rakyat ini membuatnya hingga saat ini nyaris tidak kehilangan jarak psikologis dan empati dari rakyat.
Meskipun di sisi lain, kritik terhadap pemerintahan cukup deras, namun pesona dirinya masih menjadi kanal yang kuat untuk mengubah kritikan menjadi input konstuktif, dan bukan menjadi kebencian. Tidak cukup dengan membangun ingatan kolektif personal, Jokowi ternyata juga mampu membangun ingatan kolektif lewat simbol-simbol politik. Misalnya ketika ia mengunjungi Hambalang yang disimbolisasi sebagai artefak penelantaran bangunan, pemborosan anggaran rakyat dan korupsi berjemaah pada masa pemerintahan sebelumnya. Kehadirannya di Hambalang menunjukkan jarak integritas diri dan kepemimpinannya secara absolut dengan masa lalu.
Kemampuan merawat modal tersebut adalah kunci dari seluruh pertaruhan popularitas dan kinerja Jokowi. Ke depan meskipun pergeseran dukungan politik pada pemerintah akan semakin kuat, namun bukan berarti masalah yang dihadapi pemerintah menjadi berkurang. Faktor-faktor eksternal politik yang membutuhkan respons segera dari pemerintah akan menjadi ujian tersendiri. Persoalan korupsi, reformasi birokrasi yang belum tuntas, layanan publik yang berbasis pemenuhan kebutuhan rakyat kecil (sembako, rumah murah, dll), sebaiknya menjadi unsur-unsur tervital yang harus dicarikan solusi oleh pemerintah.
Selain diperlukan keterampilan dan terobosan kebijakan untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan tersebut, diperlukan modal keberanian mengimplementasikannya sehingga rencana-rencana bagus tersebut kelak tidak sebatas artefak kebijakan tanpa makna yang hanya memicu sumber ketidakwarasan di bangsa ini.
Ikuti tulisan menarik umbu pariangu lainnya di sini.