Madura Dalam Secangkir Kopi

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Bagi manusia Madura, selain sebagai penambah stamina, kopi juga bermakna filosofis.

Pada awalnya adalah sebuah kebetulan. Ia hanyalah sejenis biji-bijian yang tak ada artinya jika tak ada seekor domba memakannya. Lalu, peristiwa (kebetulan) itu berlanjut pada uji coba. Reaksinya, sunguh mengesankan. Sang penggembala terjaga sepanjang malam. Lambat laun, seorang biarawan menggunakannya untuk pertemuan doa malam. Begitulah biji kopi ditemukan di Ethiopia, sebuah negeri yang terletak di Afrika Timur dengan kondisi geografis dua pertiga tanahnya terdiri dari dataran tinggi diselingi lembah dan pegunungan bersisi curam.

Setelah penemuan itu, kopi bertransmigrasi ke semenanjung Arabiah. Di sana ia dibudidayakan. Lalu, kopi menjadi minuman kegemaran orang-orang muslim. Pada kisaran abad ke-15 sampai 16 kopi telah ditaman dan dikonsumsi di seluruh Mesir, Siria dan Turki. Dari Arab inilah kopi terus merambah berbagai negara. Hal ini tak lepas dari pedagang dan penyiar agama Islam dari Arab. Namun, sampai abad ke-16 budi daya kopi masih merupakan dominasi negara tersebut.

Menjelang abad ke-17 barulah kopi tak hanya dinikmati di berbagai belahan dunia namun mulai bisa dibudidayakan oleh negara-negara di Asia dan Eropa. Menurut perhitungan sejarah, negara di Eropa paling sukses dalam pembudidayaan kopi adalah Belanda yang pada akhir abad ke-17 membawanya ke Jawa untuk ditanam secara besar-besaran dan diperdagangkan kembali di Eropa. Sejak saat itu Amsterdam menjadi pusat perdagangan kopi utama di belahan Eropa sampai abad ke-18.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada akhirnya kopi menjadi isu penting di seluruh permukaan bumi. Hampir tak ada negara yang tak mengenal kopi. Tak hanya di kalangan kelas elit, ia juga berkelindan dalam masarakat menengah ke bawah (grass root). Setelah sekian lama menjadi konsumsi umat manusia, kopi pun—melalaui berbagai teknologi—bertransformasi pada beberapa bentuk dengan kekhasan tersendiri. Sebut saja Kopi Arabika, Robusta, Luwak, Liberika, Kolombia, Lintong, Toraja dan Kona.

Tetap bertahannya kopi sebagai konsumsi di berbagai belahan dunia tak hanya dikarenakan memberikan efek bugar pada tubuh, namun ia hadir sebagai representasi masyarakatnya. Di Eropa ngopi merupakan sebuah kebiasaan bagi setiap pegawai saat jam istirahat di siang hari yang kemudian dikenal dengan istilah coffe break. Sedang di Indonesia, negara dengan penduduk sebagian besar petani, kopi dikonsumsi di pagi hari, sesaat sebelum berangkat bekerja. Bagi mereka ngopi tak hanya sekadar kenikmatan, tapi kekuatan yang akan mendongkrak tenaga tetap bugar bekerja seharian.

Di kalangan intlektual kopi pun hadir dalam bentuk berbeda. Tak hanya kekuatan yang mereka dapatkan. Di dalam kopi terdapat gagasan dan keakraban. Tak heran jika mereka bisa berlama-lama di sebuah kedai hanya untuk meminum kopi. Dari kedai dan minum kopi itulah kemudian lahir sebuah buku Kopi Merah Putih Obrolan Pahit Manis Indonesia, hasil obrolan ringan tentang Indonesia yang semakin mengenaskan. Selain esai, tak kurang juga lahir puisi, cerpen dan novel dari kedai-kedai kopi sebagai titik berangkat mengungkap fenomina sosial-budaya masyarakatnya.

Kopi dan Manusia Madura

Bagi manusia Madura, selain sebagai penambah stamina, kopi juga bermakna filosofis. Ada keterkaitan erat antara kopi dan rumah. Ibarat anak dan orang tua keduanya tak dapat dipisahkan. Jika sebuah rumah tak menyediakan kopi maka terasa tak lengkap pun ketika kopi meninggalkan rumah ia seperti sebuah ruh yang tak berfisik.

Di seitap acara sesederhana apa pun hingga paling istimewa, kopi tak akan pernah lepas. Pun dalam beramah tamah dengan seorang tamu. Ia adalah menu utama yang dihidangkan sebelum menu-menu lain disajikan. Bahkan, jika tak ada kopi di dapur, tuan rumah harus menghutang ke tetanga terlebih dahulu. Hal yang tak akan ditemukan di daerah lain. Bagi orang Madura akan dianggap janggal jika dalam pertemuan atau bertamu (baca: silaturrahim) suguhan lainnya didahulukan dari pada secangkir kopi. Bahkan, kopi merupakan sebuah penanda sakral seseorang membangun hubungan kekerabatan (kinship).

Peristiwa ini tak bisa digambarkan hanya sebatas pencapaian prestise atau kenikmatan semata. Bagi manusia Madura kopi tak hanya sebatas barang yang disangra, ditumbuk kemudian dihidangkan dengan campuran gula dalam kadar yang pas. Ia adalah simbol budaya yang mencerminkan pandangan hidup (world view) masyarakatya. Meminumnya adalah kenikmatan, namun kenikmatan yang paling diinginkan adalah pesan yang terkandung di dalamnya.

Kopi (Madura: kobi) adalah akronim (kerata basa) dari koko kakabbi. Ini menandakan bahwa dalam sebuah kopi ada kebersamaan, ada keharmonisan, ada kesalingmengertian dan terlebih ada kekukuhan dalam menjaga visi kebersamaan sepanjang hidup. Ia adalah sebuah perekat sehingga dalam kehidupan bermasyarakat tak terjadi perpecahan.

Kopi akan semakin menemukan maknanya ketika ia berada dalam sebuah rumah. Sebagaiamana digambarkan oleh de Jong, Latif Wiyat, Mein Rifaie dan beberapa peneliti Madura lainnya. Ciri khas rumah di Madura adalah Taneyan Lanjang dan Kampong Miji. Sebagai ciri khas, bangunan ini selalu berkelompok dengan halaman luas dan pagar pembatas. Maka, di pemukiman yang terdiri dari empat atau bahkan lebih kepala keluarga dan hidup berdampingan tak mustahil akan terjadi perselisihan yang berdampak pada pecahnya persaudaraan (sataretanan). Seperti kata bijak Madura cangker ben lepe’na dila apolong paste ngakalottak (cangkir yang berkumpul dengan tatakannya pasti berbunyi). Kata bijak ini menunjukkan bahwa setiap manusia yang berkumpul baik sebagai tetangga, saudara, bahkan suami istri sekalipun tak akan lepas dari masalah yang menghantuinya baik kecil, sedang, bahkan besar. Ia adalah fitrah. Terpenting bukan bagaimana seseorang berusaha tak punya masalah, namun bagaimana seseorang bisa menyelesaikan masalah dengan baik. Maka untuk meredam bunyi yang dihasilkan karena gesekan cangkir dan tatakannya adalah mengisinya dengan kopi. Di sinilah kopi hadir sebagai perekat sehingga masalah sebesar apa pun diharap tak berkembang dan dapat diselesaikan hingga keakraban kembali tercipta.

Keakraban yang diharapkan tak hanya sekadar kebersamaan dan keceriaan. Ia adalah representasi universal dari sifat primordial manusia Madura. Bagi mereka kebersaman dan keceriaan tak ada artinya tanpa adanya visi sejalan dan kerja sama yang solid. Maka meminum kopi adalah sebuah keniscayaan dalam upaya penyatuan sebuah kehidupan umat manusia.

 

*Penulis adalah sekretaris MWC NU Gapura dan Guru di MA Nasa1. Alumni pascasarjananya UGM-FIB Antropologi. Tulisannya telah dimuat di media local dan Nasional.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
khairul umam

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Madura Dalam Secangkir Kopi

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler