x

Iklan

Subairi Muzakki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tanggal Tua di Gedung Dewan

Reportase tentang tanggal tua di kalangan TA DPR

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ruang rapat Fraksi Persatuan Persatuan Pembangunan di Gedung Nusantara I Dewan Perwakilan Rakyat ramai oleh tenaga ahli. Ini pemandangan yang berbeda. “Biasa. Kalau tanggal tua memang banyak tenaga ahli yang rajin hadir seminar seperti ini,” kata Arif, bukan nama sebenarnya, yang juga tenaga ahli DPR, Selasa, 26 Juli 2016. “Berburu nasi kotak.”

Sindrom tanggal tua ternyata juga ada di gedung dewan yang megah ini. Tak peduli gaji tinggi, pada tanggal tua itu, tenaga ahli berubah jadi pencari nasi. Tentu dengan cara yang elegan: menghadiri seminar.  “Emang lagi tidak ada kerjaan. Ya apa salahnya,” kata Arif.

Arif adalah tenaga ahli salah satu anggota DPR yang duduk di komisi V. Sebagai sarjana Pendidikan Islam, mulanya Arif mengaku kesulitan membantu bosnya di komisi yang membidangi  perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat, serta pembangunan pedesaan dan kawasan tertinggal itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi, kata Arif, seorang mantan aktivis dituntut harus serba bisa. Ketika ia ditawari jabatan tenaga ahli, tanpa pikir panjang langsung diterimanya.  Dua tahun sudah dia mendampingi bosnya. “Biasa-biasa saja jadi tenaga ahli. Yang penting saat dibutuhkan kita selalu ada. Kerjaan mah bisa diatur. Tak ada yang sulit,” katanya.

Saat ditemui, Arif sedang kedatangan dua orang juniornya. Satu membawa proposal permohonan dana untuk acara pelatihan. Satu lagi meminta restu dan arahan untuk menghadapi pemilihan ketua umum di organisasi kemahasiswaan.

Sebagai senior, Arif tampil berwibawa. Dari penampilan hingga cara bertutur, hampir tak bisa dibedakan dengan anggota dewan. Kalaupun ada bedanya, barangkali hanya bentuk perut yang kurang buncit.

Kepada dua juniornya itu, Arif berpesan, bahwa jadi aktivis harus idealis. Saat ini, kata Arif, gerakan aktivis mahasiswa melempem karena banyak aktivis yang oportunis. Mencari makan di organisasi. Main proyek pemerintah. Demo bukan untuk memperjuangkan aspirasi, tapi untuk mencari nasi. “Cari nasi ya boleh saja. Tapi harus dengan cara yang elegan. Bukan menjual idealisme,” katanya.

Pesan-pesan itu makin membuat Arif berwibawa di mata para juniornya. Ditambah, setelah pamit pulang, Arif tak lupa memberikan dua - tiga lembar uang kertas pecahan seratus ribu. Berwibawa, idealis, dan royal. Tipe senior yang patut dijadikan teladan. “Bang Arif disegani. Dia juga komitmen merawat kader-kadernya. Setiap ada acara, pasti dia nyumbang,” bisik salah satu juniornya.

Gaji Arif sebetulnya tidak sedikit. Sama dengan tenaga ahli lain, ia digaji Rp 9 juta perbulan. Tapi sebagai aktivis yang punya impian jadi politisi besar, ia meniru kisa-kisah seniornya yang sudah sukses.

Di organisasinya, senior yang dikaguminya adalah Viva Yoga, Ferry Muryidan Baldan, dan Ade Komarudin. Di mata Arif, mereka adalah figur yang berwibawa, royal, dan idealis.

Dari mereka, Arif belajar bagaimana memperlakukan junior. Merawat idealisme, tapi di saat bersamaan membantu keuangannya. Tak hanya itu, dari mereka pula Arif belajar tentang berpenampilan. Rapi, intelek, badan sangat terawat, ganteng, dan terlihat bersahaja.

“Ini semua memang butuh cost. Merawat penampilan ada jatahnya, buat junior atau kader juga ada jatahnya. Memang harus begini kalau mau jadi politisi besar,” katanya. “Ada harga yang harus dibayar.”

Jadi, kata Arif, dirinya harus lihai menghemat gajinya. Apalagi, sekarang istrinya baru melahirkan anak pertamanya. “Ya terpaksa ikut sindrom tanggal tua. Seperti tenaga ahli lain yang tak bisa main proyek, harus cari-cari seminar kalau udah tanggal tua.”

 

Ikuti tulisan menarik Subairi Muzakki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler