x

Aparat Kepolisian menjaga ketat Tempat Kejadian Perkara (TKP) ledakan bom di dinding Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas IIA Lhokseumawe, Aceh, 23 Oktober 2016. Ledakan bom rakitan daya ledak tinggi yang membuat dinding LP jebol itu dilakukan oleh nara

Iklan

umbu pariangu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Polisi Anomic

Dalam tahun ini saja ada 16 orang polisi tewas karena bunuh diri mulai dari cara meminum racun, gantung diri hingga menembak kepala sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejumlah pemberitaan yang mengangkat kasus bunuh diri yang dilakukan polisi membuat kita tercengang. Sebagai anggota Bhayangkara, seorang polisi mestinya memiliki jiwa ksatria, bermental baja, pemberani, tabah alias tak mudah menyerah menghadapi keadaan apapun. Ini seturut makna Bhayangkara yang berasal dari bahasa sansekerta yakni: perkasa, garang, hebat, yang merupakan nama pasukan elit kerajaan Majapahit.

Seorang polisi adalah penganyom dan pelindung masyarakat, ia melakukan patroli, mendekteksi kejahatan, menangkap dan memeriksa pelaku kejahatan, menegakkan aturan dengan sejumlah risiko yang tidak ringan. Semua itu tentu membutuhkan stamina, kekuatan mental, fisik yang ekstra serta kedisiplinan tangguh. Maka tak heran jika publik bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi dengan polisi, sehingga nekat melakukan “harakiri”? Dalam tahun ini saja ada 16 orang polisi tewas karena bunuh diri mulai dari cara meminum racun, gantung diri hingga menembak kepala sendiri.

Yang teranyar ialah yang dilakukan Kapolsek Karangsembung, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Ipda Nyariman yang nekat menggantung dirinya di ruang kerja hingga tewas. Ia ditengarai gagal meloloskan calon bintara, padahal sudah telanjur menerima uang pelicin, ratusan juta. Dua hari sebelumnya, kasus serupa menimpa anggota Brimob Polda Yogyakarta, Brigadir Kepala Iwan Rudianto, yang menembak kepalanya sendiri hingga nyawa melayang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Anomic

Ironisnya, angka bunuh diri polisi justru menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2015 misalnya ada 3 kasus, 2014 ada tujuh kasus, tahun 2013 dua kasus, dan tahun 2012 hanya ada satu kasus.Tren peningkatan kasus bunuh diri yang dialami polisi bisa jadi karena kompleksitas beban tugas dan tanggung jawab yang makin tinggi. Ekspektasi publik terhadap profesionalitas pelayanan polisi dalam mengatasi berbagai persoalan keamanan dengan level risiko yang kian besar, membuat anggota polri seolah dikejar oleh tuntutan pemenuhan pelayanan prima sebagai bentuk tanggung jawab profesinya.

Apalagi kini polisi tidak saja berfungsi untuk menegakkan keamanan sebagai personifikasi kepentingan negara, tapi yang lebih penting dari itu adalah menjadi agen penegakan hukum yang berbasis pada nilai-nilai demokrasi, yakni memberikan pelayanan publik berbasis keadilan, etika, nondiskriminatif dan bertanggung jawab terhadap perlindungan kepentingan warga (Weisburd & Braga, Police Inovation: Contrasting Perspective, 2006). Multifungsi peran yang diemban polisi bisa berimplikasi pada faktor manajemen emosi, afeksi dan orientasi perilaku polisi dalam relasi keluarga maupun sosial.

Keterpengaruhan itu mungkin ada dan direspons secara berbeda oleh para polisi, namun bisa jadi tidak dominan dalam mendeviasi perilaku polisi. Hal yang menurut penulis menjadi determinan, salah satunya karena faktor apa yang Emile Durkheim –dalam buku klasiknya, Suicide-- sebut sebagai faktor anomic. Bunuh diri jenis anomic ini lebih karena ketidakmampuan bertahan menghadapi dinamika masyarakat yang kian dinamis. Tatanan sosial yang makin cair dalam menerima perubahan sosial (kebutuhan gaya hidup, kebutuhan eksistensi sosial, pamer diri) namun tidak disertai sikap dan mental dewasa dalam membentengi diri dari godaan tersebut, membuat seseorang sulit keluar dari ketegangan dan frustasi.

Secara empiris, pemujaan terhadap materialitas dan kapital dalam masyarakat juga turut memengaruhi perilaku para polisi masa kini. Kewenangan dan atribut yang dimilikinya kerap membuat para polisi superior serta mudah dikendalikan oleh perilaku korup. Dengan perkembangan tersebut, maka tidak sedikit polisi tampil hedonis, dengan gaya hidup mewah, menggunakan sepeda motor berharga puluhan jutaan atau mobil ratusan juta, meskipun dengan gaji yang relatif tidak terbilang besar untuk seorang polisi, gaya hidup tersebut pada akhirnya hanya akan menyusahkan diri sendiri.

 

Rapuh

Kasus Nyariman menunjukkan besarnya nafsu memperoleh uang dengan jalan pintas, yang tanpa disadari cara tersebut juga kelak melahirkan lingkaran setan sosok polisi rapuh yang tuna moral dan profesionalisme di tengah masyarakat. Jujur, tak tahan melawan godaan materialisme adalah problem kekinian yang sedang dihadapi polisi, yang dalam kasus tertentu turut menjadi pemantik lahirnya kecemburuan oleh “saudara tuanya” (TNI).

Mungkin karena itulah, Mabes Polri mengeluarkan Surat Edaran (SE) tertanggal 30 Juni 2016 yang salah satunya melarang anggota Polri mengunggah dan menyebarkan perilaku gaya hidup mewah dalam bentuk foto dan video di media sosial. Hanya saja, SE tersebut menjadi tidak efektif jika tidak disertai teladan otentik dari para jajaran elit polisi untuk tidak memamerkan barang mewah (rumah, mobil, koleksi barang antik nan mahal), bahkan memiliki rekening gendut. 

Polisi seperti Seladi yang rela memulung sampah untuk menambah penghasilan sehari-hari, atau polisi Yusuf Pasali yang dikenal antisuap, pantang mengeluh walau hidup pas-pasan atau Pudji Harjanto yang tergerak memberi bantuan pada seorang veteran di Surabaya dari royalti menulis bukunya adalah tamparan bagi para polisi di Indonesia, bahwa Bhayangkara sejati haruslah sosok berjiwa sosial tinggi, sederhana, humanis, namun tegas dalam prinsip, bukan Bhayangkara ‘lembek’ atau bermental sebatang kara (miskin).

 

Oleh: Umbu TW Pariangu

Dosen FISIPOL Undana, Kupang

Ikuti tulisan menarik umbu pariangu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler