x

Iklan

Ahmad Supardi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gie dan Resah yang Tak Kunjung Usai

Membayang Gie masih hidup sampai saat ini, mungkin ia menjadi orang tua yang selalu risau dan selalu menyebarkan virus kritis pada pemerintah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Misalkan Gie masih hidup tahun 2016, tepatnya tanggal 17 Desember ini, genap usianya 74 tahun dihitung sejak tanggal kelahirannya 17 desember 1942 lalu. Mungkin ia pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang tidak plin-plan ketika mengambil kebijakan atau undang-undang, walau dulu ia sempat menolak jalur ini. Atau mungkin ia memilih melanjutkan menjadi seorang dosen dan telah sampai pada level guru besar di Universitas Indonesia namun masih saja resah terhadap negara dan memprovokasi mahasiswanya supaya kritis dengan kebijakan pemerintah. Tapi mungkin yang paling pasti, ia tetap menjadi penulis opini yang tajam dan kritis.

Nama Gie atau Soe Hok Gie, memang tidak asing lagi bagi mahasiswa. Namanya harum menjelma kisah turun temurun dari tahun ke tahun. Begitu juga saya mengenal Gie, lewat senior yang berapi-api bercerita tentang perjuangannya era Soekarno dulu. Belum lagi film dengan judul ‘GIE’ yang sangat apik dan sukses membakar semangat penontonnya. Ia digambarkan sebagai pemuda yang dingin tapi tak kehilangan tenaga, semangatnya membara tapi tak bertingkah membabi buta.

Buku-bukunya terutama yang berjudul Catatan Seorang Demonstran pun menjadi kado istimewa untuk dibaca. Ia aktivis mahasiswa dan tokoh pergerakan angkatan 66. Ia vokal mengkritik pemerintah Soekarno yang dianggapnya sudah terlalu banyak dipengaruhi oleh orang disekelilingnya dan parahnya orang di sekelilingnya itu adalah penjilat demi kelompok dan partai masing-masing. Istimewahnya, ia mengkritik bukan lewat orasi yang berkencangan urat leher seperti mahasiswa lainnya, ia vokal lewat tulisan. “Aku yakin bahwa Bung Karno adalah manusia yang baik dan tragis hidupnya. Mungkin ia membuat kesalahan politik, tetapi salah satu sebabnya adalah pembantunya sendiri,” tulis Gie dalam Catatan Seorang Demonstran.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Misalkan Gie masih hidup saat ini, saya tak bisa membayangkan keresahannya melihat pemerintahan yang tak jauh berubah dari zaman Soekarno dulu. Di zaman Presiden Jokowi sekarang, jabatan presiden yang sakral itu malah pernah digeledek sebagai petugas partai oleh Megawati Soekarnoputri saat kongres PDIP di Sanur, Bali, 9 April 2015 lalu. Ia juga dianggap sebagian orang hanya boneka dan suka pencitraan dengan blusukan, kesannya mendengarkan rakyat, padahal hanya hadir menonton masyarakat lalu seolah sudah melakukan. Begitu juga ketua DPR RI, Setya Novanto, yang ngetop dengan panggilan ‘Papa Minta Saham’ yang teramat cerdik. Ia pernah mencatut nama presiden demi meminta saham pada PT Freeport hingga tak punya malu untuk turun naik jadi Ketua DPR RI dan para menteri-menteri yang suka membuat panggung sendiri.

Belajar dari Soekarno dan Gie: antara pemimpin dan kritikus, ada baiknya pemerintah sekarang mendengar kritikan dari orang-orang yang bermulut pedas dan menulis tajam itu. Baik rasanya mendengar kritikan yang pedas namun jujur dari suara rakyat kecil dari pada mendengar bisikan manis dari anak buah jabatan yang terkadang hanya menjilat. Toh kadang yang mengkritik bukan berarti membenci dan ingin menjurumuskan.

Beruntung Gie mati muda saat berumur hampir 27 tahun, sesuai dengan sesumbarnya yang mengutip filsuf Yunani: Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua, rasa-rasanya  memang begitu; bahagialah mereka yang mati muda. Kalau tidak, ia akan selamanya resah dan kesepian karena idealismenya.

Ikuti tulisan menarik Ahmad Supardi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler