Benarkah Umur Kota Jember Baru Sejenak?

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Membedah sejarah Jember kuno, menelusuri peran wilayah Jember dari sejak jaman purbakala.

Judul: Menelusuri Jejak Sejarah Jember Kuno

Penulis: Zainollah Ahmad

Tahun Terbit: 2015

Penerbit: Araska Publisher                                                                                          

Tebal: 228

ISBN: 978-602-300-173-6

Hari jadi Jember, yaitu tanggal 1 Januari ditetapkan berdasarkan kepada Staatblad 322. Staatblad 322 merupakan surat penetapan Jember sebagai regentschap (kabupaten). Surat ini ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 1 Januari 1929. Apakah tidak ada fakta-fakta sejarah yang lebih tua sehingga hari jadi Jember didasarkan kepada produk kolonial tersebut? Apakah benar umur Jember semuda itu? Buku karangan Zainollah Ahmad ini berupaya menunjukkan bahwa Jember, atau setidaknya wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Jember sudah menjadi bagian dari peradaban manusia.

Mula-mula Zainollah Ahmad menunjukkan bahwa wilayah Jember sudah dihuni oleh manusia sejak jaman prasejarah. Bukti-bukti dari Gua Sodong dan Gua Marjan menunjukkan bahwa wilayah selatan Jember sudah berpenghuni. Sayang sekali Zainollah mencampuradukkan istilah Austromelanesid, Australoid, Melanesia dan Mongoloid. Berbagai istilah yang memiliki pengertian berbeda ini sering dipakai tanpa penjelasan yang memadai, sehingga membingungkan pembaca. Misalnya di halaman 48, penjelasan Zainollah tidak memberi informasi yang pasti manusia ras manakah yang tinggal di Gua Sodong dan Gua Marjan.

Selain membahas penemuan di Gua Sodong dan Gua Marjan, Zainollah juga memberi bukti bahwa wilayah Jember memiliki peninggalan megalithik. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Jember sudah dihuni oleh masyarakat dengan budaya megalith pada 2500-1500 tahun sebelum masehi (hal. 60). Di wilayah Kabupaten Jember setidaknya ditemukan 327 peninggalan megalithik. Jenis dan jumlah peninggalan megalithik di Jember disajikan dalam tabel di halaman 65. Menilik peninggalan yang cukup banyak, bisa disimpulkan bahwa populasi di wilayah ini cukup besar.

Sejarah wilayah Jember di era kerajaan-kerajaan awal di Jawa terlacak sampai abad 4-6 Masehi (hal. 69). Arca Budha Amarawati adalah bukti bahwa wilayah ini sudah berhubungan dengan wilayah-wilayah lain dalam dunia perniagaan dengan India. Arca yang dibuat di India Selatan ini membuktikan wialayh Jember sebagai sebuah wilayah yang penting. Namun sayang penjelasan tentang apa peran wilayah ini pada era abad 4-6 masehi tak terjelaskan. Sedangkan prasesti watu gong adalah bukti bahwa Jember adalah topographia sacra (tempat suci) yang ada sejak jaman megalithikum dan berlanjut sampai pada masa Hindu (hal. 75). M. M Sukarto Karto Atmodjo mengatikan kalimat Tlah Sanak Pangilangku yang tertulis di prasasti Congapan sebagai sebuah  candrasengkala yang artinya 0101, atau kalau dibaca terbalik menjadi 1010 tahun Saka (1059 Masehi). Berdasarkan prasasti Congapan ini diduga wilayah Jember adalah wilayah lawatan suci para raja dinasti Isyana sampai dengan masa Samarotsaha putra Airlangga (hal. 84). Prasasti Watu Gong dan Congapan menunjukkan bahwa wilayah Jember merupakan pusat pemujaan agama gunung (Dewa Syiwa).

Gunung Argopuro yang terletak di wilayah Lumajang dan Tigangjuru (Jember, Bondowoso, Situbondo dan Probolinggo) tercatat dalam naskah Nagarakretagama, Tantu Panggelaran dan Bujangga Manik (hal. 87). Artinya gunung ini masih menjadi tempat penting pada era Majapahit.

Masa awal Majapahit menjadi sangat penting dalam sejarah Jember. Sebab dalam prasasti Kudadu yang ditulis oleh Sang Ramawijaya (Raden Wijaya) pada tanggal 11 September 1294 merupakan penanda bahwa wilayah Tigang Juru disebut secara khusus. Prasasti yang menceritakan awal mula berdirinya Majapahit dan penyerahan wilayah Lumajang dan Tigang Juru kepada Arya Wiraraja (hal. 93). Wilayah Tigang Juru inilah yang bisa disebut sebagai cikal-bakal Jember. Wilayah Tigang Juru meliputi Jember, Bondowoso, Situbondo dan Probolinggo). Pada saat wilayah ini diserahkan kepada Arya Wiraraja masih dalam bentuk hutan belantara, sementara Lumajang sudah dalam bentuk wilayah swatantra.

Zainollah menggunakan tiga sumber utama dalam merekonstruksi Jember di masa Majapahit. Ia menggunakan Desawarnana (Nagarakretagama), Pararaton dan lontar Bujangga Manik (hal. 112). Ia berpendapat bahwa Lamajang Tigang Juru tidak berhubungan langsung dengan Kerajaan Blambangan (Keraton Timur yang didirikan oleh Bre Wirabhumi (hal. 99). Sebab kerajaan Lamajang Tigang Juru hanya tercatat sampai dengan era Nambi, anak Arya Wiraraja saja. Sementara Keraton Timur didirikan oleh Bre Wengker dan dilanjutkan oleh Bre Wirabhumi di era setelah Raja Hayamwuruk.

Keterkaitan Majapahit dengan Jember bukan hanya di awal berdirinya Majapahit. Jember juga penting bagi Majapahit karena beberapa tempat mempunyai kaitan yang dalam. Sadeng, sebuah kota pelabuhan di selatan Jember pernah memberontak. Majapahit sampai harus mengirimkan tentara dengan jumlah sangat besar untuk memadamkan pemberontakan tersebut. Pasukan tentara yang sangat besar dipimpin oleh Gajah Mada.

Selain Sadeng, beberapa tempat menjadi lokasi kunjungan dari Raja Hayamwuruk (Rajasanegara). Zainollah mencoba merekonstruksi perjalanan Rajasanegara berdasarkan catatan Prapanca dalam Desawarnana. Meski banyak nama-nama desa yang disebutkan oleh Prapanca tidak bisa dikenali lagi, namun Zainollah menemukan bahwa Rajasanegara pertama kali menginjakkan kaki di wilayah Kabupaten Jember, yaitu di Desa Cakru, Kecamatan Kencong pada tanggal 18 September 1359. Tanggal inilah yang ia usulkan sebagai hari jadi Kabupaten Jember. Persitiwa kunjungan raja Majapahit ini begitu penting, sehingga seharusnya dipakai sebagai acuan penentuan hari jadi Jember (hal. 193). 

Zainollah juga membahas kondisi Jember (Blambangan) pasca Majapahit. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa Keraton Wetan (Blambangan) muncul di era akhir Majapahit. Perseteruan yang terus-menerus antara Keraton Barat (Trowulan) dengan Keraton Timur (Blambangan) dan munculnya kekuatan baru (Islam) di Jawa menyebabkan Majapahit semakin lemah. Salah satu perang besar yang berkontribusi kepada surutnya Majapahit adalah perang paregreg antara Keraton Barat dengan Keraton Timur.

Setelah surutnya Majapahit, Blambangan tetap berdiri sebagai kerajaan. Namun Blambangan terus-menerus dilanda peperangan. Serangan Bali dan Mataram silih berganti. Peperangan yang terus-menerus ini akhirnya melibatkan VOC yang dibawa oleh Mataram (hal. 267).

Dari sinilah awal mula kekuasaan VOC atas Jember. VOC kemudian mengembangkan perkebunan dan mencapai puncaknya saat era Tanam Paksa. Untuk membangun perkebunan, VOC mendatangkan pekerja dari Madura dan dari Jawa bagian barat.  VOC membuka banyak hutan untuk membangun perkebunan. VOC juga membangun berbagai infrastruktur, termasuk kota sebagai penunjang usaha perkebunan tersebut. Jalan raya antara Jember ke Panarukan (pelabuhan) dibangun untuk mengangkut hasil perkebunan. Pada tahun 1860-an Jember telah menjadi sebuah kota baru yang berbasis perkebunan (hal 38). Akhirnya pada tanggal 1 Januari 1929, Jember ditetapkan sebagai Regentschap atau kabupaten oleh Pemerintah Belanda.

Harus diakui bahwa Zainollah telah berupaya keras merekonstruksi Jember di jaman kuno. Upaya kerasnya telah menghasilkan sebuah gambaran bahwa Jember memiliki peran penting di jaman kuno. Namun dengan keterbatasan bahan yang ada, gambaran tersebut belumlah terang benderang. Masih dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut dan lebih tekun untuk membuat wajah kuno ujung timur Jawa menjadi lebih jelas.

Zainollah berhasil menunjukkan bahwa Jember sudah memiliki peran yang besar di jaman kuno dan pada masa Majapahit. Jember dan wilayah ujung timur Jawa mestinya diberi porsi yang lebih besar dalam penulisan sejarah Indonesia. Namun upayanya untuk mengusulkan tanggal 18 September sebagai hari jadi Jember tampaknya masih memerlukan upaya yang lebih keras. Zainollah kurang mengelaborasi pentingnya Desa Cakru yang dikunjungi oleh Rajasanegara, sehingga layak disebut sebagai cikal-bakal Jember. Ia juga kurang membahas mengapa kunjungan tersebut harus dijadikan tonggak berdirinya Jember. Mungkin Zainollah akan membahas kedua hal tersebut dalam buku berikutnya. Kita tunggu.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler