x

Iklan

Istigfaro Anjaz A

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

2014-2017: Pembelahan Indonesia

Apakah yang menjadi aspek kunci meningkatnya pembelahan masyarakat yang ada di tengah masyarakat Indonesia. Ditinjau dari aspek ekonomi, politik dan hukum.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari ini kita disuguhkan dengan pemandangan di depan mata yang membuat hati resah, Mengapa Indonesia menjadi begini?

Memasuki tahun 2014 hawa (situasi) politik di negara kita menjadi panas. Panasnya situasi ini terjadi dengan dimulainya kampanye Pilpres yang pada saat itu diikuti oleh dua calon presiden. Jokowi  vs Prabowo, Salam Dua Jari vs Garuda Merah. Saat itu masyarakat kita terbelah. Dan di Oktober 2014, Pak Jokowi, sah dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia.

Cerita berlanjut.  Tetapi panas belum mereda. Pembelahan itu masih ada.

Di tataran lembaga negara pada saat itu Relasi antara MPR-DPR-DPD dan Istana Negara cukup  memprihatinkan, lobi kelas atas dilakukan untuk berbagi kursi di tataran parlemen. Hingga akhirnya KMP yang berposisi sebagai oposisi menguasai parlemen, dan secara matematik saat itu KMP menang jumlah dibandingkan KIH di DPR.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ini jelas menyulitkan bagi seorang presiden dalam sistem pemerintahan presidensiil untuk meng-goal-kan agenda-agenda pemerintahan. Juan Linz dalam ‘the Perils of Presidentialism’ sudah mengingatkan jauh-jauh hari bahwa Efektivitas Pemerintahan dalam sistem presidensiil (relasi Presiden dan Parlemen)akan sulit dicapai,  apalagi jika dipadukan dengan sistem multipartai.

Atas situasi di atas, dimulailah pembelahan berikutnya. Bagaimana mengkocar-kacirkan Oposisi.

Partai Politik di KMP mulai dibelah, melalui dualisme kepemimpinan partai, cara yang tidak jauh berbeda dilakukan oleh Ali Moertopo di Masyumi dan PNI di awal orde baru. Muncul lah Golkar Munas Ancol vs Golkar Munas Bali, muncul juga PPP Kubu Djan Faridz vs PPP Kubu Rommy. Kedua partai tersebut diambang hidup dan mati, Pengurus Pusat hingga ranting terbelah. Dan kartu penentu ada di tangan pemerintah, “SK ‘sakti’ Menkumham”.  Permainan ini terbilang rapi, tapi berimplikasi kepada semakin terfragmentasinya masyarakat kita, bayangkan jika konflik partai itu terjadi hingga pengurus ranting di tingkat kecamatan, sudah berapa besar pembelahan masyarakat kita saat itu.

BENARKAH HANCURNYA BHINEKA ?

Hingga tahun 2016 pembelahan masyarakat semakin terasa. Puncaknya ketika saat dimulainya konstelasi Pilkada DKI. Banyak orang mengatakan Pilkada rasa Pilpres, 3 Grand Master Politik Indonesia turun gunung dari padepokannya di Cikeas-Teuku Umar-Hambalang.

Panasnya politik Indonesia semakin meruncing ketika Bapak Basuki Tjahaya Purnama/ Ahok memberikan pidato ‘blunder’nya di Kepulauan Seribu saat kunjungan kerjanya. Saat itu mulai dikenal adanya Si Penista agama. Masyarakat terbelah: Pro Ahok vs Kontra Ahok.

Sayangnya salah satu elemen pembelahan masyarakat yang terjadi melibatkan unsur ‘agama’, suatu unsur yang sangat sensitif di negara ini, bahkan pada saat para founding fathers kita ( para anggota BPUPKI dan PPKI) di bulan Mei hingga disahkannya konstitusi negara kita pada 18 Agustus 1945 , topik ‘agama’ menjadi bahan yang tiada habisnya di atas meja runding. Untungnya founding fathers kita merupakan negarawan, semua kepentingan dan golongan bisa dirangkul, karena mereka melakukannya dengan musyawarah, suatu cara yang sudah jarang digunakan hari ini.

Adanya unsur agama dalam pembelahan masyarakat ini paling tidak telah membenturkan Islam kepada pihak lain. Benturan dengan pihak lain inilah yang berimplikasi kepada pembelahan yang ada di dalam umat Islam di Indonesia. Umat Islam yang diibaratkan sebagai bangunan, seolah-olah sedang menghancurkan tembok rumahnya sendiri.

Pertanyaannya kini adalah “mengapa Indonesia terbelah, dan mengapa pembelahan itu semakin signifikan?”

Banyak orang cepat-cepat menyimpulkan bahwa “Indonesia sedang Darurat Kebhinekaan”, ‘Toleransi di Indonesia Rusak”. Paling tidak dua kata itu, Kebhinekaan dan Toleransi menjadi #trendingtopic di beberapa media baik televisi, medsos atau media cetak untuk memberikan label terhadap kondisi bangsa saat ini. Tapi, benarkah itu yang terjadi ? Apakah Kebhinekaan dan Toleransi bangsa kita sedang memburuk? Jika jawabannya iya lantas apa masalah utamanya? Dan, bagaimana mengobatinnya?

Saat sakit, kita seringkali hanya menyadari demam yang ada di tubuh kita, tapi kita lupa untuk mengidentifikasi penyebab utama demam itu yang biasanya disebabkan karena infeksi oleh virus tertentu.

Melemahnya Kebhinekaan adalah ‘demam’ ia tampil dan terasa di hadapan kita, tapi pembelahan masyarakat yang kian meruncing di Indonesia hakikatnya hanyalah akibat dari suatu hal. Dan untuk itu perlu dicari penyebabnya.

KETIMPANGAN DAN MASA DEPAN INDONESIA

Penyakit kronis negara kita saat ini adalah Ketimpangan/ Kesenjangan. Baik di lingkup ekonomi, hukum, pendidikan, sosial, politik dan budaya. Padahal jelas, hakikat tertinggi dari cita-cita terbentuknya Indonesia adalah untuk menghadirkan “keadilan sosial” bukan untuk satu ,dua atau sekelompok orang, tetapi “bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Faisal Basri dalam opinnya “Mendeteksi Akar Ekonomi dari Radikalisme dan Gejolak Sosial” memberikan ‘warning’ kepada pemerintah untuk segera sadar akan ketimpangan ekonomi yang terus terjadi dan berpotensi menjadi bom waktu yang bisa menghancur-leburkan pemerintah bahkan memporak porandakan negara.

Dalam konteks ekonomi, Faisal Basri menjelaskan dengan beberapa indikator:

1.Nisbah gini (gini ratio)

Pada Maret 2016, nisbah gini sudah turun di bawah 0,4 dari posisi sebelumnya 0,402. Nisbah gini antara 0,4 sampai 0,5 masuk kategori ketimpangan sedang, dan di atas 0,5 masuk kategori ketipangan buruk. Namun, perlu diingat, nisbah gini yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak mengukur tingkat ketimpangan pendapatan (income inequality) maupun ketimpangan kekayaan (wealth inequality). BPS menghitung nisbah gini hanya berdasarkan data pengeluaran yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

2. Distribusi Pengeluaran Kelompok Kaya dan non-kaya

Berdasarkan data yang dikeluarkan BPS, kelompok 20%  terkaya menyumbang 47 persen pengeluaran, sedangakan 40% termiskin hanya menyumbang 17 persen pengeluaran. Apabila merujuk  data Credit Suisse (lembaga keuangan Swiss) menyebutkan bahwa 43,9% kekayaan nasional Indonesia hanya dikuasai oleh 1% orang Indonesia. Apabila kelompok orang ini dinaikan jumlahnya menjadi 10% maka harta kekayaan mereka sejumlah 75,7% kekayaan nasional. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan konsentrasi kekayaan terburuk ke-4 setelah Rusia, India, dan Thailand.

3. Praktik Bisnis Kronisme (crony sectors) meningkat

Kelompok milyader Indonesia meraup dua pertiga kekayaan nasional yang dimungkinkan karena kedekatan dengan kekuasaan. Karena itu tak mengejutkan jika indeks kroni-kapitalisme Indonesia bertengger di peringkat ketujuh dunia. Posisi di tahun 2016 ini memburuk dibandingkan tahun 2014 di posisi 8 dan peringkat 18 pada 2007 lalu.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selalu didengungkan tertinggi ketiga di antara kelompok negara G-20 rupanya hanya dinikmati oleh top 1 persen atau setidaknya kelas menengah ke atas saja. Dan sama sekali tidak menguntungkan petani sebagai tumpuan terbesar rakyat Indonesia.

Pada aspek Hukum juga mengalami hal serupa. Apabila kita sudah bosan mendengar ungkapan “hukum hanya runcing ke bawah dan tumpul ke atas”, ternyata kalimat itu memang benar apa adanya.

DUNIA HUKUM, ADILKAH?

Menurut data yang dirilis oleh The World Justice Project (WJP) 2016, indikator terkait Civil Justice yang dinilai melalui beberapa faktor (akses kepada peradilan, peradilan yang bebas dari diskriminasi, peradilan yang bebas dari korupsi, peradilan yang  bebas dari intervensi pemerintah, dan efektivitas pada sistem peradilan) menempatkan Indonesia di peringkat 12 terburuk dunia dengan skor 0,43, berada di bawah Peru, Philipina, bahkan Zimbabwe yang memperoleh skor 0,46 atau Suriname yang memperoleh skor 0,51.

Dalam konteks penegakan hukum sebenarnya masih menjadi misteri, seringkali hukum menjadi alat kendali penguasa. Arah dan kemauan hukum yang harusnya menuju kepada keadilan harus diperkosa untuk kepentingan beberapa kelompok saja. Dari yang paling mudah ditinjau misalnya adalah bagaimana lembaga Kejaksaan RI yang diketuai oleh mantan anggota partai politik. Dan bagaimana lembaga superpower KPK dengan kewenangan melakukan penyadapan kepada semua orang tanpa perlu mekanisme izin bisa dipastikan untuk tidak mengkooptasi kewenangannya tersebut sehingga tidak menciptakan kondisi ‘corrupt absolutely’.

Kesenjangan dan ketimpangan yang terus melebar, tidak hanya menimbulkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat tetapi juga melanggengkan praktek kolonialisasi terhadap saudara bangsa sendiri. Jika dulu kita melawan asing yang menjajah langsung di tanah Indonesia, kini bisa jadi mereka cukup mengendalikan kelompok/ pihak tertentu yang tentunya bisa ‘dipegang’ di negara ini.

Apabila kita hanya fokus kepada masalah kebhinekaan sama saja kita membiarkan penyakit utamanya semakin akut.

Ibnu Khaldun mengingatkan bahwa pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui keadilan. Sedangkan keadilan merupakan standar penilaian keberhasilan penguasa dan penguasa dibebankan tanggungjawab untuk mewujudkan keadilan. Jika rasa keadilan semakin terusik maka harmoni sosial terganggu. Hal inilah yang berpotensi meningkatkan ketegangan sosial-politik.

Lebih baik stop berteriak untuk menuduh perusak kebhinekaan atau sebagai kelompok intoleran, karena dengan saling menuding justru akan semakin memperparah pembelahan masyarakat. Lebih baik kita fokus kepada masalah utama kesenjangan dan ketimpangan ini. Ikut berkontribusi sesuai kemampuan dan kapasitas di setiap lingkungan dengan porsi tanggugjawab masing-masing sembari ikut mengawasi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk mewujudkan keadilan.

Jika ditanya: mau dibawa kemanakah negara Indonesia ini?

Jawab saja semuanya termasuk kehidupan bernegara akan dibawa ke dalam kematian, karena semuanya berhakikat akan mati. Tapi yang terpenting adalah perbuatan apakah yang sudah kita siapkan untuk  menjadi bekal di alam sesudah ini, berkontribusi kepada negeri dan lakukan hal baik mulai dengan 3S, mulai dari yang SEDERHANA, mulai dari diri SENDIRI, dan mulai dari SEKARANG.

 

Referensi:

  1. Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism”, Journal of Democracy, Volume 1, Nomor 1, 1990.
  2. Marcus Mietzner, “Coercing Loyalty: Coalitional Presidentialism and Party Politics in Jokowi’s Indonesia”, Journal of International and Strategic Affairs, Volume 38, Nomor 2, Agustus 2016.
  3. Tim Penyusun Sekretariat Negara RI, 1995, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Jakarta.
  4. http://data.worldjusticeproject.org/
  5. http://m.katadata.co.id/opini/2017/01/11/mendeteksi-akar-ekonomi-dari-radikalisme-dan-gejolak-sosial.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Istigfaro Anjaz A lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu