x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Anak Muda yang Membunuh Kemanusiaan

Mengapa anak-anak muda harus berpulang karena ulah kawan-kawan sebayanya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Selamat tinggal yang paling menyakitkan adalah yang tak pernah terkatakan dan tak pernah terjelaskan.”

--Entah siapa

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

(Mengenang mahasiswa UII Muhammad Fadli, Syaits Asyam, dan Ilham Nurpady Listia Adi)

Saya pernah bergegas mengantar seorang saudara untuk memperoleh penanganan dokter. Saya menemukannya dalam keadaan kritis. Beberapa tahun terakhir ini ia sakit, dan ketika saya mengunjunginya ia sedang menderita. Ditangani dokter dan perawat, tekanan darahnya sukar sekali naik. “Saya mau pulang, tidak kuat, saya mau pulang..,” ujar saudara saya sembari menggenggam telapak tangan saya.

Beberapa jam kemudian ia berpulang—selamanya. Dokter sudah berupaya. Saya pun berpikir, saya sudah berusaha mengantarkannya secepat-cepatnya ke rumah sakit. Ajal tak bisa ditolak. Sang Pencipta sudah mengambil keputusan. Tetap saja, saya tidak mampu tidur nyenyak semalaman. Saraf-saraf otak saya berputar: “Andaikan saya datang lebih cepat, andaikan saya tahu lebih awal kondisinya menurun drastis, andaikan....”

Mengingat pengalaman itu, entah apa yang dapat saya pikirkan bila seseorang menemui kematian dalam keadaan mengenaskan karena kekerasan—terluka tubuhnya, retak dan patah tulangnya, dan kita punya kontribusi di dalam peristiwa yang berujung kematian ini; untuk alasan apapun. Terlebih lagi, bila itu terjadi ketika saya muda dan mereka yang menemui kematian itu sedikit lebih muda dibanding saya. Anak-anak muda sebaya.

Bagaimana mungkin saya dapat melakukannya? Tidak sengaja? Tanpa niat, sebab kematian terjadi dalam rangka pelatihan fisik dan mental? Tidak punya pengetahuan tentang batas-batas ketahanan tubuh manusia? Entahlah, mungkin saya berusaha menemukan pembenaran.

Saya, sangat mungkin, bakal dibayang-bayangi pikiran bahwa saya telah mematikan cita-cita anak muda sebaya saya, bahwa saya telah membunuh masa depannya. Ia mungkin bercita-cita untuk dapat bersekolah hingga jenjang tertinggi di perguruan terkemuka. Ia niscaya ingin membuat orangtuanya bangga, bahagia, juga sejahtera.

Bukan, bahkan bukan hanya membunuh masa depannya, tapi saya juga menghentikan aliran genetis yang diwariskan orangtuanya, menghempaskan keceriaan kakak dan adiknya--bila ada, memutus persahabatan yang hidup bersama teman-temannya. Kematian memutus seketika jejaring sosial dengan siapapun. Seketika dan tiba-tiba. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Saya berusaha membantah, tapi faktanya itulah yang terjadi, dan sudah terjadi.

Mungkin, saya lantas becermin dan bertanya-tanya. Ketika saya secara sadar berkontribusi dalam peristiwa yang membuka jalan bagi kematian seseorang, tidakkah saya telah membunuh kemanusiaan? Bukan hanya kemanusiaan yang universal, tapi juga kemanusiaan dalam diri saya sendiri? Bukankah dengan melakukan hal itu, saya telah melucuti rasa empati dan belas kasih kepada sesama makhluk, melucuti penghargaan terhadap hidup dan kehidupan, dan melucuti semua atribut yang melekat dalam diri saya sebagai manusia?

Satu jiwa lebih dari cukup untuk pelampiasan hasrat akan kekerasan. Mereka bertiga berpulang. Bertiga... **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler