x

Iklan

Amirudin Mahmud

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kenapa Kita Lebih Primitif?

Kalau Arab Saudi saja sedang melakukan modernisasi, kenapa kita justru berbalik. Lebih primitif?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kunjungan raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz Al Saud ke tanah air menarik perhatian guna memahami lebih jauh tentang wahabisme. Seperti diketahui, Arab Saudi adalah negara asal faham (baca:madzhab) Wahabi. Wahabi menjadi madzhab resmi negara tersebut sejak didirikan. Pasalnya, pendirian kerajaan Saudi pada tahun 1932 tak lepas dari campur tangan Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri madzhab Wahabi. Sebelum kedatangan sang raja, di Indonesia pergulatan kaum radikal yang disinyalir beraroma Wahabisme sedang bereforia. Pilkada DKI Jakarta yang melibatkan Basuki Tjahja Purnama atau Ahok dimanfaatkan untuk mempengaruhi umat Islam  yang lain dalam memaksakan kehendak terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan sang Gubernur.

Wahabisme adalah sebuah gerakan keagamaan dari Islam. Gerakan ini dikembangkan oleh seorang theolog Muslim abad ke-18 yang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab dari NajdArab Saudi, yang bertujuan untuk membersihkan dan menyempurnakan ajaran Islam kepada ajaran yang sesungguhnya berdasarkan Qur'an dan hadis dari "ketidakmurnian" seperti praktik-praktik bid'ah, syirik dan khurafat. Wahhabisme adalah bentuk dominan dari Islam di Arab Saudi. Wahhabi telah mengembangkan pengaruh yang cukup besar di dunia Muslim. 

Maka tak berlebihan jika kekhawatiran muncul, raja Salman akan mempromosikan, memberi angin segar terhadap gerakan Wahabisme di Indonesia.  Nampaknya apa yang dikhawatirkan tak terbukti. Raja Salman lebih akomodatif dalam bersikap dan bertindak. Salman menghargai keragaman Indonesia. Raja  tak merasa keberatan disambut, bersalaman dengan Ahok yang sebelumnya dianggap kafir, penista agama. Sang penguasa kedua kota suci tersebut bahkan sempat mengadakan dialog dengan tokoh lintas agama. Juga berlibur ke Bali.  Saat di masjid Istiqlal, praktek keagamaan sang raja pun tak banyak perbedaan dengan mayoritas umat Islam Indonesia.

Menurut Sumato Al Qurtubi, dosen Antropologi Budaya dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi,  sebenarnya bangsa Arab sedang melakukan perubahan besar ke arah yang lebih modern. Justru aneh dengan kaum radikal yang berafeliasi ke Wahabi yang ada di Indonesia. Mereka, kenapa menjadi lebih primitif?  Menurutnya, sejumlah fenomena perubahan sosio-kultural di Arab Saudi dewasa ini cukup kontras dengan dinamika perkembangan di Indonesia belakangan ini, khususnya sejak lengsernya Presiden Suharto dari kursi kepresidenan. Sejumlah kelompok Islam di Indonesia bukannya menjadi lebih modern, progresif, toleran, dan damai tetapi justru semakin "kolot”, konservatif, intoleran, dan keras.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wajah ke-Islaman di Indonesia dewasa ini, khususnya di Jakarta dan beberapa kawasan urban, dipenuhi dengan munculnya berbagai ormas Islam ekstrim yang serba anti dengan minoritas agama: Syiah, Ahmadiyah, non-Muslim, dan berbagai sekte agama lain, termasuk agama-agama dan kepercayaan lokal.  Sejumlah aksi kekerasan, verbal maupun fisik, yang dilakukan oleh sejumlah kelompok Islam atas kaum minoritas beserta properti keagamaan mereka juga menjamur di berbagai daerah. "Polisi Syariat” yang sudah dipreteli wewenangnya di Arab Saudi malah berkembang biak di Indonesia, bukan hanya di Aceh saja tetapi juga di berbagai daerah di Jawa Barat, Banten, dan lainnya.

Sejumlah massa dan kelompok sipil yang mengatasnamakan agama dan umat Islam juga bertebaran di sejumlah daerah. Mereka begitu gagah dan "pede”-nya mengaku sebagai "asisten Tuhan” untuk memusnahkan apa yang mereka anggap dan yakini sebagai "kemaksiatan” dan "kemungkaran”. Fenomena "kekerasan kolektif” yang diprakarsai oleh sejumlah ormas Islam Indonesia seperti itu tak ditemukan di Arab Saudi yang memang melarang keras warganya untuk melakukan tindakan kekerasan komunal.

Berbagai elemen ormas Islam dan tokoh-tokoh Muslim juga bereuforia dengan "simbol-simbol keislaman” klasik, termasuk simbol-simbol kebudayaan Arab zaman dulu yang kini sudah ditinggalkan oleh masyarakat Arab sendiri. Misalnya berpakain, dulu tradisi berpakaian di Arab sangat "tradisional”. Yang laki-laki mengenakan jubah putih panjang (thaub) lengkap dengan kain penutup kepala yang dilengkapi dengan pedang seperti penggunaan keris untuk pelengkap busana bagi orang Jawa jaman dulu. Desain jubah dan penutup kepala ini bermacam-macam. Masing-masing daerah dan suku di Arab Saudi memilki adat dan tata-cara berbusana yang berlainan. Tapi sekarang pemandangan ini sudah susah didapat, kecuali di perkampungan atau di daerah pinggiran yang belum terjamah oleh globalisasi dan modernisasi. Masyarakat laki-laki Saudi, khususnya generasi tua, sekarang lebih suka mengenakan "jubah nasional” ketimbang "jubah suku” mereka. Sementara kalangan mudanya lebih memilih pakaian kasual seperti jeans, kaos, kemeja, "katok-kolor” alias celana training, dlsb. Demikian dengan kaum perempuannya, fashion mereka telah mengiblat ke negera-negara barat.

 Di Indonesia,  sejumlah umat Islam, khususnya kaum Muslim kota, bereuforia dengan Bahasa Arab yang menurut mereka sebagai "bahasa agamis” dan "bahasa surga” seraya "mengkafirkan” Bahasa Inggris. Padahal di Saudi sendiri (dan juga kawasan Arab Teluk lain), penggunaan Bahasa Inggris kini telah berkembang pesat, bukan hanya di dunia pendidikan saja tetapi juga di sektor bisnis-perekonomian dan komunikasi sehari-hari. Aneh bukan?

Apakah berbagai fenomena sosial-kultural yang cukup kontras terjadi di kedua negara berpenduduk mayoritas Muslim ini menunjukkan bahwa masyarakat Islam Saudi kini telah bergeliat menuju "umat modern”, sementara (sebagian) kaum Muslim Indonesia justru sedang bereuforia menjadi "masyarakat klasik” dan bahkan "komunitas primitif” --khususnya mereka yang hobi melakukan tindakan barbar dan kekerasan?

Penjelasan  di atas sebaiknya dijadikan pembelajaran untuk kita semua, umat Islam. Pertama, perbedaan pemahaman tentang Islam adalah rahmat. Sebab itu, sepantasnya kita saling menghargai, menyayangi. Tak perlu ada permusuhan. Kembangkan dialog, hindari pemaksaan kehendak. Indonesia negara majemuk. Anda silahkan berpendapat apa saja, mengikuti madzhab apa pun. Tapi ingat, ada yang berbeda dengan anda. Maka hormatilah.

Kedua, menghindari kekerasan. Kekerasan adalah ciri keterbelakangan. Menyelesaikan dengan kekerasan berarti mengabaikan akal pikiran yang menjadi ciri masyarakat modern dan maju. Apa kita mau kembali ke zaman barbar?

Ketiga, sebaiknya kita membuka diri dengan segala perkembangan yang ada. Namun demikian, jati diri wajib dijaga dan dikedepankan. Di sini, keteguhan hati dan ketegasan dalam memegang prinsip hidup akan diuji. Sebagai bangsa berkarakter kuat sepantasnya dapat menunjukkan kebesaran kita pada dunia luar.

Akhir kata, jika raja Salman saja bisa bersikap akomodatif terhadap keberagaman, kemajemukan dan perbedaan baik agama, ras dan suku bangsa yang ada di Indonesia, sebagai anak bangsa  pasti kita lebih bisa. Bukan begitu logikanya?Wa Allahu Alam

 

 

Ikuti tulisan menarik Amirudin Mahmud lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler