Indonesia Kehilangan Narasi, Storyteller, dan Pemimpin Tercerahkan

Sabtu, 20 Juli 2024 15:12 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
kepemimpinan
Iklan

Indonesia adalah negara besar, apakah itu sekedar narasi tanpa ada bukti kongkrit?

Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Untuk mengilhami kemerdekaan tersebut membutuhkan berbagai perjuangan seperti pertumpahan darah dan diplomasi. Kemerdekaan dipandang sebagai upaya untuk terlepas dari belenggu kolonialisme dan Imprealisme, baik itu dijajah oleh negara lain dan negara sendiri.

Banyak tokoh-tokoh penting yang mengisi perjuangan kemerdekaan, seperti Sutan Syahrir, Soekarno, Bung Hatta, Agus Salim dan pahlawan lainya. Dengan kepiawaian, kekuatan logika, bahasa, dan orasi, serta gagasan nan mengguncang dunia. Bagaimana para pahlawan menciptakan Indonesia sebagai gudangnya gagasan seperti koperasi untuk kesejahteraan rakyat dan sebagai lawan tanding kapitalisme. Bagaimana pula Sutan Syahrir mampu berdiplomasi di panggung dunia untuk menghalau penjajah dari Bumi Pertiwi, dan bagaimana Soekarno mengguncangkan dunia dengan pidatonya dengan judul (To Build the World A New) dalam artian membangun dunia kembali,

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Asbabun nuzul pidato ini adalah karena bangkitnya kemerdekaan negara Asia-Afrika, sebagai bentuk perlawanan terhadap imprealisme dan kolonialisme serta mengajak dunia untuk mengadopsi Pancasila sebagai ideologi internasional. Dan lebih kongritnya Soekarno menggagas pesta olah raga tandingan yang kita kenal dengan sebutan Ganefo. Pesta olah raga ini adalah jalan solidaritas negara berkembang yang baru merdeka serta mempererat hubungan dengan negara-negara tersebut.

Langkah itu adalah ikhtiar memperjuangkan hak-hak negara berkembang yang baru merdeka ditengah ketegangan dua blok ekstrimis nan menyebarkan ideologi saling bertentangan satu sama lain, antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang saling kedinginan menyebarkan pengaruh untuk mendapatkan legitimasi ideologi terhadap negara-negara dunia. Tidak hanya sampai disitu, jangan lupakan Gerakan non-blok sebagai upaya untuk tidak berpihak kepada salah satu blok. 'Pun dapat kita tengok ASEAN juga digagas oleh Indonesia.

Semua coretan diatas tidak lain tidak bukan hanya untuk membendung dan menentang imprealisme dan kolonialisme. Maka dapat dipahami indonesia adalah tempat gudangnya gagasan, yang sama-sama dirasakan oleh dunia dalam arena pencaturan geopolitik global, semua kebanggaan itu tidak terlepas dari narator dan storyteller. Namun, pertanyaan sekarang apakah kita kehilangan itu semua di era modernitas ini?. Iya. pertanyaan itu sempat hadir dipikiran penulis spirit itu sudah luluh lantak di makan oleh system yang jauh dari kata baik. Kenapa itu terjadi? Dan Bagaimana itu terjadi?

Di era modernitas ini seperti Al, media sosial ini kita terus disuguhkan berbagai algoritma yang menghantam cara pandang kita terhadap dunia, hegemoni algoritma menyampaikan informasi yang dapat mematikan akal, dan meluapkan emosi serta mempengaruhi psikologis. Bahwa viralitas penentu kebenaran, kebenaran yang diperkosa oleh algoritma cenderung mendapatkan respons ke fomo-an dari ruang public, kemudian mengikuti arus, dan tergerus kepada pseudo-truth. Seperti kasus misinformasi Covid-19 yang memenuhi jagad maya melahirkan anti-saintific dikalangan masyarakat.

Anti Intelektualitas ini merupakan wabah penyakit berbahaya bagi suatu negara. Anti intelektualitas dapat dipandang sebagai anti-pendidikan yang merebak di pikiran masyarakat Indonesia, meskipun ada masyarakat mempunyai pikiran mendalam, dapat mencegah dan membongkar mis infomasi yang semerawut. Tapi kebanyakan masyarakat terjebak oleh fenomena tersebut

Di kasus yang lain, seperti pada Pemilu 2024, disuguhkan teks gemoy oleh netizen di amplifikasi ke dalam kampanye untuk menarik atensi dalam upaya strategi meraut suara. Banyak dari masyarakat dan juga memanfaatkan algoritma sebagai tools kampanyenya dan memasang nilai tambah seperti “joget” yang membuat masyarakat kebanyakan terpedaya.

Terlebih lagi kita melihat bagaimana peran elite politik di dalam hegemoni media sosial, untuk melanggengkan kekuasaan. Hal ini sudah terjadi pada waktu zaman kuno munggunakan startegi ini. Bukan dengan kendaraan modernitas, tapi cara yang kuno, mengarah kepada opini publik dan propaganda dalam rangka operasi militer tanpa berperang. Ini dikenal dengan PsyOps. Strategi ini telah menjadi bagian inti dari dari perperangan dan diplomasi seperti karya Sun Tzu The Art of War digunakan untuk merebut hati dan pikiran rakyat dalam konteks perang urat syaraf.

Itu dilakukan dalam upaya melamahkan mental ideologis musuh. Tapi mental seperti ini dapat ikut serta melakukan antagonisasi universitas. Ini seperti mengatakan gerakan kampus adalah partisan dan hanya berisikan teori, teori, dan teori. Hal yang paling ditakutkan bagi penulis adalah masyarakat menjadi antagonisme universitas, anti-teori tidak bisa melihat logika dan system berpikir dari pemimpin bangsa, mana yang benar dan mana yang salah. Mereka terjerat kepada dogmatisme. Istilah ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang bersifat absolutisme tanpa bantahan dan tanda tanya mengagungkan seseorang tanpa berpikir panjang dan kritis, karena diperkosa oleh algoritma. Ini virus yang berbahaya bagi peradaban. Solusi dari permasalahan ini adalah kaum intelektual harus melakukan intelektualisasi di lingkungan masyarakat dan media sosial yang sangat rentan terkena serangan itu.

Padahal seharunya masyarakat sadar bahwa pemimpin itu orang yang harus melakukan intelektualisasi bukan populis yang melemahkan mental ideologis masyarakat. Jika kita tida mau berpikir, memikirkan atau bahkan intelektualisme maka, kita harus menerima dan keterpurukan nasip, terus tertinggal dan termarjinalkan dari panggung sejarah dunia. Dengan seorang berpengetahuan luas, pemimpin itu dapat dipastikan, pemimpin yang bisa merumuskan kerangka konseptual dan gagasan secara mandalam untuk bisa membawa dunia bagaimana seharusnya, berpidato di kancah dunia kembali, seperti yang dilakukan oleh para pahlawan dulunya. Karena gagasan itu bukan sekedar kerja, kerja, dan kerja, sehingga kebijakan menjadi latah. Karena gagasan itu harus di narasikan, diceritakan (Storytelling), dan divisualisasikan, karena pemimpin itu harus bercerita untuk menghasilkan cerita yang bagus, maka StoryTeller perlu banyak membaca, membaca disini bukan sekedar baca buku, tapi juga bisa alam dan lingkungan, sehingga memberikan pemahaman dan meluaskan imajinasi agar gagasan itu tidak hanya pada waktu ia menjabat, melainkan berasa (Aftertaste) dan Warisan (Legacy) dapat diwujudkan nan berguna bagi generasi yang akan mendatang. Secara tidak langsung pemimpin tercerahkan hadir sebagai akibat dari pemimpin yang mempunyai pengetahuan luas dan memiliki kebajikan moral.

Indonesia merupakan negara besar, semakin narasi nya besar, maka semakin itu pula tanggung jawabnya, tapi, apakah kita sudah meng-ejawantahkan narasi tersebut dengan jelmaan gagasan yang mendalam, gagasan yang mendalam, kemudian di ceritakan untuk menuntun dunia kembali bagaimana seharusnya atau narasi tersebut hanya sekedar narasi?. Mungkin tulisan ini menjadi kajian untuk pemimpin terpilih hari ini dan pemimpin yang akan datang,

Kesimpulan

Kemerdekaan dapat dipandang sebagai terbebas dari belenggu imprealisme dan kolonialisme, untuk melahirkan kebebasan itu dengan upaya pertumpahan darah dan diplomasi, banyak pahlawan seperti Sutan Syahrir, Bung Hatta, dan Soekarno serta pahlawan lainya. Dengan kepiawaian, logika, diplomasi, Orasi yang mampu menggoyang dunia, kehebatan tersebut tidak datang kapada pemimpin yang hanya bermodalkan kerja, kerja, dan kerja serta pemimpin populisme miskin gagasan dengan modal memeras emosi dan melemahkan mental ideologis, tapi pemimpin yang berwawasan luas yang mampu merumuskan kerangka konseptual dan gagasan secara mendalam dengan cara ber-Narasi dan Storyteliing untuk menciptakan dunia lebih baik.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Robbi Herfandi

Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Andalas

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler