x

Dua peserta mengenakan topeng unik saat berpartisipasi dalam Pride in London Parade di Inggris, 8 Juli 2017. Acara ini juga disebut sebagai salah satu acara parade kaum LGBT terbesar di dunia. AP Photo/Frank Augstein

Iklan

Fanny

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

LGBT, Fenomena Sosial atau Bukan?

Artikel ini menjelaskan mengenai keadaan LGBT di Indonesia, baik dari kasus-kasus yang ada, kontroversi, hak hak dan penjelasan dari ahli-ahli.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

LGBT adalah singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual dan transgender. Istilah ini telah digunakan sejak tahun 1990an menggantikan frasa komunitas gay. Lesbian merupakan istilah umum yang digunakan untuk perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan, atau perempuan yang mencintai perempuan baik itu secara fisik, seksual, atau emosional. Gay atau homo adalah istilah untuk menyebut lelaki yang memiliki kecenderungan seksual kepada sesama pria. Biseksual adalah istilah untuk seorang penyuka sesama jenis atau lawan jenisnya. Transgender adalah orang yang cara berprilaku atau penampilannya tidak sesuai dengan peran gender pada umumnya, bahkan mereka bisa mengganti jenis kelaminnya, seperti pria mengubah jenis kelaminnya menjadi wanita atau sebaliknya. 

 

Homosexualitas di Indonesia pada umumnya masih dianggap tabu oleh masyarakart maupun pemerintah. Diskusi publik mengenai homoseksualitas sangatlah terbatas dan jarang dibahas secara terbuka. Meskipun sebenarnya komunitas LGBT di Indonesia sudah mendapat status legal dari kementrian hukum dan HAM sejak tahun 2013, namun pemerintah tidak menyarankan mencantumkan isu LGBT di akta notaris. Maka ketika membicarakan mengenai hak hak dasar warga negara, komunitas LGBT banyak menemukan kesulitan dan benturan sosial. Terlebih lagi jika kita melihat adat istiadat di Indonesia dan masyarakat yang berpegang teguh kepada doktrin keagamaan yang konservatif. Kaum LGBT seringkali dianggap sebagai perusak agama dan penyebab turunnya azab Tuhan, jika mereka tetap menyuarakan hak hak dasar komunitas kaum LGBT. Maka dari itu, tidak sedikit masyarakat  yang membenci, menolak, takut, merasa jijik, bahkan mengucilkan dan menjauhi orang-orang LGBT. Fenomena ini membuktikan dengan jelas bahwa masyarakat Indonesia sulit memberikan ruang untuk pemenuhan hak hak kelompok LGBT ini sebagai bagian dari warga negara Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Tetapi tetap saja, bagi PBB (Perserikatan Bangsa–Bangsa) Indonesia telah melanggar hak asasi manusia dengan memperlakukan kaum LGBT layaknya penjahat atau pelaku makar. Meskipun apa yang dihadapi oleh kaum LGBT di Indonesia masih lebih baik jika dibandingkan dengan nasib kaum LGBT di Azerbaijan dan Mesir. Dikedua negara itu, kaum LGBT memiliki nasib yang lebih buruk. Mereka harus menghadapi penyiksaan, kekerasan, bahkan sampai diestrum dan lainnya. 

 

Kasus LGBT di Indonesia

Berikut ini adalah beberapa contoh kasus LGBT di Indonesia, yang bahkan beberapa diantaranya kerap disorot oleh negara lain

Kasus Hukum cambuk pasangan gay di Aceh

Pada tahun 2017 kemarin, terdakwa pasangan gay berinisial MH (20) dan pasangannya, MT (24), menjalani 80 kali hukuman cambuk di depan umum. Pasangan itu didakwa melanggar Pasal 63 ayat 1 juncto Pasal 1 angka 28 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 mengenai hukum jinayah yang berbunyi, "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan liwath diancam hukuman paling banyak 100 kali cambuk atau denda paling banyak 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan." 

Kasat Pol PP dan WH Kota Banda Aceh, Yusnardi, menyatakan kasus liwath atau hubungan sesama jenis itu baru pertama kali ditemukan setelah Qanun (Peraturan Daerah di Aceh) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah mulai berlaku.

Kejadian ini disorot media asal Inggris BBC. Mereka menulis artikel berjudul 'No place to hide for LGBT people in Indonesia's Aceh province' untuk membahas kejadian tersebut. 

Kasus Pernikahan Gay di Bali

Pada September 2015, warga Bali dihebohkan dengan pernikahan pasangan dua pria dengan beda warga negara di sebuah hotel di daerah Ubud Kabupaten Gianyar, Bali. Pernikahan itu dihadiri seorang pemangku (pemimpin upacara agama Hindu) dan dihadiri oleh kedua orang tua salah satu mempelai pasangan sejenis itu. 

Ulah pasangan ini membuat Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, naik pitam. Made Mangku menegaskan bahwa hal itu sangat dilarang, apalagi menurut agama Hindu. "Ndak boleh itu, di mana itu. Menurut agama Hindu sangat dilarang itu. Makannya pingin tahu dimana persisnya lalu kita tegur. Kita sampaikan ke Majelis Desa Pakraman atau Majelis Desa Madya. Saya kira itu benar-benar satu aib lagi," tegas Made Mangku.

Berita ini mengundang kontroversi bagi pemberitaan dari media asing. Salah satunya berasal dari Australia, News.com.au. Dalam satu artikelnya, media ini menuliskan judul 'Controversy after gay marriage wedding in Bali' sebagai tajuk pemberitaannya. Dituliskan dalam artikel itu, kemungkinan besar pasangan itu berasal dari Amerika Serikat dan Indonesia.

Penggerebekan pesta gay di Jakarta 

Pada tahun 2017, terjadi penggerebekan heboh pesta gay di Jakarta. Penggerebekan 141 pria diduga homoseksual, di ruko yang diduga sebagai lokasi pesta seks gay di Kelapa Gading, Jakarta Utara menjadi sorotan dunia.

Media asing dari beberapa negara turut menyoroti peristiwa tersebut. Dari Asia, Media Singapura, New Straits Times, menulis artikel tersebut dengan judul 'Indonesian police arrest 141 men in Jakarta over 'gay party'   Dari Australia, ABC News, melaporkan insiden itu dengan 'Indonesia police arrest dozens in raid on Jakarta gay sauna'. Media Amerika Serikat, New York Times, mengutip media ini dengan judul 'Indonesia Police Arrest 141 Men Accused of Having Gay Sex Party' . BBC, dalam artikel berjudul 'Indonesian police arrest 141 men over 'gay sex party', mengupas berita ini, termasuk biaya Rp 185 ribu yang harus dibayar para pengunjung -- yang juga datang dari Singapura dan Inggris. Sedangkan media Inggris lainnya, The Guardian, memuat artikel 'Indonesian police arrest more than 140 men at alleged gay sauna party'.

Selain 3 kasus tersebut, masih banyak sekali kasus – kasus gay di Indonesia seperti kasus bullying, diskriminasi, dan lain lain.

 

Juru bicara Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Swiss, Rupert Colville, menyatakan hukum di Indonesia tidak adil karena para pelaku LGBT yang ditangkap tidak terlibat tindak kejahatan apapun. Menurut Colville, kaum LGBT di Indonesia ditangkap hanya karena orientasi seksualnya dan dijerat dengan undang - undang antipornografi yang selalu digunakan untuk menjerat penyuka sesama jenis. Colville menegaskan memperlakukan pelaku LGBT seperti penjahat hanya karena orientasi seksualnya atau gender melanggar hukum internasional. Menurutnya, itu sama saja merendahkan martabat mereka sebagai manusia, pemaksaan menjalani pemeriksaan medis juga merupakan bentuk perlakuan kejam dan tidak manusiawi, apalagi mereka selalu dituduh terlibat pelacuran, yang dalam kenyataannya tidak terbukti. 

Pada Juni 2017, bersama sekitar 12 badan PBB, PBB sudah menyatakan supaya mengakhiri diskriminasi terhadap penyuka sesama jenis, baik dari sisi kesehatan dan aturan hukum. 

Bersama itu, Indonesia secara resmi menerima dua rekomendasi Dewan HAM PBB untuk menjamin kebebasan berpendapat dan berserikat bagi "semua pegiat Hak Asasi Manusia," termasuk aktivis LGBT. Meski pada awalnya pemerintah berniat menolak semua rekomendasi terkait catatan pelanggaran HAM. Namun kini Indonesia berkomitmen akan mengambil langkah hukum terhadap ujaran kebencian dan tindak kekerasan terhadap pegiat HAM dan mencabut peraturan yang berpotensi diskriminatif terhadap kaum LGBT. Meski begitu, pemerintah tetap menolak desakan untuk menggugurkan peraturan daerah yang mendiskriminasi kelompok LGBT. 

Ajuan uji materi

Pada tahun 2016, Guru Besar IPB Euis Sunarti bersama sejumlah pihak dengan mayoritas ibu-ibu mengajukan gugatan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur soal kejahatan terhadap kesusilaan. Adapun tiga pasal yang digugat adalah Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292.

Dalam Pasal 284 KUHP, pemohon mengatakan cakupan seluruh arti kata "zina" hanya terbatas bila salah satu pasangan atau keduanya terikat dalam hubungan pernikahan. Padahal, pasangan yang tidak terikat pernikahan juga bisa dikatakan zina.

Adapun untuk Pasal 285 KUHP, pemohon juga meminta perluasan makna perkosaan bukan hanya dilakukan pelaku terhadap wanita, tetapi juga kepada pria.

Kemudian Pasal 292, pemohon meminta para pelaku seks menyimpang atau dalam hal ini LGBT, diminta jangan hanya dibatasi oleh orang dewasa.

Namun permohonan ajuan uji materi ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 14 Desember 2017 kemarin. Hakim MK memandang pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum.

Meski demikian, MK juga menegaskan putusan yang diambil ini bukan berarti mendukung pelegalan keberadaan hubungan sesama jenis di Indonesia.  Tetapi menurut MK, menambah frasa atau norma baru bukanlah kewenangan MK melainkan kewenangan pembentuk UU yakni presiden dan DPR. 

Putusan MK ini menuai beragam reaksi, pro dan kontra dari berbagai pihak, Mulai dari pemuka agama, akademisi, ahli kejiwaan, ahli sosial, dan masyarakat. Sebagian berpendapat, LGBT muncul karena penyimpangan yang berakar dari masalah sosial, ada pula yang menganggap orientasi dan perilaku itu sebagai kutukan Tuhan. Pandangan lain juga mengatakan kondisi itu sebagai takdir karena sudah terjadi sejak lahir.

Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin menilai putusan Mahkamah Konstitusi soal LGBT harus dihormati semua pihak. Sekalipun semua agama tidak menyetujui sikap dan perilaku yang berkaitan dengan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).  Lukman juga mengajak masyarakat sebagai umat beragama untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar. Bukan dijauhi atau dikucilkan.

Lalu bagaimanakah penjelasan fenomena lgbt menurut para ahli?

APA (Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat)

Pada tahun 2016 lalu, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mendapatkan surat dari APA untuk mempertimbangkan ulang kebijakan bahwa homoseksualitas masuk dalam kategori masalah kejiwaan. 

Dalam laman resmi APA, Saul M Levin selaku direktur asosiasi tersebut, menulis bahwa posisi PDSKJI yang mengategorikan homoseksualitas sebagai masalah kejiwaan merupakan pelabelan yang salah dan telah dibantah oleh sejumlah bukti-bukti ilmiah. Levin mengatakan bahwa ada komponen biologis yang kuat pada orientasi seksual dan itu bisa dipengaruhi interaksi genetik, hormon, dan faktor-faktor lingkungan.

Oleh karena itu,menurutnya, upaya untuk mengubah orientasi seksual seseorang melalui ‘terapi konversi’ bisa dan kerap membahayakan. Berbagai risiko yang terkait dengan ‘terapi konversi’ mencakup depresi, kecenderungan bunuh diri, kecemasan, mengurung diri, dan penurunan kemampuan akrab dengan orang lain.

Atas alasan-alasan itu, menurut Levin, pedoman diagnosa dan statistik untuk masalah kejiwaan (DSM) yang dimiliki APA tidak mengategorikan kaum LGBT sebagai orang yang bermasalah dengan kejiwaan.

PDSKJI(Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia)

Ketua PDSKJI, Dr Danardi Sosrosumihardjo, SpKJ(K), menegaskan sikap perhimpunan yang dia pimpin sejalan dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang membagi dua pengelompokkan, yakni Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). ODMK memiliki risiko mengalami gangguan jiwa, sedangkan ODGJ sedang mengalami gangguan jiwa.

Dr Danardi mengatakan, menurut buku pedomannya yang mengacu pada Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III), lesbian, gay dan biseksual termasuk dalam kelompok ODMK, sedangkan transgender masuk dalam kelompok ODGJ. Kaum lesbian, gay, dan biseksual masuk dalam kelompok ODMK untuk diklasifikasi gangguan psikologis macam apa yang mereka alami, bukan untuk menangani orientasi seksual mereka. Gejala perilaku itu bisa terjadi dari berbagai hal, seperti aspek biologi, aspek psikologi, atau aspek sosialnya. Dr Danardi mengaku tidak memberikan terapi kepada seorang yang penyuka sesama jenis untuk mengubah orientasinya menjadi penyuka lawan jenis.

Ahli Neurologi, dr. Ryu Hasan sebelumnya mengatakan lesbian, gay, dan biseksual bukanlah penyakit dan bukanlah gangguan sampai orang tersebut merasa tidak nyaman. Jika orang tersebut mulai merasa tidak nyaman, barulah dilakukan terapi. 

Lalu, sesungguhnya apa sih yang menyebabkan seseorang mengalami penyimpangan seksual?

Banyak pelaku homoseksual yang merasa diri mereka tidak normal dan berbeda dari masyarakat sekitarnya. Mereka sendiri merasa bahwa hal ini harus segera dihentikan dan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.

Secara teoretis, sosiolog Erving Goffman mengatakan, stigma terhadap seseorang atau sekelompok orang bisa mengubah secara radikal konsep diri dan identitas sosial mereka. Stigmatisasi yang berkepanjangan akan membuat mereka mengalami gangguan mental (mental illnes). Akibatnya, mereka akan terus melakukan perilaku yang dianggap menyimpang itu. Teori itu menunjukkan LGBT muncul lebih karena suatu dampak sosial. Masa lalu orang-orang yang menyukai sesama jenis bisa dikatakan menjadi faktor utama yang membuat mereka mengalami perbedaan orientasi seksual dibandingkan masyarakat umum, misalnya ketika seorang anak laki-laki pernah mengalami pengalaman traumatis dengan ibunya, sehingga timbul kebencian/antipati terhadap wanita, muncullah dorongan seks yang jadi menetap, begitu juga sebaliknya dengan wanita. 

Selain itu, beberapa faktor lainnya yang bisa menyebabkan seseorang mengalami penyimpangan seksual ini diantaranya adalah akibat dari :

  • Faktor herediter, berupa ketidaksimbangan hormon-hormon seks.
  • Pengaruh lingkungan yang tidak baik/tidak menguntungkan bagi perkembangan kematangan seksual yang normal
  • Seseorang yang selalu mencari kepuasan relasi homoseks, karena ia pernah menghayati pengalaman homoseksual yang menggairahkan pada masa remajanya

Lalu bagaimanakah cara mengatasinya?

Penyimpangan seksual ini memang sangat sulit diubah, untuk mengubahnya memang dibutuhkan keiinginan dari diri sendiri. Namun kita sebagai masyarakat heteroseksual jangan malah mendiskriminasikan atau bahkan melakukan kekerasan terhadap kaum LGBT, yang justru akan membuat mereka membentuk kelompok sendiri yang tertutup. Yang harus kita lakukan justru adalah menunjukkan kepedulian kita terhadap mereka, mendekati mereka dan dengan cara yang baik mengingatkan mereka bahwa LGBT adalah perilaku yang menyimpang dari ajaran agama, sosial dan budaya Indonesia. Dengan cara seperti itu, meskipun mereka tidak bisa mengubah orientasi seksualnya, mereka tidak akan menularkan perilaku menyimpangnya dan bisa menghargai kaum heteroseksual.

Selain itu, peran keluarga juga sangat penting dalam upaya untuk mengurangi jumlah kaum LGBT di Indonesia.Dari sisi keluarga, orangtua harus terus menanamkan nilai-nilai agama yang kuat kepada anak-anak mereka. Harmonisasi keluarga juga menjadi penting dalam membentuk karakter anak di masa mendatang.

 Oleh karena itu, perlakukanlah kaum LGBT sesuai dengan kapasitasnya sebagai manusia dan warga negara Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Fanny lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB