x

Ilustrasi Memilih. Karya Pete Linforth dari Pixabay.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 19 Januari 2023 12:47 WIB

Pilpres Makin Dekat, Partai-partai Masih Saja Menunggu di Halte

Belum pastinya pasangan capres-cawapres hingga hari ini menunjukkan bahwa partai-partai pada umumnya gagal mencetak calon pemimpin yang siap tampil. Partai harus bergulat habis-habisan untuk mencari kader yang layak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemilihan presiden dan anggota legislatif tinggal satu tahun lagi, tapi belum ada satu pasangan pun yang resmi ditetapkan sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Nama-nama populer yang sudah beredar lama pun masih terombang-ambing nasibnya.

Gerindra sudah menyatakan akan mengusung Prabowo Subianto, tapi partai pasangannya PKB belum mengiyakan karena cawapres pendamping Prabowo belum disepakati. Koalisi lainnya pun begitu, belum sepakat bulat. Nasdem-Demokrat-PKS masih sibuk membicarakan siapa yang mereka sepakati untuk jadi pendamping Anies Baswedan. Koalisi Indonesia Bersatu bahkan belum punya bakal capres yang pasti. PDI-P masih mengulur waktu dan ingin jadi penentu arah permainan.

Ada kesan kumpulan partai-partai ini saling menunggu kemunculan pasangan capres-cawapres dari pihak lain, tidak ubahnya rombongan calon penumpang yang duduk di halte dan menunggu bus lewat. Bila bus yang lewat ini dianggap lebih menjanjikan untuk memenangi kompetisi pilpres, bukan tidak mungkin ada partai yang loncat masuk ke dalam bus, meskipun sebelumnya sudah punya kelompok sendiri. Pragmatis saja, yang penting berpeluang besar untuk terbawa masuk ke dalam istana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Situasi politik yang nyaris mandeg ini mencerminkan beberapa hal. Pertama, partai-partai politik tidak memiliki persiapan jangka panjang untuk mencalonkan kader sendiri ke kompetisi pemilihan presiden. Bahkan, yang lebih pahit, dapat disebutkan bahwa partai-partai pada umumnya gagal mencetak calon pemimpin yang dapat dengan mudah ditampilkan sebagai capres. Partai harus bergulat habis-habisan untuk mencari kader yang layak.

Pertanyaannya: mengapa partai-partai pada umumnya gagal mencetak calon pemimpin berkualitas yang layak untuk ditawarkan kepada rakyat? Selama bertahun-tahun, apa kesibukan partai? Ini merupakan soal serius, karena pencalonan presiden/wapres selama ini hanya dimungkinkan melalui partai politik. Artinya, partai punya tanggungjawab besar untuk mempersiapkan calon pemimpin nasional yang kapabel dan amanah. Namun, tanggungjawab ini kelihatannya tidak tertunaikan secara baik.

Kedua, karena kesulitan mendapatkan capres di antara kader sendiri, partai-partai lantas bersikap semakin pragmatis dalam menetapkan siapa yang akan diusung sebagai capres. Gejala ini semakin terlihat dengan didekatinya nama-nama tertentu yang populer dan terlebih lagi jika juga tajir melintir, sehingga kelihatannya diharapkan mampu menggalang pembiayaan mandiri untuk perjalanan menuju pilpres 2024.

Ketika partai memilih orang di luar partai sebagai capres/cawapres, ini merupakan pengakuan bahwa dari internal partai sendiri tidak ada sosok yang layak untuk diusung. Menjadi masalah baru ketika warga negara di luar partai tidak bisa mencalonkan dirinya sendiri karena adanya aturan pencalonan harus lewat partai politik dan terbelenggu oleh aturan ambang batas pencapresan alias presidential threshold 20%. Jadi, di satu sisi warga negara sulit mencalonkan diri karena aturan ambang batas, tapi di sisi lain partai yang menetapkan aturan ini tidak punya calon dari kadernya sendiri. Kelemahan partai ini bertemu dengan keinginan individual sosok-sosok yang didekati untuk maju ke gelanggang pemilihan presiden. Terjadilah simbiosis kepentingan.

Ketiga, sebagai warga negara yang hanya bisa memilih di antara calon-calon yang sudah diseleksi lebih dulu oleh elite dan partai politik, pada akhirnya rakyat mendapatkan calon-calon yang mungkin tidak sepenuhnya memenuhi harapan mereka. Calon-calon presiden dan wakil presiden yang nanti maju ke pilpres 2024 adalah buah kompromi di antara kepentingan pragmatis elite politik negeri ini. Sikap pragmatis ini menguat lantaran bagi mereka yang penting adalah bisa duduk di kabinet atau selalu diajak konsultasi oleh presiden untuk pengambilan keputusan penting. Pendeknya, mereka pragmatis karena ingin (tetap) berada dalam lingkaran istana. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler