x

Massa penolak Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berorasi di luar gedung Kementerian Pertanian, saat sidang keempat Ahok terkait kasus penistaan agama berlangsung, di Jakarta, 3 Januari 2017. TEMPO/Ilham Fikri

Iklan

Fathorrahman Fadli

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Agama dalam Pusaran Politik

Kehidupan beragama tidak mungkin dipisahkan sepenuhnya dengan kehidupan politik. Politik dan agama itu saling memiliki pengaruh yang kuat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh. Fathorrahman Fadli*

*Dosen Universitas Pamulang dan Pegiat Institut Peradaban, Jakarta

Kehidupan beragama rasa-rasanya tidak mungkin dipisahkan sepenuhnya dengan kehidupan politik. Saya pribadi berpendapat, politik dan agama itu saling memiliki pengaruh yang kuat. Saya rasa Tuhan itu sengaja menciptakan politik dan agama itu sesuatu yang ditakdirkan hidup berdampingan serta saling membutuhkan.

Politik dalam pikiran saya adalah keterampilan teknis dalam tata kelola kehidupan masyarakat itu sendiri. Agama adalah ajaran moral dan etika yang harus digunakan dalam melaksanakan keterampilan tata kelola masyarakat.

Lalu bagaimana mungkin keduanya dipisahkan begitu rupa antara agama dan politik, sebagaimana kemauan kaum atheis dan kaum sekuler. Rasa rasanya itu suatu hal yang mustahal. Banyak bangsa besar yang menjalankan politik, namun mereka tidak alergi dengan juga menjalankan ajaran agama. Banyak pula negara yang berusaha memisahkan agama dan negara, namun juga berakhir dengan kehancuran.

Agama adalah panduan moral untuk menata kehidupan. Begitu pula dengan moral dan moralitas adalah sumber tata kelola yang dapat menggerakkan jiwa masyarakatnya.

Saya lihat di kampung saya, Desa Branta Pesisir yang kosmopolit itu, dinamika keberagamaan dan politik lokal sangat jelas menunjukkan, betapa kehidupan politik selalu mewarnai kehidupan beragama, begitu pula sebaliknya.

Saya sendiri merasa, kehidupan keberagamaan memberi nafas dalam denyut kehidupan politik. Walaupun sesekali politik bisa mendesakkan keinginan dan memberi corak kehidupan beragama seseorang atau kelompok masyarakat.

Di kampung saya itu ada tokoh politik yang sangat lihai. Namanya Zaini Rifai.  Bagi pemuda-pemuda dikampung saya, Zaini Rifai adalah tokoh politik yang disegani.karena sangat lihai dalam berpolitik. Pikiran-pikirannya yang cerdas dan maju sangat digandrungi anak anak muda yang progresif.

Walaupun ada juga segelintir orang yang menilai trik trik politiknya sebagai tingkah orang yang licik. Namun setelah saya besar dan dewasa, memang demikian itulah nature dunia politik yang jika dikendalikan tanpa moral dan etika. Sesekali akan terlihat licik, juga terbaca sangat kejam.

Banyak yang langsung berubah pikiran atau terpengaruh jika berbicara agak lama dengannya. Zaini Rifai memiliki kemampuan untuk meyakinkan orang. Orang yang semula berfikiran berbeda dengannya ia paksa menjadi berhaluan sama dengannya tanpa terasa.

 

Ia seorang tokoh PPP di kampung saya. Aliran keberagamaannya masuk dalam kelompok NU. Dalam berbagai kegiatannya,  ia kerap menjadi penguat dan penyangga kepentingan kelompok NU di kampung saya. Ia juga memiliki pengaruh yang kuat di Masjid Al Amin, tempat kaum Nahdliyin itu berkumpul.

Zaini Rifai adalah seorang pengusaha garam yang bermitra dengan China dalam hal pengadaan barang dan pengangkutan hingga ke kapal laut. Kampung saya itu adalah desa nelayan dengan dinamika bisnis yang cukup dinamis. Dahulu kala, kampung saya itu pernah menjadi pelabuhan perintis dengan dikepalai oleh seorang Syahbandar. 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kapal-kapal kayu yang besar besar  di kampung saya itu bisa berlayar ke Probolinggo, melintas sungai Mahakam hingga ke sungai Kapuas di Kalimantan. Beberapa Mbah-mbah saya adalah saudagar yang membawa barang-barang mulai sapi, garam, jagung, dan rempah via kapal kayu itu hingga ke Kalimantan.

Sepulangnya dari sana juga membawa balik komoditas lain untuk dijual di Madura dan sekitarnya. Jika berlayar mbah-mbak saya itu hingga berminggu minggu menembus kerasnya ombak yang tinggi dan dinginnya hembusan angin malam.

Pendek kata kampung saya itu cukup dinamis dalam bisnis dan perdagangan. Sekarang kapal-kapal besar pembawa garam besar sudah terbiasa menepi di pelabuhan di kampung saya. 

***

Kembali ke Zaini Rifai dan pengaruhnya di masyarakat. Sebagai pengusaha garam, ia tentu cukup terpandang di masyarakat. Uang yang ia miliki juga dapat menjadi alat untuk mempengaruhi mereka. Sebagai tokoh ia tidak pelit dalam urusan uang. Apalagi jika hal itu terkait dengan kepentingan dirinya, pasti akan mudah keluar.

Dengan posisinya itu, Zaini mampu mengendalikan para pemangku keagamaan seperti Ustad-Ustad yang berpengaruh di masjid-masjid, terutama yang termasuk dalam kalangan NU. Sedangkan untuk kalangan Muhammadiyah maupun Persatuan Islam (Persis) pengaruh Zaini sangat tidak efektif. Sebab orang-orang Muhammadiyah maupun Persis adalah orang-orang yang sangat kritis dan terpelajar.

 

Mereka tidak mudah menerima hasutan atau pengaruh  Zaini begitu saja. Apalagi terkait dengan politik pemilihan kepala desa. Biasanya pengaruh lelaki yang dikenal banyak akalnya ini sangat menentukan karena jumlah kelompok mereka secara kuantitas lebih besar dan tak jarang aksi money politic juga kencang ia lancarkan untuk memenangkan jagonya.

Jadi dimata saya, sejak kecil  memang jelas sekali hubungan antara agama dan politik itu. Juga kehidupan ekonomi seseorang atau masyarakat akan memberi corak keberagamaan masyarakat. Jadi ketiga hal tersebut selalu saling berdialektika, yang proporsinya sangat tergantung situasi; mana yang membutuhkan kadar lebih tinggi.

Dalam hal keagamaan dan politik, Zaini Rifai ini sering sekali berseberangan dengan Ustad Hamdan Sholihin. Keduanya memiliki pemikiran yang diametral. Hal ini bisa dipahami karena masing-masing memiliki afiliasi politik yang berbeda, masing-masing PPP dan Golkar.

Di zaman itu, perseteruan antara Golkar dan PPP diakar rumput sangat seru. Waktu itu partai politik cuma ada dua dan satu lagi Golkar yang enggan disebut partai politik. Golkar kerap curang dengan melarang partai politik lain melarang masuk ke wilayah pedesaan.

Kalau tidak keliru Golkar melancarkan konsep Floating Mass atau massa mengambang. Namun Golkar licik, mereka justru membangun jaringan  kader hingga ke RT-RT. Dahulu program politik kaderisasi ini lebih dikenal dengan Diklat Karakterdes, singkatan persisnya saya lupa.

Kehidupan politik di masa itu sungguh sangat dinamis. Apalagi ketika berlangsung masa kampanye. Semua truk-truk itu laris disewa masing-masing kontestan pemilu. Di kampung saya terjadi persaingan politik yang sangat tajam antara Zaini Rifai dan Ustad Hamdan. Aksi pengerahan massa saat kampanye menjadi bukti bahwa keduanya berseteru dalam soal mencari pengaruh di masyarakat. Pengaruh ini diwarnai juga oleh paham keagamaan keduanya, yaitu NU dan Persis.

Masa kampanye sungguh masa-masa yang sangat mengasyikkan. Saya dan anak anak sebaya saya serta masyarakat pada umumnya seringkali larut dalam emosi saat kampanye. Golkar biasanya menggelar kampanye di alun alun Kabupaten Pamekasan. Kadang juga di lapangan-lapangan desa di berbagai kecamatan. Seru sekali yel-yel kampanye politik di kampung saya itu.

"Yel Yel kampanye Golkar  misalnya, " Rampak Naung Beringin Korong, Depak Naung Se Binik Kerrong" (1)

"Se Cocok ngakan Duwwek, Lakar Cocok mon Nomor 2" (2)

Kalau kampanye PPP biasanya begini,

"Cok Karibeh,  se Cocok Mele Ka'beh" (1)

"Hidup PPP, Hidup Islam Jaya" (2)

Perseteruan antara PPP dan Golkar sangat mendinamisir kehidupan politik disana. Golkar sangat merajalela. Mereka menggunakan berbagai instrumen pegawai negeri serta tentara di koramil-koramil untuk memenangkan Golkar. Polisi juga biasanya bekerja untuk memenangkan Golkar.

Tapi faktanya, di kampung saya dan beberapa desa lain di kecamatan itu tetap dimenangkan oleh PPP. Pengaruh-pengaruh para Kyai di Madura sangat kuat untuk mendorong masyarakat memilih PPP. Untuk menjadi pemilih Golkar biasanya orang-orang yang dekat dengan pemerintah atau pegawai negeri dan keluarganya.

Sedangkan PDI waktu itu hanya pemanis demokrasi saja. Biasanya partai itu hanya pawai di sekitar jalan raya, lalu membagi-bagikan stiker dan kaos. Juga makanan enak-enak kelas orang kota. Pengikut dan aktivis PDI di kampung saya terdiri dari orang-orang China dan kalangan gereja. Biasanya mereka datang dari Kota. Di Madura hanya di Pamekasan yang bisa menerima gereja dan orang-orang Kristen.

Di Sampang misalnya tak ada gereja berdiri disana. Masyarakat Sampang nampaknya tak memungkinkan menerima kehadiran gereja karena disamping tidak ada penduduknya yang beragama Nasrani. Sedangkan di Pamekasan, agama Nasrani bisa hidup dengan aman nan sentosa. Pamekasan memang kabupaten yang paling kosmopolit dibanding kabupaten lainnya di Madura.

Bisnis yang dikendalikan orang-orang China juga berkembang dengan baik. Jaringan usaha dan distribusi bisnis mereka bagus dan mampu bekerja sama dengan masyarakat.

Kedelai impor waktu saya masih kecil sudah masuk ke kampung saya. Saya tahu perubahan harga kedelai perkilo gramnya  karena ibu saya seorang pengusaha ibduatri rumah tangga yang menggunakan tempe sebagai bahan utamanya.

 

Ibu Juhairiyah adalah seorang ibu yang tekun untuk berusaha. Setiap hari ibu saya memuat krupuk aneka rupa, mulai krupuk puli, kerupuk udang atau ikan, kerupuk tempe, hingga kerupuk kipas. Kalau krupuk buatan ibu saya pasti jaminan mutu. Sebab komposisi antara tepung, ikan,  dan bumbunya selalu pas.

Krupuk buatan ibu saya memiliki aroma yang khas yaitu dominan bau ikannya kentara. Itu bisa dirasakan bahkan sebelum digoreng. Apalagi setelah digoreng, maka krupuk itu terasa selalu gurih dan lezat dilidah. 

Jika ikan hasil tangkapan nelayan sedang jarang diperoleh, maka krupuk buatan ibu saya ini bisa menjadi pengganti ikan dengan ditemani beberapa  tetes kecap hitam yang dulu ngetop di kampung saya.

Krupuk ibu ini cukup terkenal. Kadang kadang suka ada orang datang membeli untuk mereka bawa ke Kalimantan atau daerah lainnya. Namanya "Krupuk Bu Juhai". Krupuk ibu ini juga sering dibuat camelan untuk orang-orang yang berangkat ikut kampanye.

Di atas truk kampanye yang terus bergerak, sambil makan krupuk udang atau krupuk tempe buatan ibu pastilah suatu kegiatan yang mengasyikkan. Jadi rasa-rasanya krupuk ibu saya itu juga menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perpolitikan di kampung saya.

***

Jika masa masa kampanye, tak jarang ada aksi serangan udara. Biasanya serangan politik itu mereka lancarkan melalui acara acara tahlilan bagi kaum Nahdliyin. Sedang bagi kaum Muhammadiyah dan Persis mereka lancarkan melalui pengajian-pengajian mereka yang sudah terjadwal.

Sering juga kita lihat dalam mimbar-mimbar jumat di masjid mereka masing-masing. Oleh karena itu, sekarang bisa saya mengerti mengapa kelompok Islam di Jakarta selalu mengggunakan masjid sebagai tempat menyebarkan pengaruh politiknya.  Jadi hal seperti itu bukanlah hal baru di tubuh umat Islam.

Apabila ada sekelompok muslim yang berteriak agar tidak menggunakan masjid untuk tujuan politik agar dia dibilang muslim yang toleran, sebenarnya terlihat lucu dan kurang piknik.

Sebab hal itu sudah menjadi bagian dari kebiasaan umat muslim sejak  di masa lalu. Dan faktanya umat Nasrani juga menggunakan media yang sama untuk menyebarkan pengaruhnya kepada umat mereka. Biasanya kalau kaum Nasrani delalu menyisipkan misi politik mereka melalui acara kebaktian yang mereka selenggarakan di gereja-gereja.

Itulah mengapa sedari awal saya melihat tidak bisa kehidupan beragama di negeri ini dipisahkan dengan sangat ketat dengan kehidupan politik mereka. Justru karena dorongan moralitas agama maka politik itu menjadi lebih dinamis dan berkeadaban. Kita bisa bayangkan, bagaimana jadinya jika politik dibiarkan tanpa moral agama dan etika sosial. Pastilah kehidupan ini akan mengarah pada kerusakan.

***

Ikuti tulisan menarik Fathorrahman Fadli lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler